Semua Bab Enggan Punya Anak: Bab 21 - Bab 30
34 Bab
21
Aku tak pernah menduga Mas Herman akan melontarkan kata-kata yang sedemikian menyakitkannya hingga membuat ulu hatiku terasa pedih. Kontrasepsi. Anak. Drama. Akukah yang menyebabkan semua masalah itu? Kata-kata para tetangga yang dulu tak pernah kupedulikan bergema di kepala, celetukan Mbak Yuli, kritik dari Ibu, dan perkataan Mas Herman silih berganti mengacaukan kepalaku. ‘Keputusan untuk memiliki anak hanyalah untuk keluarga kaya.’‘Jika hanya mementingkan diri sendiri, maka selamanya kita tidak akan bisa memiliki anak.’‘Punya anak mesti berkorban segalanya. Nggak kayak kamu yang selalu mau cantik, tahunya cuma dandan.’‘Pantas saja sampai sekarang kamu nggak punya anak, jagain Fatur sepuluh menit aja nggak becus!’‘Wajar aja suamimu begitu. Aku juga kalau jadi laki-laki mana bisa bertahan sama perempuan yang ndak mau punya anak, ditambah pembangkang dan egois kayak kamu.’Apakah menunda anak adalah sebuah dosa besar? Karena menolak rezeki dan anugerah? Pada detik ini, kuraguk
Baca selengkapnya
22
Aku terbangun tengah malam dalam keadaan haus. Merasa heran karena tidak menemukan Mas Herman di sampingku. Mungkin ia ke kamar mandi. Aku merenggangkan badan yang pegal-pegal karena ulah lelaki itu yang terlalu bersemangat untuk memiliki anak.Setelah memakai kardigan, aku menyeret langkah menuju pintu sembari terkantuk-kantuk. Badan masih ingin menempel di tempat tidur, tapi tenggorokan terasa lengket dan serak. Handle pintu sudah kuputar. Baru saja hendak melangkah keluar ketika dari celah pintu kulihat Mas Herman dan Ibu yang sedang mengobrol di sofa. Ekspresi keduanya sangat serius. Aku memutuskan untuk tidak keluar dulu. “Jangan begitu ke Farah, Bu. Tahanlah sedikit emosi Ibu.”Ternyata Mas Herman menepati perkataannya tadi sore. Aku memasang senyum. “Gimana bisa tahan? Istrimu itu kurang ajar, Man. Ibu ini sudah tua, ya wong mau lihat yang baik-baik, yang tenang-tenang. Jangan mentang-mentang dia cantik dan punya penghasilan sendiri malah seenaknya nggak sopan sama Ibu.”Ken
Baca selengkapnya
23
Aku kembali berpura-pura tidur setelah mendengar semua itu. Padahal dalam kepala sudah tersusun rencana untuk seharian ini. Tak sanggup kumenghadapi Mas Herman. Sepiring nasi goreng di atas meja adalah sarapan terakhir yang akan yang kusiapkan untuknya. “Mas berangkat ya, Dek,” pamitnya sembari mencium keningku. Tak pernah sekali pun kutatap matanya. Aku takut diri ini akan kehilangan kendali. Kutahan rasa sesak dan kecewa di dalam hati selagi mengerjakan rutinitasku setiap pagi. Koper sudah kusiapkan di bawah ranjang selepas kepergian lelaki itu. Mengambil semua pakaianku dari dalam lemari sembari menahan tangis. Namun, betapa lemahnya pertahanan ini. Air mata itu meluncur deras ke pipi. Aku menahan segala rasa pedih dan meneruskan pekerjaanku. Mengambil tas besar dari dalam lemari, lalu memasukkan semua barang yang kumiliki. Sebenarnya di mana kesalahanku?Sudah kulakukan semua tugasku di rumah ini. Melayani suami, merawat mertua, mengurus rumah, membantu ipar, bahkan sampai b
Baca selengkapnya
24
Angin dari arah depan menabrak-nabrak tubuhku. Air mata kembali menetes. Meratapi nasib malang yang kuterima. Mau tak mau aku harus bangkit secepat mungkin. Mesti mencari kontrakan atau kosan untuk kutinggali. Motor terasa berat kukendarai karena penuh dengan barang. Karena terlalu banyak pikiran, aku sampai tidak melihat motor yang terparkir di depan toko. Karena panik, aku menyerempet motor itu hingga terjatuh. Untunglah aku tidak terpisah dengan motorku. Dengan meringis keras, aku mencoba bangun. Kesulitan ketika hendak mengangkat motor yang penuh dengan beban. Aku menangis lagi. Tak cukup dengan semua penderitaan itu, sekarang aku mesti menghadapi ujian lagi. “Eh, Mbak nggak apa-apa?” Seseorang tiba-tiba membantuku berdiri sampai mengangkat motorku hingga kembali tegak. Aku membuka kaca helm, mengusap air mata sebelum pria tinggi itu berbalik. “Makasih ya, Mas. Terima kasih banyak.” “Loh, Mbak Farah?”Aku mengangkat mata. “Mas Farel?” Ekor mataku melirik motor yang tadi ters
Baca selengkapnya
25
Itu adalah pesan terakhir dari pria itu. Pesan yang dipenuhi keputusasaan. Alih-alih merasa senang dengan kalimat itu, aku malah tersenyum miris. Sebelum mendengar percakapannya dengan Ibu, aku pasti akan berbunga-bunga membacanya. Namun, aku tahu betul, dia mengatakan itu untuk membujukku kembali ke rumah. Agar ada yang mengurus rumah dan orang tuanya. Aku tak tahu jika semua perhatian dan rasa cintaku hanya dinilai seperti pembantu dan perawat. “Kamu hebat, Mas. Kamu hebat bisa menjebakku.” Mata ini berkaca-kaca dan lagi-lagi mengucurkan air mata. Aku merasa seperti dipermainkan. Mimpi yang dulu kurajut bersama lelaki itu adalah omong kosong belaka. Sekarang aku benar-benar sendiri. Tidur dan tinggal sendirian di kamar yang asing ini.Selain pesan dan telepon tak terjawab dari Mas Herman, aku juga mendapatkan telepon dari Emak dan Mbak keke. Barangkali pria itu menghubungi mereka untuk menanyakan keberadaanku. Aku menelepon Emak terlebih dulu, tak ingin Emak khawatir terlalu lam
Baca selengkapnya
26
Tiga hari kemudian, aku baru bisa bangkit dari tempat tidur. Mendapati kamar yang sempit dan kosong. Aku perlu membeli kompor dan peralatan masak. Untunglah aku masih punya banyak tabungan dari upah jadi asisten MUA ditambah dengan emas-emas yang Mas Herman belikan. Aku beranjak ke pasar. Motor yang kupakai adalah kendaraan yang dicicilkan Bapak sebelum menikah dengan Mas Herman, jadi aku juga membawanya. Aku membeli kompor, tabung gas, peralatan makan dan alat-alat memasak serta kipas angin berukuran kecil. Memutuskan memenuhi kosanku dengan barang-barang agar aku bisa tinggal lebih nyaman. “Eh, Mbak Farah. Lagi belanja, ya?” Suara yang renyah dan sopan itu membuatku menoleh. “Oh, Mas Farel.”“Nggak usah panggil Mas. Aku masih mahasiswa kok.”Aku memberikan senyum canggung. Lelaki itu lebih muda, tapi jauh lebih tinggi dariku. “Udah dapat kosan?” “Sudah.”“Oh, sini barangnya biar aku bawain. Motornya di mana?”Belum sempat aku setuju, Farel sudah merebut semua belanjaan dari ta
Baca selengkapnya
27
Aku terperanjat. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian. Tubuh ini hampir luruh ke lantai jika wanita itu tak segera menangkapku. “Kebetulan saya bidan. Mbak mau saya antar ke puskesmas tempat saya praktik?”Aku masih tidak fokus. Kepala tiba-tiba menjadi kosong. Suara- kencang suara di sekitar tidak begitu terdengar. Jantung ini melesat hingga terasa sakit. “Saya … mau cerai.”Kesunyian kembali menyelimuti. Aku mendongak dan sekilas melihat ekspresi bersalah di wajah bidan itu. “Saya mengerti. Mau saya antarkan ke suami Mbak?”Aku menggeleng keras. Tak tahu apa yang harus kulakukan kedepannya. Apakah harus memberitahukannya pada Mas Herman?“Tentu penilaian saya nggak begitu akurat. Untuk mengetahui lebih jelas, Mbak bisa tes sendiri dengan test pack atau memeriksakan ke rumah sakit.”“Saya boleh minta tolong?” Aku mencoba berdiri dengan kedua kaki meski rasa mual itu terus saja mengobrak-abrik perut. “Tentu, saya siap bantu.”“Bisakah Mbak mengambilkan hasil surat tuntutan percer
Baca selengkapnya
28
“Hah? Kamu hamil?”Aku mengangguk atas reaksi kaget Mbak Keke. Siang ini dia ada di kamar kosku setelah aku memberitahu alamat padanya. Karena aku tak bisa berkendara ke rumahnya yang cukup jauh. Keheningan menyelimuti kamar. Kami sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing. “Jadi … kamu mau apa sekarang?”Aku menunduk dengan helaan napas pendek yang penuh keresahan. “Aku juga nggak tahu, Mbak.”“Gini aja. Lakukanlah masa percobaan dulu. Mungkin satu atau dua bulan. Kalau mereka tetap memperlakukanmu secara nggak baik, aku sendiri yang bakal jemput kamu di rumah itu.”Itu ide yang tidak buruk. “Aku nggak yakin, Mbak. Bagiku rumah dan kampung itu seperti neraka. Aku yang nggak hamil aja memilih kabur, bagaimana dengan aku yang sedang hamil?”“Mungkin mereka akan berubah karena kamu sedang hamil. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau mereka mengucilkanmu karena kamu belum punya anak?”Aku terdiam lama. Apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik setelah mendengar kabar kehamil
Baca selengkapnya
29
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”
Baca selengkapnya
30
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status