Semua Bab Carinya Daddy Dapetnya Baby: Bab 31 - Bab 39
39 Bab
Dia Siapa???
Berakhirlah diskusi panjang itu dengan mereka berempat yang berdiri di depan pintu masuk rumah hantu. Gita menggandeng Biru dengan erat, bahkan sebelum mereka masuk ke dalam. Sedangkan Langit dan Dika berdiri di belakang para gadis sembari menjaga mereka. Mereka berdua menjadi orang yang diminta –ralat, dipaksa—oleh kedua gadis yang ada di sana untuk membeli tiketnya. Termasuk bagian antrenya, sedangkan kedua gadis itu menanti di tempat duduk yang tak jauh dari pintu masuk. Barulah setelah tiba di giliran mereka, Biru dan Gita langsung menanti di depan pintu. Meskipun mereka mendapatkan tatapan sinis dari beberapa orang yang ada, kedua gadis itu tidak peduli. “Tadi ngeyel ngajakin, la sekarang kok udah menciut duluan,” ejek Biru saat merasa dekapan Gita sangat erat di lengannya. “Ish, gua nggak takut, ya! Cuma perlu gandengan aja, kali aja lo yang butuh digandeng. Lagian hantunya juga bohongan semua.”“Kan di belakang ada yang siap buat jadi gandengan lo!”Gita hanya menjawab de
Baca selengkapnya
Tanpa Tanya
Menjadi dewasa itu tidak menyenangkan. Ketika semua masalah menjadi semakin kompleks, semua keinginan harus ditahan kebutuhan, bertemu bermacam-macam model manusia yang membuat diri berkali-kali nyaris kehilangan kendali, bahkan harus selalu terlihat baik-baik saja padahal jelas hati sakit dan rasanya ingin menangis.“Orang dewasa tidak boleh menangis.”Kalimat yang rasanya jauh lebih umum daripada kata “orang dewasa” di dalamnya diganti dengan “anak-anak”. Karena seolah hanya anak-anak saja yang boleh menangis, marah, meraung, dan merasa kesal. Padahal orang dewasa juga merasakan perasaan yang sama.Dulu, saat Biru kecil, ia melihat anak-anak SMA sudah dewasa dan keren. Ketika dirinya sendiri yang menjalaninya, Biru sadar bahwa ia salah. Bahkan anak SMA pun masih sama seperti anak-anak pada umumnya. Hanya tubuhnya saja yang besar dan cara pandang yang semakin luas. Bahkan hingga usianya yang nyaris di penghujung kepala dua ini, Biru masih merasa ada sisi kekanak-kanakan dalam diri
Baca selengkapnya
Ketakutan Gita
“Mau cerita?” tanya Biru sesaat setelah Gita dapat menghabiskan semangkuk mi buatan Biru. Gadis itu meraih tisu dan diberikannya pada Gita yang celingukan. Melihat sekotak tisu terjulur di hadapannya, gadis itu menarik dua lembar dan langsung digunakan untuk membuang ingus. Ia melemparkannya ke kotak sampah yang tak jauh dari tempatnya duduk. Hap! Masuk!“Mas Dika selingkuh.”Biru yang saat ini sedang meminum air dari botol mendadak terbatuk dan mengeluarkan sebagian air yang ada di mulutnya. Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut dan matanya melotot ke arah Gita. Seolah ia sedang mengonfirmasi kalau kalau ia salah dengar.Melihat raut tidak percaya tersebut, Gita menatap Biru lurus. “Gua nggak bohong,” katanya mencoba meyakinkan.”“Gua agak nggak percaya, soalnya Dika lo orangnya sebucin apa sama lo. Bahkan gua bakal percaya kalo misal kalian putus, lo yang mulai duluan perkaranya, bukan dianya.”Gita kembali menangis. Biru duduk di sebelah kawannya dan menepuk-nepuk punggungnya
Baca selengkapnya
War Is Over
Dengan khidmat, seorang gadis yang tak lain adalah Biru memakan camilan sembari menonton sebuah anime di ruang tamu. Ia mencoba untuk menikmati apa yang ada di hadapannya, meskipun tak pelak sesekali ia menoleh ke lantai dua, tepat ke arah kamar Gita. Khawatir pada gadis di atas sana. Tapi kalau pun Biru masuk juga percuma, ia tidak bisa berbuat banyak. Gita juga lebih suka sendiri kalau sudah seperti ini keadaannya. Suara ramai di lantai dua sudah berhenti sejak beberapa waktu yang lalu. Tak lama kemudian pandangan Biru teralihkan dari ponselnya ke arah pintu masuk, menatap seseorang yang baru saja tiba.“Udah dari tadi, Bii?” tanya Langit yang baru saja masuk. Biru mengangguk. Tangannya memasukkan sebuah keripik ke mulutnya sembari mengalihkan pandangan dari Langit, kembali menatap layar ponselnya. “Mau, sih!” Langit duduk di sebelah Biru, menyomot keripik yang ada di tangannya. Biru mengulurkannya ke arah Langit agar pemuda itu dapat dengan mudah mengambilnya.“Jam segini kok udah
Baca selengkapnya
Gombal dan Gembel
Mereka berempat sudah berkumpul di ruang tamu dengan nasi goreng yang telah tersaji di depan mereka. Biru dengan santai langsung duduk di lantai dengan nasi goreng yang ada di atas meja, Langit mengikuti Biru. Sementara dua sejoli yang baru selesai mengibarkan bendera putih dan menandantangi perjanjian perdamaian perang itu kini sedang suap-suapan, seolah badai kemarin tidak pernah terjadi.“Bii, tomat sama timunnya nggak dimakan?” tanya Langit saat melihat Biru yang selalu mengecualikan dua komponen itu saat menyuapkan nasi gorengnya.“Nggak suka. Lo mau?” tanya Biru sembari menggeser piringnya ke arah Langit.“Mau. Buat aku, ya?”“Ambil aja. Toh nanti juga gua buang karena nggak kemakan,” ucap Biru santai. Langit segera menyendokkan dua potong timun dan sepotong tomat ke piringnya. Sebagai gantinya, ia memberikan telur goreng miliknya ke piring Biru.“Eh, buat apa?” tanya Biru bingung.“Buat kamu makan, lah. Buat apa lagi.”Biru menunjuk sebuah telur goreng miliknya yang sudah terp
Baca selengkapnya
Seblak dan Bincang
“Omongan orang itu kadang pedesnya nggak kira-kira, ya? Bahkan level terpedes seblak ini aja nggak ngalahin pedesnya omongan orang,” celetuk Biru tiba-tiba. Seolah tak peduli dengan apa yang baru dibicarakan, gadis itu kembali menyeruput kuah seblak yang kental dan merah itu. Ia mengiris sebuah bakso dan melahapnya bersamaan dengan kerupuk yang telah lembek di kuah.“Merah banget, Kak. Level berapa itu?” tanya Via penasaran.“Level delapan. Yang paling pedes pokoknya.” Biru santai.“Bahkan sesukanya aku sama pedes, level pedesku di seblak ini mentok di level enam loh, Kak. Kakak yakin lambung bakal kuat?” tanya Via khawatir. Biru menaikkan bahunya tak peduli.“Dibilangin pedesan mulut orang, kok.”“Seenggaknya kalo mulut orang yang pedes, paling cuma ati doang yang nyut-nyutan. Telinga ditutup juga nggak kedengeran omongannya, Kak. La kalo udah lambung yang kemusuhan sama pedes? Bisa-bisa auto opname nanti.” Gadis itu khawatir. Biru menepuk pundak Via.“Insyaa allah aman. Semoga aja.
Baca selengkapnya
Restu
Kata siapa menjadi dewasa itu menyenangkan? Semakin dewasa, semakin banyak tanggung jawab yang harus dipikul. Semakin banyak pula keinginan-keinginan yang harus dikorbankan demi sebuah kebutuhan. Langit menyadari hal ini dengan pasti. Kalau saat dulu ia masih bisa merengek setiap menginginkan sesuatu, kini ia hanya bisa memendam semuanya dan mengusahakan sendiri. Sebenarnya, ia bisa kembali ke rumah, kembali pada kemewahan yang dimiliki orang tuanya. Tapi, Langit menyadari kalau ia melakukan semuanya, berarti ia kalah dari orang tuanya.Memang tidak ada perlombaan di sini. Hanya ada sebuah ajang pembuktian diri yang ingin ditunjukkan Langit pada orang tua yang mengabaikannya selama ini. Meskipun secara lahir ia dan Gita berkecukupan, secara batin ia kosong. Karenanya Langit ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi seorang dewasa yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya, kemudian melakukan semua yang ia suka, termasuk mencari pasangan. Sebab, orang tuanya seolah tidak belajar dari pengal
Baca selengkapnya
Pernikahan Gita dan Dika
Tiga minggu adalah waktu yang lumayan mepet untuk mereka mengurusi segala macam persiapan menikah. Mereka berdua sepakat untuk mengadakan intimate wedding, sehingga yang dipersiapkan juga tidaklah banyak. Mereka hanya mengundang orang terdekat, beberapa kolega dan rekan kerja. Sebenarnya undangan juga diberikan untuk keluarga besar Gita. Tapi, mereka tidak berharap banyak kalau keluarga sang pengantin wanita akan datang. Sementara dari pihak pengantin pria sendiri, hanya tersisa neneknya yang kini menjadi satu-satunya orang yang duduk di kursi orang tua atau wali sang pengantin. Di hadapan penghulu, Dika dan Gita sudah duduk bersebelahan. Gita terlihat anggun dengan balutan kebaya putih dan bawahan batik berwarna coklat. Rambutnya disanggul dengan untaian melati yang terpasang di sanggulnya dan menjuntai ke samping. Dika juga terlihat gagah dengan jas dan bawahan berwarna abu-abu yang membalut kemeja putih yang dipermanis dengan dasi kupu-kupu. Di atas kepala keduanya, sebuah kain ve
Baca selengkapnya
Perusuh
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status