All Chapters of Ambisi Sang Penguasa: Chapter 31 - Chapter 40
118 Chapters
Nasib Sial Sedarah
"Hai, Emma!" Daniel berdiri di depan pintu bersama Luis di belakangnya.Emma terkejut dengan sosok di hadapannya. "Dan!" Sontak ia melompat memeluk sang kakak yang sudah lama tidak saling jumpa. Saking rindunya, Emma spontan menangis di pelukannya."Ayo, masuk!" Emma menuntun Daniel masuk dan duduk di sofa. Ia menyeka air mata dengan jari-jarinya, lalu pergi ke lemari pendingin, mengeluarkan bermacam-macam stok makanan yang ia punya. Emma mengisi meja di depan sofa sampai hampir penuh kemudian ia duduk di kursi seraya mengamati rupa Daniel yang sangat berbeda. Berat badannya menyusut, tampangnya juga lusuh seperti kehilangan darah."Makanlah, Dan." Emma tidak ingin bertanya mengapa Daniel bisa berubah sedemikian rupa. Sudah pasti karena tidak ada uang. Keadaan semakin buruk semenjak ibu mereka meninggal. Niat ingin mengubah keadaan, Emma berhasil melakukannya, mengubah menjadi lebih buruk lagi.Daniel pun makan beragam jenis kudapan di atas meja. Dicicipi sedikit-sedikit, semuanya ena
Read more
Pengawal Dadakan
"Jadi, Emma sudah pergi pagi ini?" Abra mengunyah nacho."Hah ... aku tidak bisa menekan kemandiriannya. Dia tidak mau mengandalkanku. Padahal sebagai laki-laki, aku ingin diandalkan oleh perempuan."Abra tersenyum miring. "Usia kita belum genap dua puluh tahun. Bagaimana seorang gadis mau mengandalkanmu?""Aku punya bisnis, kau tahu itu?""Maksudmu ... bisnis motel ayahmu?"Luis hampir lupa kenyataannya. Meski dia menikmati banyak fasilitas; uang, kendaraan, dan pendidikan berstandar tinggi, tapi ingat, semuanya hasil upaya George. "Nanti juga akan dialihkan kepadaku. Lihat saja. Aku pewaris tunggal." Luis pede menyedot milkshake vanilla menggunakan sedotan. "Omong-omong, jika aku menginap di unit apartemenmu untuk sementara waktu ... kau tidak keberatan, kan?""Kenapa? Kau mau tinggal?""Ya ... sementara waktu. Bisa, kan?"Abra menerawang isi otak Luis. "Biar kutebak, kau kabur dari rumah?""Ehm, aku butuh suasana baru. Kamar rooftopku agak membosankan.""Oh, ya? Apa ada kaitannya
Read more
Lelaki Tanggap Darurat
Saat Enrique menunggu di mobil, Luis bergegas masuk ke kediaman Emma. Niatnya datang hendak bantu beres-beres rumah, tapi begitu tiba rumahnya sudah rapi, bersih, tidak nampak bak sarang penyakit seperti sebelumnya. Luis duduk disambut minuman rasa jeruk dingin di gelas besar serta beberapa kue kecil dalam toples."Kau yang bikin ini semua?" Luis menunjuk toples-toples di atas meja."Bukan. Aku beli, tidak sempat kalau buat sendiri. Aku bersih-bersih rumah sejak datang. Baru saja selesai begitu kau tiba.""Hmm, aku terlambat, ya?"Emma tersenyum tipis. "Tidak. Lagipula sudah kubilang tidak perlu membantu. Kau kan harus kuliah, itu yang paling perlu."Daniel menuruni tangga dari lantai dua sambil terbatuk-batuk. "Lantai dua sudah selesai! Eh, Luis, kau datang?""Baru saja." Luis mencicipi kue dari toples. "Oh ya, aku tidak bisa lama-lama. Cuma ingin beri ini!"Emma mengamati pergerakan tangan Luis. Ia membuka ransel lantas mengorek-orek isinya, mencari sesuatu. Tangan itu mencapit sebu
Read more
Cocok Tidak Cocok
Luis mendengkus entah sudah berapa kali, ditambah lagi sekali saat melihat Enrique melambaikan tangan di lahan parkir. Pria dewasa itu berdiri tepat di posisi persis seperti kemarin, dengan gaya yang sama. Ternyata ucapannya bukan isapan jempol, Enrique benar-benar loyal akan janjinya membawa Luis pulang, dan Luis tidak ingin pulang."Berapa ayahku membayarmu?""Kenapa ingin tahu? Jangan mengurusi uang orang lain.""Hih!"Luis kembali ke apartemen, bersama Enrique, lagi. Sebisa mungkin ia tidak mengacuhkan eksistensi teman ayahnya itu. Rasanya menyebalkan diikuti terus. Tatapan Luis sengaja menghindarinya, bikin sepat mata. Dia makan, menonton televisi, baca buku, tidur, tanpa berinteraksi sama sekali. Enrique sungguh tidak dianggap.Hingga pagi berikutnya, Enrique masih tetap teguh. Luis sampai berdecak kesal. "Kau masih akan membuntutiku hari ini?" tanyanya sambil berkacak pinggang.Enrique mengangguk. Camilan dari toples mengisi mulutnya."Begini saja, katakan pada ayahku, aku akan
Read more
Membela Diri
Berhari-hari berlalu. Daniel akhirnya bekerja di apartemen milik orang tua Abra. Emma pun mendapat pekerjaan di sebuah restoran cepat saji, bukan restoran cepat saji terkenal. Namun, terbilang cukup ramai. Luis kembali pulang ke Emerald setelah mengambil keputusan panjang, ia dan George membuat sebuah kesepakatan."Oke, aku akan pulang, asal jangan kau usik urusan asmaraku lagi!" Luis berkata tegas. George hanya mengangguk tanpa sanggahan, yang penting anaknya mau pulang.Keadaan berangsur membaik dari segala hal. Kakak-beradik Wilson perlahan bangkit dari keterpurukan. Aktivitas kuliah Luis lancar. Hubungan pertemanannya dengan Abra pun kian erat. Menghabiskan waktu di malam Minggu rutin dilakukan kendati pacar Luis berada di kota yang sama—Emma selalu tidak punya waktu untuk bersenang-senang saat Sabtu malam. Bekerja di restoran membuatnya terikat banyak waktu. Keinginan Abra belajar saxophone kerap dilakukan walau masih belum lancar memainkan nada. Begitu pula Luis, setiap kawannya
Read more
Selamat Tinggal
"Oh, tidak ... apa-apaan ini?!" Daniel terkejut melihat Anne tergeletak di lantai, bercucuran darah dari kepala. "Siapa yang melakukan ini?!""Bibimu ingin membunuh Emma. Jadi, kulumpuhkan dia duluan," papar Luis dengan tenang.Daniel memegang nadi sang bibi, setelahnya ia menarik rambut. "Sial! Dia mati.""Apa? Mati?!" Emma begitu panik. Siapa juga yang tidak panik terlibat dalam kondisi berbahaya seperti ini."Ya sudah, buang saja!" sahut Luis seenaknya."Kau ingin tukang sampah menemukan mayatnya, lalu melapor polisi dan kau dipenjara?" Daniel berpikir rasional. Ia melepas jaket, melemparnya ke sofa. "Kita kubur saja di halaman belakang biar dia bersatu dengan suaminya.""Paman dikubur di halaman belakang?" Emma butuh penjelasan. Itu janggal. Padahal ada banyak lahan di pemakaman umum. "Kalau tidak ada biaya, mengapa tidak hubungi aku? Lagipula kenapa kau menyembunyikan kematiannya dariku?"Daniel mendesah sambil menatap Emma dalam-dalam. "Aku tidak bisa menguburkan Paman di pemaka
Read more
Pesta Potensial
Kini Luis mengambil alih Emerald. Ia duduk di kursi bukan hanya sekadar pengganti shift, tetapi sebagai pemilik sungguhan. Luis juga mempekerjakan orang lain sebagai karyawan, dia merasa perlu guna menunjang aktivitas bisnis. Jika diharuskan mengurus administrasi, merangkap bersih-bersih tentu akan merepotkan. Luis suka yang praktis. Lebih baik mengeluarkan sedikit uang daripada mengerahkan tenaga dan menghabiskan seluruh kehidupan untuk mengurus usaha tanpa memiliki waktu bersenang-senang.Namun, kendati sudah berganti kepemilikan tidak lantas membuat George lepas tangan, ia masih ikut mempertimbangkan kebijakan untuk bisnis yang dibangun oleh tangannya sendiri. Jaga-jaga jika Luis membuat keputusan yang kurang tepat, ia bisa menasihati sang putra guna menimbang kembali buah pikirannya."Sebaiknya kita buat diskon atau voucher gratis menginap agar pelanggan tertarik.""Jika menurutmu dapat berguna, lakukan saja." George menjawab tanpa pikir panjang. Sebet
Read more
Beda Rekan Beda Kesan
Luis dan George masih berkumpul bersama keluarga Kissinger. Keluarga pemilik brand furniture ternama. Sang pemilik—Henry Kissinger, bersama anak menantunya—Monica, serta anak Monica yaitu Charlotte sang pianis. Sejak pertama kali bercengkerama, Monica menaruh perhatian penuh pada Luis, nampaknya pemuda itu membuat ia penasaran. Pun sekarang Monica masih berusaha mengetahui sepenggal mengenai Luis."Lulusan Universitas Nasional rata-rata bekerja pada bidang bergengsi. Minimal mereka tidak ada yang menganggur atau bekerja di posisi rendah. Lantas, apa saat ini kau sudah bekerja atau sedang berencana memulai karier?""Eh, aku mengelola bisnis keluarga. Kami memiliki sebuah motel di jalan utama.""Hm, bisnis bagus. Kota kita kan punya beragam tempat wisata. Jadi, penginapan adalah salah satu bidang penunjang dalam urusan pariwisata. Kami juga sedang mempertimbangkan melebarkan sayap ke bisnis penginapan," timpal Henry."Wah, kebetulan sekali!" George
Read more
Rumah Orang Besar
Sesuai janji, Rabu malam Luis dan George melakukan pertemuan dengan Henry. Tidak lain tidak bukan tempat pertemuannya adalah di kediaman Kissinger. Rumah menjadi tempat bincang-bincang ternyaman, selain menghemat biaya jika menyewa suatu tempat, pertemuan di rumah juga menjadi ajang perkenalan lingkungan serta budaya. Dekorasi khas pada hunian dan masakan yang disajikan dapat menjadi identitas tersendiri pada sebuah tempat tinggal.Luis dan George datang bersama, mengendarai mobil merah mereka yang rencananya akan diganti dengan mobil keluaran baru yang lebih bagus awal bulan depan. Usai mendesak George mengeluarkan uang simpanannya, akhirnya disepakati bahwa Luis akan mengendarai mobil keluaran Inggris yang tentunya akan menjadi kebanggaan buat si empunya. Rasanya seperti mengendarai mobil Sang Ratu.Ayah-anak itu memasuki area halaman rumah keluarga Kissinger yang luasnya setara dua lapangan sepak bola. Berlari mengelilinginya akan cukup membakar kalori guna meny
Read more
Peristiwa Sial
Hanya berselang satu pekan sejak kendaraan baru diparkirkan di halaman Emerald, Luis kembali terkejut sebab proyek rumah baru mereka kembali berjalan."Yah, uangmu sudah terpakai banyak untuk beli mobil. Bahkan si merah tidak dijual, kita jadi punya dua mobil. Bukankah itu cukup membuatmu bangkrut? Sekarang uang dari mana lagi untuk membangun rumah?""Tidak usah pusing memikirkannya.""Lho, gimana tidak pusing? Kau selalu mengeluh tidak ada uang. Hemat, hemat, hemat. Tiba-tiba menggelontorkan banyak dana untuk sesuatu. Sebenarnya berapa banyak yang kau sembunyikan, hah?"George terkikik. "Ya ampun, Luis. Kau terdengar panik seakan menghadapi bencana besar." Ia menganggap remeh kepanikan Luis."Tolong, jujurlah kali ini. Jika Ayah main judi pun tidak masalah, aku cuma ingin tahu sumber uang itu dari mana. Mustahil dari penghasilan motel. Aku tahu betul berapa yang didapat dari bisnis kita. Kecuali kita punya seratus kamar, occupancy harian
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status