All Chapters of Istri Dadakan si Dosen Tampan: Chapter 11 - Chapter 20
140 Chapters
Part 11 - Kado Pernikahan
“Eh, ada si Ukhti juga,” ucapnya tersenyum ke arah Vina. “Sha, lu kenapa sih gak pernah ngerespons deem gue?” tanyanya padaku. “Jangankan direspons, kayaknya itu deem gue di ig betah banget nangkring di fitur permintaan.”“Gue lagi gak ada waktu buat buka-buka deem,” ucapku dengan nada judes. “Sha, tau gak? Lu kalo judes-judes gitu makin bikin hati gue ketar-ketir berasa pengen langsung seret ke KUA.”‘Dasar playboy cap kadal!’ makiku dalam batin.“Astagfirullah. Kak Fadly, Asha udah—” Belum sempat Vina melanjutkan ucapannya, aku sigap mencubit pinggangnya disertai dengan delikan judes. Untungnya, dia langsung sadar dan paham sehingga mengunci mulut.“Udah apa, Vin?”“Udah gak usah bucin mulu. Kelarin itu kuliah lu yang gak kelar-kelar.”“Gue masih betah di kampus, selagi masih ada Asha yang menenangkan hati.”“Stress!” cibirku. “Lu yang bikin gue stress sampe segininya,
Read more
Part 12 - Pocecip Detected!
Aku masih melongo tanpa kata, berusaha menerawang jauh ke belakang sembari mencari letak tanda-tanda yang menunjukkan kalau Bu Aina dan suamiku punya hubungan darah. Astaga, apakah dunia benar-benar hanya selebar daun kelor?Sejauh mata memandang dan sepanjang perjalananku meniti karir di Aina Fashion, aku betul-betul tak tahu menahu hubungan Bu Aina dan Pak Ezar.“Kenapa pada kaget gitu?” Bu Aina melihatku dan Vina bergantian. Aku menggeleng pelan, seolah kehabisan kata-kata menerima kenyataan. Padahal, sebenarnya ada banyak tanya yang terbesit dalam hati. Untung saja, kami tak pernah mereview perilaku dosen galak itu di hadapan Bu Aina.“Bu, Asha doang yang dikasi kado? Kami berdua nggak?” protes Mika. “Nikah dulu, baru Ibu kasih juga.”“Nikah, Vin.”“Dih, kamu aja yang duluan. Kamu kan lebih tua sebulan dari aku,” sanggah Vina. “Si Asha aja lebih muda setahun dari kita udah nikung duluan.”“Ya kan udah jodohnya.”Aku memijat kening mendengar dua cewek cantik itu sedang adu mu
Read more
Part 13 - Kembar Beda Hari
Keesokan harinya, aku dan Pak Ezar mengunjungi rumah orang tuanya.Ini kali pertama aku bertandang ke rumah mertua. Jujur saja, rasanya cukup gugup. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, mobil Pak Ezar memasuki halaman rumah yang sangat luas. Bisa kutebak ini adalah rumah mertuaku. Hamparan rumput hijau terawat dan air mancur di halaman depan menambah keindahan rumah yang tak kalah besar dari rumahnya Pak Ezar. ‘Mimpi apa gue nikah sama sultan?’Aku turun dari mobil lebih dulu dan mendapati Bunda Ola sudah berdiri di teras sambil tersenyum ke arah kami. Dengan takzim, aku mencium tangannya memberi penghormatan. Dia juga menarikku ke dalam pelukannya seakan baru saja bertemu dengan putrinya yang pulang dari rantauan. Entah mengapa, perlakuan Bunda Ola yang sangat manis membuatku seperti tengah melihat Mama yang kembali.Seandainya, Pak Ezar juga begitu. Ah, memangnya apa yang kau harapan darinya, Asha? Jangan terlalu banyak berkhayal. Perbanyaklah sadar diri. “Bag
Read more
Part 14 - Insiden Menguntungkan
Upaya pendekatanku dengan Pak Ezar tampaknya memang agak butuh perjuangan. Hatinya barangkali benar-benar sudah terkunci untuk satu orang wanita yang sangat dicintainya. Setidaknya, aku merasa kesulitan mendapat kesempatan untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami. Apalagi, semenjak kejadian di rumah orang tuanya, ia bahkan tak banyak berbicara padaku.Entahlah, padahal aku sendiri hanya mengikuti permainannya yang ingin kami terlihat baik-baik saja di depan keluarga.Lagian, aku tak terlalu berlebihan, kok? Hanya sebatas memanggil ’sayang’, apa salahnya?Akan tetapi, bukan Asha namanya kalau menyerah. Walaupun mungkin suatu hari nanti aku mengalah, tetapi saat ini entah dorongan dari mana sehingga aku seakan tak rela melepas pernikahan ini begitu saja.Jujur, aku dapat merasakan kehangatan di keluarga suamiku. ‘Kalau memang tak dapat hatinya Pak Ezar, minimal bisa menjungkirbalikkan jantungnya. H
Read more
Part 15 - Cium Kening
Pandangan kami bertemu cukup lama menciptakan getaran aneh dalam tubuh ini. Jantung berpacu dengan kecepatan maksimal. Tetapi napasku justru seperti terhenti di saat tubuh kian membeku.Aku meneguk ludah susah payah, memandangi wajah dosen yang meskipun galak tetap menjadi pemegang tahta tertinggi idola cewek-cewek di kampus.Alisnya yang tebal, mata yang sedikit sipit tapi sekali menatap bikin nyali menciut. Hidungnya, bibirnya, dagunya ... paras yang sempurna.Ah, jadi membayangkan kalau ... Tidak-tidak!Rambut basahnya tiba-tiba menitikkan air tepat di pipiku, tetapi yang dingin malah hatiku. Menyadari kami sudah tak berjarak, aku mendorong dadanya yang telanjang agar berpindah dari atasku. Jujur, aku kesusahan bernapas.“Aduh!” ringisku merasakan bokong yang sakit begitu berhasil duduk. Untungnya, karena tadi Pak Ezar melindungi kepala ini dengan tangannya saat kami terjatuh. Seenggaknya terhindar dari geger otak.Aku melihat Pak Ezar gelagapan tampak salah tingkah. Kini ia me
Read more
Part 16 - Rumpi No Secret
Aku melambaikan tangan ketika mobil Pak Ezar mulai melaju. Ia membalas, tak lupa menebarkan senyuman yang bikin hati jungkir balik. Tuhan, senyumnya manis sekali! Sayangnya, dia jarang senyum dan lebih betah dengan wajah galaknya. Jadi tak sabar menunggu kepulangannya di hari Minggu. Ah, Asha! Kamu gimana sih? Dia baru saja pergi, malah sudah menunggunya pulang. Kau benar-benar aneh sekarang!“Duh, senyum-senyum. Orang kalau jatuh cinta gini, nih,” sindir Ibu mertua. Senyumku yang tadi mengambang, memudar perlahan menyadari Ibu mertua sedari tadi bersamaku.Astaga. Bisa-bisanya aku melupakan keberadaannya? Apa aku benaran jatuh cinta? Tapi, masa secepat itu? Tidak ada angin, hujan juga belum turun, masa iya semudah itu aku jatuh cinta? Memangnya hatiku terbuat dari apa? Kok, mudah sekali goyah?‘Gak, ah! Kalaupun iya sejak kapan?’‘Masa gue jatuh cinta sendirian?’“Bunda apa-apaan, ih,” gerutuku sebal. Bunda Ola terkekeh. “Jatuh cinta pada suami ... halal kok, Sayang. Memang s
Read more
Part 17 - Curhatan Vina
Setidaknya, mataku menghangat dalam seketika. Aku tak bisa berkata-kata, tetapi cukup mampu menyunggingkan senyum tipis di atas luka.Kenyataan yang baru saja disuguhkan semesta kuakui sedikit membuat terluka. Padahal semangat api perjuangan baru berkobar, tetapi sekejap saja dipadamkan menyisakan bara yang masih berasap. Semula, aku mengaku tak cemburu. Tetapi, tidak dengan sekarang. Aku cemburu, tapi ada hak apa aku padanya? Bahkan, hatinya saja belum menjadi milikku.“Udahlah, biarkan aja,” ujarku. Nyatanya, berlagak bodo amat pun tidak bisa menjamin hati tak sakit. “Minimal hargai istri sah,” cetus Mika. KREK!Spontan, aku menoleh ke arah sumber suara. Betapa kagetnya melihat Mika meremas kasar lembaran proposalku yang terlapisi dengan map plastik. “Maaf, Mbak. Proposal gue terlalu berharga,” kataku menarik pelan tumpukan kertas itu. Begitu sadar hampir merusak barang pentingku, Mika menyeringai tipis. Dari raut wajahnya terlihat tak ada sedikit saja raut bersalah. “Erosi
Read more
Part 18 - Oleh-Oleh
Mika menatapku penuh emosi. Seenggaknya aku melihat ia salah tingkah. Tapi tak lama, napasnya berembus kasar. “Skip! Balik ke Vina,” katanya malas. Selalu saja begitu, dia mengalihkan pembicaraan jika pembahasan sudah merujuk pada kisah cintanya yang abu-abu.“Orangnya baik gak Vin? Gak kasar?” tanyaku. “Baik. Aku pernah beberapa kali ngobrol dengannya,” jawab Vina.“Seharusnya kalau lu udah tau gimana-gimananya dia, lu bukan butuh mau apa gaknya lagi sama dia, tapi lu butuh yakinin diri untuk sama dia. Ikutin kata hati lu aja maunya gimana,” ujar Mika.“Ya deh. Aku harus salat istikharah.”Seketika itu Mika memukul pahaku. “Nah. Harusnya lu kemarin juga salat istikharah, Sha.” “Jangankan salat istikharah. Gue napas aja belum sempat udah keburu nikah aja.”Mika tertawa terbahak-bahak seakan memang senang banget temannya berada di situasi yang bikin jumpalitan. “Menari-nari di atas penderit
Read more
Part 19 - Masalah Mulai Datang
“Asha, hubungan kamu dengan Pak Ezar ada perkembangan?” tanya Vina berbisik saat antrian di kasir sedang senggang. Aku menoleh sebentar ke arah Vina. Lalu, kembali memandang layar komputer di hadapanku. “Belum ada yang bisa gue katakan,” jawabku menghela napas berat. “Gak coba ngobrol dari hati ke hati? Minimal ngasih tau perasaan kamu ke Pak Ezar.”Tanpa menjawab, aku menghempaskan bokong ke kursi dengan kasar.“Gue juga gak tau perasaan gue. Gak yakin kalau ada cinta.”“Hah, gimana?” Vina memicingkan matanya ingin mendengar jawaban yang mungkin lebih panjang dan jelas. Sayangnya, aku hanya membalas dengan gelengan. Rasanya, saat ini tak bisa banyak bicara. “Eh, eh.” Vina memukul pelan lenganku beberapa kali. “Pak Ezar sama Manda.”Aku menoleh ke arah pintu masuk di mana Pak Ezar dan Manda berjalan beriringan memasuki toko. Melihatnya bersama, seperti ada tangan tak kasat mata yang sengaja meremas-remas jantung dengan begitu kerasnya. Menyangkut Manda, dia bisa punya banyak wak
Read more
Part 20 - Nginap di Kos Vina
Pak Ezar diam seribu bahasa seakan memang tak berminat untuk menjawab. Padahal, aku hanya ingin tahu keputusan apa yang akan diambil di situasi sekarang ini? “Mbak Manda kayaknya sayang banget sama Bapak. Saya jadi merasa bersalah,” ucapku saat Pak Ezar tak kunjung berbicara. “Sebaiknya saya balik ngekos aja, Pak. Nanti Mbak Manda makin marah.” Aku menunduk sembari meneguk ludah susah payah. Sebenarnya berat kalau harus aku yang mengalah. Perjuanganku sudah sejauh ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Dari awal kan kami menikah karena dijodohkan. Apalagi, seorang Asha punya 3 prinsip dalam menjalin hubungan; pertama, tidak menyakiti perempuan lain. Kedua, tidak menjadi orang ketiga. Dan ketiga, tidak mengemis perhatian. Poin-poin itu akan kuingat sampai kapan pun. “Saya ke kamar dulu, Pak,” pamitku langsung berlalu. "Tunggu!” Langkahku terhenti mendengar suara Pak Ezar. A
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status