Lahat ng Kabanata ng Carinya Daddy Dapetnya Baby: Kabanata 21 - Kabanata 30
39 Kabanata
Sadar
“Tapi lo yakin kalo penantian lo ini nggak sia-sia? Gua kenal Biru lumayan lama, jadi gua tahu banget gimana sifat dia. Gua tahu kalo sebenernya dia bener-bener serius waktu bilang mau punya seseorang yang jauh lebih tua dari dia. Karena, selain buat alasannya melarikan diri kalau-kalau dicecar pertanyaan kapan menikah, dia juga berharap kalau dapet laki-laki yang lebih dewasa darinya itu bisa benar-benar bertanggung jawab. Bahkan sebenernya dia itu ngerasa skeptis sama laki-laki dan hubungan pernikahan, apalagi ketambahan si brengsek Alfa itu. Gua makin nggak yakin gimana dia menyikapi sosok laki-laki di hidupnya.”Langit tak langsung menjawab. Tangannya menggenggam tangan Biru yang dibalut kasa untuk menahan infus dengan lembut. Sialnya, dia tidak yakin apakah bisa menyerah pada gadis yang masih menutup matanya ini,“Gua sadar kok, Kak. Tapi gimana, ya? Kalau Biru emang udah punya seseorang, mungkin gua bisa menyerah sama dia. Tapi kalo masalahnya adalah karena usia yang ada sangkut
Magbasa pa
Cemburu
Karena dipaksa oleh Gita dan juga Biru, siang itu Langit akhirnya keluar untuk mencari makan, ditemani oleh Dika yang juga menjenguk Biru. Mereka berdua sudah cukup akur sebagai calon ipar. Mungkin karena keduanya sudah saling mengenal sejak lama, bahkan sebelum kakaknya bertunangan dengan Dika.“Bang, kalo kondisinya saat ini dituker, apa yang bakal lo rasain?” tanya Langit secara random saat mereka sedang menunggu makanan datang. Dika juga kebetulan belum makan, jadi sekalian dirinya makan siang. Kalau Gita sendiri, dia memilih menitip lontong pecel pada mereka berdua.“Dituker gimana maksudnya? Gua jadi lo, gitu? Atau gua jadi Biru? Kalo ngomong yang jelas ngapa.”Langit memutar bola matanya. “Yee, ya nggak gitu, Bang Dika. Maksudnya kalo lo jadi gua dan Kak Gita yang lagi di posisi Biru. Lo bakal ngerasain apa?”“Ih, mit amit jabang bayi. Wah adik durhaka ini malah doain kakaknya yang nggak-nggak. Gua laporin Gita loh nanti.” Dika mengatakannya dengan wajah serius.“Nggak gitu mak
Magbasa pa
Kunjungan Tak Di Undang
Sebelum bertemu dengan Gita dan Langit, masa di mana harus dirawat di rumah sakit adalah salah satu hal yang paling Biru tidak sukai. Karena saat itu, Biru benar-benar merasa ia sendirian di dunia yang luas ini. Bahkan sekalipun majikannya saat ia masih menjadi ART sesekali menjenguknya, Biru masih merasa kesepian. Ingar-bingar dari keadaan sekitar, dari keluarga pasien yang saling berbincang, suara-suara alat yang ada di sekelilingnya, brangkar yang didorong oleh perawat, tangisan anak-anak yang tantrum karena merasa bosan atau ingin jajan, bahkan suara tangisan orang yang baru saja kehilangan orang tersayang makin menyudutkannya dalam ruang kosong tak terlihat, disudutkan dalam kesendirian, dan berakhir membawanya pada sebuah keinginan untuk menghilang. Keinginan untuk mengakhiri hidup sudah sering menghampirinya dan sering pula ia tergoda untuk melakukannya, tapi selalu dicegah akal sehatnya. Berkali-kali kegagalan dalam hidup juga membawanya semakin terupuruk sampai ia merasa nyar
Magbasa pa
Peperangan
“Kamu tahu ada sesuatu antara Biru sama Alfa, nggak?”“Eh, bentar. Yang kontrak itu kan, Kak?”Gita mendesah. Ia bingung harus bertanya dari mana. Tapi firasatnya mengatakan kalau Via pasti tahu sesuatu.“Kalo itu mah udah jelas kamu tau. Hal lain yang baru. Alasan kenapa sampe laki-laki kampret itu ke sini. Soalnya kondisinya Biru sekarang lagi nggak bagus banget ini.”Bukannya menjawab, Via malah bertanya balik dengan nada terkejut.“Hah, laki-laki itu ke sana? Ngapain? Nggak, bentar! Apa alasan ini adalah alasan yang kuat buat dia datengin Kak Biru?”“Alasan apa?” todong Gita yang sudah tidak sabar.“Kakak buka tweeter aja. Punya, kan? Jadi fans nya Kak Biru ada yang sadar pas baca buku barunya laki-laki itu. Karena Kak Biru ini kalo nulis kan punya ciri khasnya tersendiri. Apalagi fans setianya Kak Biru pada tahu kalo Kak Biru mau nerbitin novel baru. Genre romansa komedi, genre yang jauh banget dari yang biasa dibawa sama Kak Biru. Makanya fansnya pada nungguin itu, Kak. Nah, Kak
Magbasa pa
Keluarga Tak Selalu Karena Darah
“Kamu nggak lanjutin sekolah aja? Apa nggak sayang? Kamu masih muda, loh. Jalanmu masih panjang banget,” ucap seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang duduk di depan Biru.“Nggak, Bu. Buat apa lanjut. Saya udah merasa beruntung banget bisa sampe SMA. Jadi buat apa lanjut sampai ke perguruan tinggi? Mending saya kerja, cari duit.” Gadis itu menjawab dengan percaya diri. Hari ini adalah hari wawancara kerja pertamanya sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah besar. Yayasan tempatnya tinggal juga menyediakan jasa penyalur pekerja, jadi Biru secara langsung dicarikan pekerjaan oleh yayasannya. Bisa dibilang ini terakhir kalinya Biru berhubungan dengan yayasan yang mengurusinya. Ia tidak memiliki kenangan baik dengan yayasan tersebut.“Memang kamu nggak punya mimpi yang pengen kamu capai?” tanya wanita itu lagi.Biru menggeleng. “Mimpi saya nggak muluk-muluk, Bu. Saya cuma mau hidup mandiri, menghasilkan uang sendiri. Habis itu mungkin kalau ketemu jodoh ya menikah, kalau ngga
Magbasa pa
Bapak dan 'Bapak'
Pak Abdi memperhatikan Biru dan Arakata yang asyik berbincang. Sesekali Biru menanggapi dengan serius Arakata yang antusias bercerita. Bahkan gadis itu ikut tertawa saat dirasa apa yang diceritakan Arakata adalah hal yang lucu.Saat keduanya sudah lelah bercerita, terutama Arakata, Pak Abdi berdiri dan mendekati putrinya itu.“Kamu laper nggak, Nak? Kalo laper beliin Ayah pecel di depan, tolong. Ayah laper ini. Tadi soalnya ayah lihat di depan ada yang jualan pecel kok jadi pengen. Sekalian kamu juga beli makan kalo laper.” Pak Abdi menyerahkan selembar uang berwarna merah. Gadis itu menerima uangnya dengan senyum semringah.“Adek beli jajan juga ya, Yah? Ada banyak makanan di depan,” sahut gadis itu antusias.“Iya, beli aja sesuka adek. Asalkan dihabisin makanannya.”“Horeee!” soraknya bahagia. Ia menoleh ke Biru yang tersenyum melihat tingkah polah adiknya itu. “Kak Biru mau mesen, nggak?” tanyanya kemudian.Biru menggeleng. “Nggak, Dek. Kak Biru belom boleh makan sembarangan soalny
Magbasa pa
Perbincangan Tentang Cinta dan Waktu
Seorang laki-laki melangkah masuk ke dalam sebuah gedung dengan setelan rapi. Kharismanya juga mendulang penampilannya yang hanya dengan berjalan saja beberapa wanita yang bekerja di gedung itu menghentikan pekerjaan mereka untuk sekadar curi-curi pandang. Dengan setelan jas berwarna hitam dan dasi biru bergaris putih, ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Suara dari ujung sepatunya beradu dengan lantai yang menciptakan bunyi konstan yang seolah berima di tengah ketidak teraturan bunyi-bunyian yang sudah ada. Beberapa office boy yang sedang mengepel lantai sedikit membungkukkan badannya saat lelaki itu lewat, memberi hormat pada sosok yang berpangkat tinggi di sana. Lelaki itu berjalan menuju lift yang ada di sisi dalam ruangan lantai pertama. Ia memakai lift khusus petinggi alih-alih lift karyawan yang saat ini sedang banyak orang antre di depannya.Sesampainya di dalam benda kotak itu, ia menekan angka 12 menandakan bahwa tujuannya adalah lantai 12, lantai kedua dari atas ya
Magbasa pa
Pertengkaran Pada Rumah yang Terbelah
Tidak ada perbedaan, apakah dia anak pertama, anak tengah, atau bahkan anak terakhir. Bagi Gita, semua anak memiliki porsi bebannya masing-masing. Memiliki banyak harta juga tidak selalu menjadi penentu kebahagiaan. Meskipun gadis itu sadari, selama masa kecilnya tidak pernah ia harus menahan keinginannya untuk membeli sebuah barang. Trend yang terus berputar, berganti-ganti barang mulai dari yang murah sampai yang mahal, Gita pasti punya beberapa hari setelah barang itu ramai. Makanan apa pun yang ia mau, selama ia meminta orang tuanya, pada hari itu juga pasti akan tersaji di atas meja makan. Jadi gadis itu tidak bisa merasakan apa yang dirasakan teman-teman sekolah lainnya, yang bahkan sampai harus pergi sekolah tanpa sepatu.Tapi, ada harga yang harus dibayar dari apa yang ia inginkan. Ketidakhadiran orang tuanya dalam setiap momen dalam masa kecilnya adalah harganya. Gita kecil selalu bertanya-tanya, apakah ketidakhadiran mereka adalah hal yang wajar? Saat dirinya pentas pada aca
Magbasa pa
Kaki dan Pipi
Atmosfer ketegangan menyelimuti rumah mewah itu. Seolah semua orang yang berada di dalamnya sedang dalam medan perang yang menggebu-gebu. Genderang perang telah dibunyikan sesaat setelah Langit dan Gita masuk ke dalam rumah. Kebencian, amarah, iri, dan dendam saling menyelimuti setiap emosi yang berbaur. Tatapan Langit yang mengabsen satu persatu wajah yang sudah menantinya sama sekali tidak bisa dikatakan ramah. Ia membenci mama dan papanya yang membuatnya harus menjalani masa kecil tanpa tahu bagaimana rasanya disayangi. Ia terkadang merasa iri pada teman-temannya yang bercerita betapa ibu mereka akan menjaga setiap kali mereka demam, atau sekadar memandikan, membuatkan sarapan, dan mengantar ke sekolah. Bahkan ia merasa iri pada anak-anak lain yang diantar ayahnya meskipun itu hanya menggunakan sepeda ontel.Rasa iri Langit semakin menjadi pada sosok remaja laki-laki berwajah persis ibunya. Melihat bagaimana keduanya duduk bersebelahan tanpa canggung. Pemuda itu tersenyum sinis, ia
Magbasa pa
Pasar Malam
“Say, gabut. Pasar malam, yuk!” Sebuah notifikasi yang masuk ke ponsel Biru berisikan pesan tersebut. Biru, sang empunya ponsel, membuka pesan segera dan membalasnya dengan cepat.“Gas! Gua juga gabut.” Pengirim pesan tersebut adalah Gita. Satu-satunya sohib yang Biru punya. Biru akui, ia hampir tidak memiliki teman dekat selain Gita. Banyaknya teman yang ada hanya sekadar rekan dan relasi yang ia punya untuk menunjang kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Alasannya simpel, ia tidak pandai bersosialisasi. Biru selalu berpikir kalau hidup dalam masyarakat itu merepotkan sekaligus hal yang mau tak mau harus dilakukan. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Bahkan terkadang, ada saat di mana seseorang benar-benar perlu orang lain untuk sebuah hubungan di luar hubungan transaksional seperti membeli jasa. Karenanya lah, setidak nyaman apa pun Biru dalam bersosialisasi, ia akan menahannya dan berusaha membangun relasi sebaik-baiknya dengan orang lain demi menjalani kehidupan yang nyam
Magbasa pa
PREV
1234
DMCA.com Protection Status