All Chapters of BUKIT TENGKORAK : Chapter 71 - Chapter 80
92 Chapters
71
Bulan dan Angkasa tidak sedang berkhianat, mereka hanya lapar dan harus mencari sesuap nasi atau apa pun itu. Dan gudang Jepang merupakan salah satu lumbung makanan yang paling megah menyimpan segalanya. “Ada banyak penjaga, Bulan.” Pemuda berambut ikal itu mengintai dari jauh. “Aku tahu, Bang, tapi aku juga ingin merasakan hasil panen yang dibawa oleh mereka.” Mata abu-abu Bulan menangkap kedatangan beberapa warga yang menyerahkan hasil bumi pada para penjajah. “Kita selesaikan dengan penuh kehati-hatian dan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit,” ucap Angkasa. “Serta tidak timbul kebisingan. Kalau tidak kita akan tertangkap basah dan mati sia-sia.” Bulan menatap dengan jelas musuh-musuh yang ada di hadapannya. Ia dan Angkasa mulai mengatur siasat. Pemuda campuran Minang dan Aceh itu akan menarik perhatian, Bulan tinggal mengeksekusi dan keduanya akan merebut bahan makanan secukupnya. Kesepakatan telah dicapai. Angkasa memanjat pepohonan terlebih dahulu. Bulan mengendap-en
Read more
72
Jepang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja selama menjajah tanah Aceh. Sudah banyak kerugian yang mereka hadapi. Sudah banyak tentara yang mati. Satu demi satu pejuang tempatan terus tumbuh. Mati satu datang seribu lagi. Angkasa dan Bulan hanyalah satu dari yang terhebat saja. Dana Jepang dalam menghadapi sengitnya perlawanan di Aceh juga terus menipis. Kekaisaran mereka harus menggelontorkan dana cukup besar dalam menghadapi Amerika beserta sekutunya. Seperti kata Fujiwara dan Osamu, mereka sedang membangunkan singa tidur saja. Akira tahu meski ia tak diberi tahu. Dia adalah satu dari ninja terbaik milik kekaisaran Jepang. Perempuan berpakaian hitam itu menyerahkan segenap hidup pada negara yang ia junjung tinggi filsafatnya. Selain itu ia hanya ingin keluarganya hidup dalam kecukupan saja. Serangan demi serangan sebenarnya telah membuat Jepang beberapa kali mundur dari arena pertempuran. Demikian juga gadis cantik tak banyak lagi yang bisa dinikmati. Kekalahan Jepang hanya ti
Read more
73
Pada tanggal 3 dan 6 agustus tahun 1945 dua buah bom atom telah dijatuhkan secara bergantian di kota Hiroshima dan Nagashaki. Hal demikian semakin memperkukuh kekalahan Jepang pada perang dunia dua. Kaisar mereka bertekuk lutut. Semua armada perang Jepang diminta kembali ke tanah kelahiran mereka. Sayangnya, tak semudah itu bagi Jepang untuk kembali dari Aceh. Ribuan darah yang tumpah harus dibayar dengan harga yang sama. Satu demi satu markas mereka dibakar termasuk dengan orang-orang di dalamnya. Akira dan Osamu hanya salah satu korban dari sekian banyak pejuang Aceh yang menuntut mereka pergi. Demikian juga markas Jepang di Bukit Gayo. Di sebuah rumah megah peninggalan kerajaan Inggris dan Belanda. Di mana salah satu keturunan kerajaan Inggris harus dibawa pulang. Di sana juga Angkasa, Bulan, dan Smith sedang menunggu waktu yang tepat. Untuk apa? Untuk menyerang? Tidak! Melainkan untuk menanyakan apakah perempuan berambut pirang itu mau ikut dengan Smith atau tidak. Mereka masi
Read more
74
“Syaratnya yaitu kau hanya perlu tunduk denganku saja.” Datok Panglima mengelus jenggotnya yang putih. “Tunduk? Maksudnya tunduk itu bagaimana?” Bulan bingung. “Kau harus mengakui kehebatanku, mudah bukan?” “Tunggu dulu, kau ini siapa dan kenapa berani-beraninya memerintahku?” Bulan berkacak pinggang. Gadis itu teguh pada pendirian dan tak mudah dicuci otaknya. Datok Panglima sedang berhadapan dengan salah satu keturunan Pangeran Alif. “Aku yang bisa menghilangkan bekas lukamu.” “Aku tanya kau siapa? Bukan apa yang bisa kau lakukan.” Bulan hendak lari dari hadapan lelaki yang terlihat sakti itu. Namun, ia tak bisa bergerak, kedua kaki Bulan serasa tertanam di dalam tanah dan ia terus-terus semakin tenggelam ke dalam rawa-rawa. “Kenapa aku bisa ada di rawa-rawa?” Gadis bermata abu-abu itu keheranan. Datok Panglima mempermainkan alam mimpinya. “Tunduklah dibawah kuasaku aku akan menolongmu dari kematian.” Makhluk gaib itu tak menyerah. “Tidak, tidak akan! Lebih baik aku buruk r
Read more
75
Bulan turut berlarian ketika para pejuang mulai menyerang. Gadis bermata abu-abu itu tergeser, terdorong, terjatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, terus berdiri, dan ikut berjuang bersama yang lain. Ketika isi pelurunya telah habis, ia bertarung menggunakan tangan kosong dan belati. Bulan berdarah-darah dan terluka. Ia bahkan ngos-ngosan ketika baru selesai melumpuhkan tentara Jepang yang ingin menembaknya. “Apa ini?” gumam Bulan ketika melihat para pejuang tidak ada yang terluka sedikit pun. “Bang, Bang Angkasa, kau di mana?” Bulan hendak menyelamatkan pemuda itu dari pertempuran yang tidak setara dengan jalan pikirannya. Namun, gadis tersebut mendadak terpaku. Dengan mata abu-abunya, Bulan melihat sendiri ketika para pejuang tempatan ditusuk dengan belati mereka tak tumbang, dan ketika ditembak juga tidak jatuh. Dari pihak Jepang sudah banyak yang tewas dan bersimbah darah sedangkan dari pejuang yang dipimpin oleh Gading semua masih sehat wal afiat. “Ini bukanlah peperangan yang ak
Read more
76
“Bulan, kau mau ke mana?” Smith berteriak tapi gadis itu tidak mendengarnya. Letnan bermata biru itu menghela napas. Tadi ia sempat berpikir Bulan akan kembali dengan tangan kosong. Ternyata keturunan kerajaan yang tersisa bersedia untuk ikut. “I’m Smith.” Lelaki bermata biru itu mengulurkan tangan. “Mega, and this is Henry, my baby.” “No, this baby, he can’t go.” Smith bimbang sebab perintah dari kerajaan adalah jelas hanya membawa keturunan kerajaan saja. Bayi dalam pelukan Megan merupakan campuran dengan tentara Jepang. Ia ragu keberadaan anak itu akan diterima dengan tangan terbuka. Namun, Smith tak terlalu ambil pusing. Ia justru memikirkan Bulan yang terang-terangan kembali ke medan perang. “Dia pasti ingin menyelamatkan kekasihnya itu. Mereka terlihat serasi, walau aku benci dengan yang lelaki.” Smith menyunggingkan senyum. Lelaki tersebut semakin yakin Bulan tak akan mengikuti langkahnya untuk kembali ke Inggris. *** Bulan berhasil mendekati medan perang lagi. Di dep
Read more
77
Sebelum truk dijalankan, Smith memeriksa Bulan dan Angkasa terlebih dahulu dengan beberapa peralatan medis sederhana yang tertinggal di tasnya. Lelaki bermata biru itu terlebih dahulu menolong Angkasa. Ia tarik ranting-ranting pohon yang menancap di kulit dan alhasil pemuda berambut ikal itu meringis. Kemudian luka Angkasa dicuci dengan air bersih seadanya dan ditutupi dengan plaster setelah mendapatkan jahitan ringan. Smith melakukan tugasnya sebagai dokter dengan baik. Lanjut memeriksa Bulan, letnan itu begitu berhati-hati menolong dan membersihkan luka gadis itu, sebab bercampur dengan perasaan yang mendalam. Angkasa tahu dan matanya tak pernah lepas dari keduanya. Terutama ketika Smith mulai ingin menyentuh pipi Bulan. Ia pun berdehem. “Aku bisa sendiri,” ucap Bulan yang lupa mengoleskan salep di wajahnya. Beruntung benda ajaib itu tak ikut jatuh saat ia lari sana-sini, tersimpang rapat di karet pinggangnya. Waktu terus berjalan selama beberapa saat sambil menunggu Bulan dan
Read more
78
Tak terasa truk sudah dua kali diisi minyak demi bisa sampai di wilayah pesisir. Sepanjang perjalanan terlihat bekas-bekas peperangan melawan Jepang. Belum diketahui pihak mana yang menang, tapi Bulan bisa melihat para warga mulai berjalan kaki dengan rasa aman. Truk akhirnya sampai di dekat pinggir pelabuhan tempat kapal Smith ditambatkan. Kapal perang itu masih utuh tanpa rusak sedikit pun. Tadinya Bulan sempat ragu dan berpikir bahwa Jepang telah menghancurkannya. “Sudah sampai,” kata Bulan pada Smith. Gadis itu membantu Megan turun beserta anaknya. Nampak jelas mata Megan sembab karena terus-terusan menangis. “Buang-buang nyawa saja menyelamatkan perempuan cengeng seperti dia.” Bulan tak habis pikir. Seharusnya Megan tak menaruh hati pada tentara Jepang, seperti halnya ia bersikap biasa saja pada Smith. Letnan bermata biru itu memberikan isyarat pada wakilnya agar segera menurunkan tangga. Sang wakil tersenyum lega melihat kedatangan pemimpinnya. Ia turun dengan cepat dan men
Read more
79
Smith berada di pinggir kapal, menikmat angin laut yang menerpa wajahnya. Sudah satu minggu ia berpisah dengan Rembulan, dan setiap malam pekerjaannya sekarang bertambah. Yaitu, memandang bulan yang bersinar redup di angkasa. Smith menaruh harapan terlalu dalam pada gadis itu. “I miss you,” ucapnya setelah menuangkan red wine ke laut. Merah warna minuman itu serupa merah hatinya yang tulus menyayangi Bulan. Semudah itukah ia jatuh cinta? Bisa saja, sebab sudah lama ia tak jatuh hati pada wanita lain. Sekalinya dipertemukan oleh yang wajahnya buruk tapi memiliki kematangan hati yang luar biasa. “Sir.” Wakil Smith datang. “Ada apa? Megan lagi?” Lelaki itu tahu apa yang terjadi. Sungguh lebih mudah membawa Bulan daripada Megan. Wanita itu menunjukkan tanda-tanda kejiwaan yang tidak stabil. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya wakil kapal itu. “Untuk sementara jauhkan dia dari anaknya. Walau bagaimanapun bayi itu tidak berdosa, aku khawatir Megan melukai anaknya. Semoga kita cepat
Read more
80
Smith berdandan rapi dan tampan malam itu. Ia memenuhi undangan pesta dansa dari salah seorang kerabat kerajaan. Sebenarnya sang letnan malas pergi, ia masih mabuk lautan, tapi menolak undangan tanpa alasan penting sama saja sebuah tindakan tidak hormat sama sekali. Kemeja putih dan jas hitam serta celana kain yang licin ia gunakan, ditambah parfum yang aromanya sangat maskulin. Penampilan yang sangat kontras seperti ketika ia ada di bukit bersama Rembulan. “Kalau dia melihatku seperti ini, aku yakin Bulan akan mudah jatuh hati padaku.” Smith menyisir rambut dan merapikan dasi kupu-kupu di lehernya. Ia sudah sangat siap dan pergi menggunakan mobil dan dikendarai seorang supir. Gaya hidup glamor tapi elegan yang menjadi ciri khas keluarga kerajaan. Lelaki bermata biru itu menghidupkan cerutu. Sudah lama ia tak menghisap sejak saat ditugaskan ke tanah Aceh. Ia hirup dalam-dalam sambil membayangkan aroma rambut Bulan. Padahal ia sendiri tak pernah menghirupnya. Mobil sampai di temp
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status