Semua Bab Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah: Bab 51 - Bab 60
76 Bab
Bab 51 Gelut
Kulelang semua tas-tas branded koleksiku via onlen. Sebaiknya aku memang jangan bergantung kepada jatah uang bulanan yang Hans kirim. Kurelakan saja resto cafe yang memang sudah tidak dapat kumiliki. Aku mengaku kalah oleh perempuan licik itu.Namun yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa menghasilkan uang kembali? “Ayok Salma gunakan otakmu! Bukankah kamu cerdas dalam hasilkan uang?” Aku bicara sendiri.Berusaha mencairkan otak yang membeku karena pengkhianatan. Jujur rasa sakit yang ditorehkan Hans menguras segalanya. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada lelaki yang salah. Meski cinta itu kini sudah tak bersisa.Kutatap bayi mungilku. Satu-satunya hal yang kusyukuri atas pernikahan kandas itu. Bayiku yang selalu menjadikan kuat dan semangat hidup tetap menyala.Alhamdulillah, tas-tasku laku terjual. Tentu saja karena selain ori, harga yang kutawarkan lumayan jauh dari harga aslinya. Sebenarnya sayang juga, tapi saat ini aku memang lagi membutuhkan
Baca selengkapnya
Bab 52 Teman Baru
Ternyata yang dimaksud perhitungan yang diberikan si Meti adalah berhenti memberi jatah bulanan kepada anakku yang sejumlah satu juta. Dia pikir, aku bakal kesusahan apa dengan uang yang tidak seberapa itu. Biarkan sajalah. Aku malas menanggapi.“Permisi, Mbak,” ucap seseorang menghampiriku yang sedang menyiram tanaman di depan rumah.“Maaf mau ke siapa ya?” tanyaku heran kepada lelaki berkemeja dan bersetelan rapi.“Saya dari pihak Bank Semesta,” terangnya sambil memperlihatkan idcard.“Ada perlu apa, ya?”“Sebelumnya saya meminta maaf, Mbak. Saya mau memeberitahu kalau rumah ini akan segera disita. Ini surat pemberitahuannya.”Aku lekas membaca surat dalam amplop tersebut. Benar saja pihak Bank menyatakan kalau rumah ini akan di sita karena sudah dijaminkan dan tunggakan tidak dibayar-bayar. “Lho, kok bisa? Apa Pak Hans tidak mengangsurnya lagi?”“Iya, Mbak. Kami juga sudah memberi tiga kali peringatan. Akan tetapi diabaikan. Jadi kami terpaksa mengambil kepetusuan terakhir sebagai
Baca selengkapnya
Bab 52 Jilbab
Minggu yang cerah, aku dan Qia akan ikut Lidia menghadiri pengajian rutin di Mesjid Raya.“Mbak, sudah siap belum?” tanya Lidia menghampiri ke rumah.“Sudah Teh.”“Mbak maaf sekali. Tapi, apa tidak ada kerudung yang panjang sampai menutup dada?”“Lho, memangnya kenapa dengan kerudung yang aku pakai?” Aku heran kenapa aku juga harus memakai kerudung panjang sepertinya.Jujur, aku merasa gerah dan ribet jika harus memakai kerudung panjang. Bagiku semua kerudung sama saja, fungsinya untuk menutup kepala.“Mbak … kita berkerudung bukan hanya sekadar untuk menutup kepala, melainkan untuk menutup aurat,” terangnya seraya tersenyum seolah paham dengan apa yang kupikirkan.“Jadi kerudungku harus diganti nih?”“Sebenarnya memakai kerudung segi empat juga tidak apa-apa. Tapi, jangan dililit ke leher. Itu dadanya jadi terlihat,” ucapnya tidak luput dari senyuman.Bagian dadaku memang terlihat seksi, terlebih dress yang kukenakan berbahan lycra. Jadi jenis kainnya jatuh dan mengikuti lekuk tubuh.
Baca selengkapnya
Bab 53 Dijodohkan
Setelah ngobrol-ngobrol seputar hijab, akhirnya sampailah di Mesjid Raya. Sudah ada banyak jemaah yang hadir ternyata. Walau untuk pertama kali diajak ke keramaian, Alhamdulillah, Qia tidak rewel. Justru ia tampak antusias dan senang. Seperti mendukung momi-nya untuk menghadiri acara pengajian secara rutin. Kehadiran anak memang selalu memberi hidup menjadi lebih bermakna dan berwarna. Jadi orang tua adalah proses pembelajaran yang Masya Allah, penuh hikmah.Aku pun menyimak serius kajian yang disampaikan oleh penceramah. Kurang lebih satu jam sudah ustaz berbagi ilmunya. Ceramah beliau membuat ibu-ibu yang hadir tidak berasa lama. Tahu-tahu sang ustaz sudah membacakan doa penutup saja. Saking enaknya cara penyampaian serta gaya bahasa sang ustaz.“Ceramahnya setiap minggu membahas tentang rumah tangga, Teh?” tanyaku penasaran.“Tidak. Ustaznya juga setiap minggu ganti-ganti. Bergilir gitu. Kalau ini namanya ustadz Hadi. Emang favoritnya emak-emak.”“Cakep, ya?” bisikku spontan.“Ya,
Baca selengkapnya
Bab 54 Tak Salah Lihat
Aku memutuskan untuk memberitahu Mami dan Papi tentang kehadiran Qia dan perceraianku. Siap tidak siap ini adalah kenyataan. Sesuai saran Lidia, aku harus menjalin silaturahmi yang baik dengan orang tua. Ternyata betapa bahagianya mereka saat mendengar kalau aku sudah punya anak. Otomatis mereka sudah menjadi datuk-nenek. Keesokan harinya mami-papi langsung terbang ke Indonesia.“Apa nama cucu nenek nih?” tanya mami.“Syauqia Assyifa.”“Wah, elok sekali namanya. Anak yang dirindukan seklaigus penyembuh.”Rupanya mami sudah mengerti kurang lebih arti dari nama cucunya. Papi mengambil alih Qia dari gendongan mami. Keduanya tampak tak bosan bermain bersama anakku yang memang menggemaskan. Melihat keadaanku yang tinggal di rumah kontrakan, mami papi langsung menawarkanku untuk membeli sebuah rumah. “Tidak apa-apa, Mih. Tidak usah.”“Awak ini macam mana? Anak kita tuh satu-satunya awak. Harta kita buat siapa lagi kalau bukan buat awak? Janganlah awak terus-terusan menolak. Awak sudah ti
Baca selengkapnya
Bab 55 Pak Irsyad
“Apa aku salah lihat? Apa aku salah orang? Ya ampun Salma, kamu merindukan Li sampai begini amat,” gumamku.Namun, tetap saja lelaki yang ada di hadapanku tersebut tampak seperti Li Chen. Hanya saja penampilannya sangat berbeda. Tentu lelaki ini memakai setelan koko dan berpeci.“Kamu tidak salah lihat, Sal,” ucap lelaki itu. Rupanya ia mendengar gumamanku.“Maksudnya?”“Ya Allah, Mbak Salma. Ternyata di sini. Qia sudah ketemu, ya?” sela Lidia menghampiri setelah setengah berjalan tergesa. “Oh ada Pak Irsyad juga?” sambungnya.“Oh ini Pak Irsyad?” tanyaku kepada Lidia.“Ia, Mbak. Kenapa? Pak Irsyad bukan yang menemukan Qia?”“Pak Irsyad?” Aku menatap kembali lelaki itu.“Mbak, jaga pandangan!” tegur Lidia.Lelaki itu tersenyum lebar dan tidak berani membalas tatapanku.“Teh, Pak Irsyad mirip sekali dengan seseorang,” jelasku.“Apa mirip Li Chen?” tanya lelaki itu.“Iya, Kok bisa tahu?”“Sal, aku ‘kan Li Chen temanmu. Irsyad itu nama mualafku. Masa kamu tidak mengenaliku, sih?”“Jadi …
Baca selengkapnya
Bab 56 Tidak Peka
Senin pagi, mentang-mentang Qia ada yang ngasuh, aku jadi mager. Jam tujuh masih saja berselimut di atas kasur. Hawa Sukabumi pagi ini masih dingin. Sehingga di dalam selimut membuatku tetap hangat.Semalam gara-gara memikirkan Li terus, aku jadi tidak bisa tidur. Efeknya sekarang masih mengantuk. “Bobo lagi ah,” gumamku.Sedangkan Qia pasti sudah jalan-jalan dengan Datuk-neneknya. Semoga saja Mama-papa masih betah di Indonesia, jadi aku bisa bersantai-santai dalam mengurus Qia. He ….**“Hoam ….”Aku menggeliat. Sinar matahari pagi sudah berhenti menerobos jendela kaca kamarku. Itu artinya ini sudah siang karena sinarnya meninggi.Lamat-lamat terdengar suara ramai dari luar kamar. Mama papa ngobrol sama siapa, sih? Tanpa memikirkan penampilan aku tarik saja handle pintu kamar. Niat hanya akan menengok sedikit, eh malah ketahuan.“Tuh, Momi baru bangun,” seru Mama kepada Qia.Sontak aku malu sendiri. Lebih malu lagi ternyata orang yang tengah ngobrol dengan Mama papa adalah Pak Irsya
Baca selengkapnya
Bab 57 Cepat Sekali
Li tidak peka dengan maksudku mengabarkan bahwa telah janda. Sebaiknya jangan berharap berlebihan. “Apa Sal? Yang awak cakap barusan. Jadi awak beli Resto café, tapi si Hans ambil alih demi awak bisa cerai?” Mama terkejut dengan yang aku ucapkan sebelumnya.Aduh kenapa aku sampai bisa lupa? Kalau Mama papa memang belum aku kasih tahu perihal Resto café itu.“Apa Resto café yang tempo hari awak tengok?” timpal Papa.“Iya, Pah.”“Ekhm, katanya punya teman,” sindir papa.“Maaf, Pah.”“Sudahlah, toh semua itu sudah lewat.”Mama hanya memutar bola mata malas. Kalau tidak ada Li, pasti sudah ngomel kayak kereta, panjang.“Iya. Teriam kasih Pah. Oya Li, ngomong-ngomong, kamu bisa jadi mualaf, bagaimana ceritanya?” tanyaku sangat penasaran.Li pun bercerita tentang pengalaman religinya tersebut. Sewaktu menuju bandara, untuk terbang ke Beijing dan menikah serta menetap di sana. Li mengalami kecelakaan hebat. Nyawa sudah sangat terasa diujung kuku.Dalam sekaratnya tiba-tiba ia mendengar seru
Baca selengkapnya
Bab 58 Datang lagi
Usai melaksanakan solat empat rakaat, kami makan siang bersama di rumah dengan menu ikan goreng dan tumis-tumis. Kebetulan Mama dari dulu memang pandai masak dan rasanya selalu enak.“Sal, awak harus sering-sering belajar masak. Biar Li nanti tambah betah di rumah,” cetus Mama.“Aku akan tetap betah Mah, mau Salma pintar masak atau tidak. Dimana pun dan siapa pun yang masak, asal makannya bareng dia, pasti akan enak,” jawab Li.“Ekhm, mulai keluar nih, gombalnya,” goda mama.“Yuk, kita makan dulu. Gombalnya kita lanjutkan nanti selesai makan,” usul papa.“Iya, pah.”Padahal dari dulu sudah sering sekali makan bareng Li, tetapi sekarang kok rasanya ada yang beda. Aku jadi tidak bisa bebas ngunyah dan nambah. Memang ribet ya, kalau hati sudah terlibat. Hehe ….Akhirnya proses makan pun selesai.“Jadi kalian mau menikah kapan?” tanya papa.“Secepatnya, Pah,” jawab Li.“Bagus. Lebih cepat lebih baik. Papa mama juga ‘kan harus pulang, soalnya kemarin memakai visa liburan ke sini. Jadi tida
Baca selengkapnya
Bab 59 Hindari Zina
Diketusin, Hans malah terkekeh. Disindir atau dimaki sekalipun, sekarang dia benar-benar tebal muka.“Ya iyalah. Udah diselingkuhin dua kali. Terus asset kamu juga hilang, tabungan habis gara-gara aku. Gimana kamu enggak sebal sama aku?” Hans cukup sadar diri, tapi nyebelin.“Tapi serius bukan karena aku sebal doang, emang beneran enggak enak. Soalnya kita bukan mahram. Meski ada Qia diantara kita, tetap saja jadi kurang nyaman kalau lama-lama.”“Ya, Bu Haji, aku ngerti.”“Ih enggak usah panggil Bu Haji segala!”“Tapi kamu cantik lho, dikerudung. Tampak anggun sekali. Doakan ya, agar mantan suamimu ini bisa tobat juga.”Sebenarnya aku sendiri masih kadang-kadang dijilbabnya. Semoga bisa Istiqomah untuk kedepannya.“Iya. Aku doakan. Asal kamu sungguh-sungguh. Insya allah jalan taubat selalu terbuka.”“Iya, aku pikir-pikir dulu lah.”“Dasar!”Tobat dipikir-pikir dulu, kalau keduluan ajal baru tahu rasa kamu. Eh, kenapa aku malah merasa tersindir oleh pikiranku sendiri? Bukankah aku juga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status