Enggan Punya Anak

Enggan Punya Anak

Oleh:  Mustacis  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
3 Peringkat
34Bab
652Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

“Farah mah boro-boro bau minyak gosok. Dia tiap pagi wangi parfum sama handbody mahal. Kita apa atuh emak-emak yang mesti berkorban segalanya untuk melahirkan dan mengurus anak.”

Lihat lebih banyak
Enggan Punya Anak Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Siti Asih
Finish 27042024.. Selalu bisa bikin cerita yg mengaduk2 emosi.. masih berharap kisah bahagia Farah lebih panjang.. Makasih Kak.. sukses selalu.. ......
2024-04-27 02:17:10
0
user avatar
Siti Asih
Start 26042024.. Let's go..!!!!
2024-04-26 23:49:16
0
default avatar
Baby Yangfa
aku suka ceritanya. relate untuk pejuang garis dua seperti aku...
2023-12-20 16:56:55
1
34 Bab
1
“Yuurrrrr~ sayuurrrrrr~”Senandung panjang seperti bunyi mesin motor itu membuatku bergegas keluar rumah. Dengan daster kuning bermotif bunga sebatas lutut dan rambut yang terikat rapi, aku mendekat ke tukang sayur gerobak yang biasanya memang selalu hadir di pagi hari. “Ada apa aja, Kang Yur?” tanyaku pada tukang sayur yang sebenarnya bernama Yudi itu, dipanggil Kang Yur karena teriakan sayurnya yang khas.“Biasa, Mbak, dipilih aja. Semua sayur ada kok itu. Masih pres!” Aku melongokkan kepala mencari-cari sayur apa yang enak dimasak hari ini. Jari menunjuk beberapa sayuran yang tergantung di gerobak.“Labu sama kacang hijau aja, Mbak. Enak tuh dimasak ama santan. Behhh muantapp!” Sepertinya itu memang perpaduan yang enak. Membayangkannya saja membuat perut berbunyi. Aku memasang senyum tipis. “Mertuaku asam urat, Kang. Gak boleh makan kacang-kacangan.” Kusembunyikan helaan napas kecewa. Padahal kepengin sekali makan kacang panjang.“Perhatian kali kamu, Farah. Jadi, selama ini ka
Baca selengkapnya
2
“Ya jelas, Farah ‘kan nggak mau berkorban, Bu-Ibu. Doi masih kepengin cantik dan berbody aduhai.”“Sebaiknya punya anak aja, Neng. Jangan ditunda terlalu lama. Entar kalau umur udah lewat 30 udah susah lahiran. Anak adalah ladang rezeki buat orang tua.”“Iya, Neng Farah. Lagian nunda-nunda punya anak begitu cuma buat orang kaya. Kita orang miskin nggak usah ikut-ikutan.” Bukankah sebaliknya? Keputusan untuk menunda atau tidak memiliki anak harusnya dipikirkan oleh orang miskin, sebab biaya tidak cukup untuk menghidupi maupun menyekolahkan anak.Dadaku terasa semakin sesak mendengarkan omongan mereka yang terus dikompori oleh Lastri. Entah mengapa Lastri tidak menyukaiku. Mungkin karena sering mendengar curhatan Mbak Yuli tentangku. “Ini uangnya, Kang. Makasih, ya.” Kang Yur menatapku tidak enak sambil menerima uang.“Saya permisi dulu, ya. Mesti masak.” “Cepat amat belanjanya, Farah. Kalau dikasih tahu sama orang tua ya kudu didengerin. Jangan kabur. Kepala batu juga, ya kamu.” S
Baca selengkapnya
3
Aku melongo. Menahan rasa kecewa karena sayur itu belum sempat kumakan. Suasana meja makan yang berbentuk bundar dan berukuran kecil itu jadi semakin heboh. Mbak Yuli mengomel panjang dan memarahi anaknya bahkan sampai memukul tangan mungil anak itu. Fatur terdiam dengan bibir menekuk turun siap menangis, tapi terlihat takut karena Mbak Yuli memelototinya. Ah, kasihan sekali. Padahal dia tidak tahu apa-apa. “Kalau begini terus, kamu nggak Ibu kasih makan lagi! Makan aja tuh bubur yang udah tumpah!”Aku meringis mendengar perkataan kasar itu. Ibu mertua pun tidak menegur. Dia mengambil alih Fatur yang sedang menangis hebat lalu membawanya keluar dari dapur. Setelah sang anak dibawa keluar, Mbak Yuli tak lantas berhenti mengomel. Ia mengisi piringnya dengan sayur yang sudah diremas-remas oleh Fatur lalu memakan semua sisa telur dadar yang ada di piring. Tak menyisakanku sedikit pun. Di balik wastafel, aku hanya bisa memandanginya dengan helaan napas kecewa dan perut yang berbunyi. D
Baca selengkapnya
4
Aku mengambil keranjang cucian yang tergeletak di tengah ruangan, lalu mulai membereskan semua pakaian yang berserakan di atas ranjang. Jika keadaan kamarnya begini, tentu saja si anak akan mudah sakit. Semua mainan kusatukan di dalam kardus lalu meletakkannya di samping lemari yang pintu-pintunya terbuka. Pakaian di dalam acak-acakan. Pintu lemari berdebu sampai ditempeli kotoran cicak yang sudah kering. Aku mengernyit. Menutup pintu lemari dengan kaki lalu kembali membereskan semua pakaian yang masih tersisa di lantai. Sementara di atas ranjang, Fatur mulai bosan dengan mainannya. Ia merangkak hendak turun dari ranjang. Posisiku sedang membereskan pakaian terakhir ketika sedikit lagi Fatur akan terjatuh dari ranjang. Aku membelalak. Dengan panik berlari ke arah anak itu. Aku terpaksa menjatuhkan diri ke lantai untuk menangkap Fatur. Untunglah aksi itu berhasil. Namun, lutut menjadi korbannya. Fatur menangis kencang. Ia meraung-raung sambil memberontak dalam peganganku sampai mem
Baca selengkapnya
5
Aku tahu jika kuteruskan, itu hanya menjadi bumerang untukku. Mereka berdua akan semakin ganas menyalahkan dan mencari-cari celah untuk memojokkanku. Terlebih suara Mbak Yuli semakin kencang. Tetangga bisa mendengar. Aku memberikan waktu tiga detik untuk diriku menghela napas guna menenangkan diri. Tak ada habisnya jika terus meladeni mereka, meski api amarah sedang menggebu-gebu di hati. “Kalau gitu lain kali Mbak nggak usah minta aku jagain Fatur. Nanti bisa celaka lagi.” Aku melangkah hendak keluar. “Menjadi seorang ibu memang mulia, tapi bukan berarti kalian boleh merendahkan perempuan lain seenaknya.”Aku keluar, meninggalkan ibu dan Mbak Yuli yang masih berkutat dengan napas ngos-ngosan gegara amarah. Samar-samar aku mendengar gerutuan Mbak Yuli saat aku meninggalkan pintu kamar itu. “Lihat mantumu itu, Buk. Kurang ajar banget! Bisa-bisanya Ibu bolehin dia tinggal di rumah ini.”Aku mengembuskan napas berulang kali. Sejauh ini aku tak mengerti mengapa para wanita yang menyand
Baca selengkapnya
6
“Udah, Mas. Nggak usah diingetin lagi. Malah nambah masalah. Dijelaskan pun mereka nggak bakal ngerti dan mengakui kesalahan mereka.”“Ya mau bagaimana lagi, Dek. Diabaikan aja kalau Mbak Yuli nyerang kamu lagi. Nggak usah ditanggepin.”Masalahnya wanita itu punya bekingan kuat, yaitu Ibu. Dia akan selalu dibela bagaimanapun keadaannya. Jika bukan Mas Herman yang memihakku, aku tidak akan bisa sabar menghadapi mereka. “Gimana kalau kita ngekos aja? Yang kecil juga masalah, asal hidup kita tenang.”Aku juga merasa sudah lelah terus memahami kondisi Ibu yang sudah tua dan penyakitan serta Mbak Yuli yang mesti mengurus anak hingga aku tak pernah protes mengenai semua pekerjaan rumah dan melayani mereka semua. Jika sapu dan piring bisa bicara, maka mereka akan menjerit bosan dipegang olehku. “Kamu tahu ‘kan, Dek? Kos-kosan di sini cukup mahal, belum lagi bayar lampu dan listriknya. Aku juga nggak tenang biarin Ibu hidup berdua aja dengan Mbak Yuli. Ibu sudah penyakitan. Kalau ada aku, s
Baca selengkapnya
7
Aku tidak keluar kamar lagi setelah mencuci bekas sarapanku dan Mas Herman. Tak mengerjakan apa pun kecuali tinggal di kamar dan bermain dengan ponselku. Menonton tutorial make up dan berbagai hal tentang riasan. Sebelum menikah dengan Mas Herman, aku bercita-cita menjadi seorang make up artist. Aku percaya jika suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Namun, karena harus menikah dengan Mas Herman, aku menundanya atau bisa dibilang merelakan mimpiku itu. Entah bisa kuwujudkan atau tidak, karena banyak hal yang harus kufokusi setelah menikah. Itu adalah salah satu pengorbanan yang kulakukan, tapi tak ada orang yang mengakuinya. Mereka selalu saja fokus pada pilihanku yang enggan memiliki anak.Selama seharian aku hanya membersihkan kamar dan merapikan lemari serta debu-debu yang memenuhi perabotan kamar. Tak peduli dengan urusan di luar rumah. Biar saja mereka yang mengurusnya sendiri. Aku bukan pembantu. Selama dua tahun tinggal di rumah ini, aku selalu memaklumi kondisi Mbak Yuli
Baca selengkapnya
8
Aku sangat geram mendengarnya, terlebih ketika menatap wajah berjerawat yang menyebalkan itu. Sebenarnya siapa yang harus dicarikan pembantu? Merekalah yang tak bisa melakukan apa-apa tanpaku.Aku hendak membalas, tapi ada Mas Herman di sini. Aku masih menjunjung kesopanan terhadap suami. Tidak seperti biasanya Mas Herman yang selalu membelaku, kali ini memijat kening. “Sudahlah, Mbak. Nggak usah diperpanjang.”“Apanya yang nggak usah diperpanjang? Ibu ngeluh pinggangnya sakit. Ini semua gara-gara istrimu yang malas itu. Tahunya cuma dandan.”“Kenapa malah jadi salahku?” Aku menendang selimut yang sejak tadi menutupi kaki, lalu berdiri hendak membalas wanita itu. Namun, Mas Herman menghalangi. “Sudah, Dek. Aku pusing. Abis ini biar kuantar Ibu ke rumah sakit. Jangan berantem lagi.” Aku cukup kecewa sebab Mas Herman tak memberikan argumen untuk membelaku. Itu bukan salahku. “Itu memang jemuranku, Farah, tapi harusnya kamu mengerti aku lagi sibuk banget ngurusin anak. Mau kencing da
Baca selengkapnya
9
“Lihat istrimu, Herman. Tidak sekalipun dia tanya bagaimana kabarku dan kenapa aku bisa terjatuh. Seharian dia cuma tinggal di kamar. Mungkin dia pikir aku sangat sehat dan bisa melakukan semuanya sendirian.”Kugigit bibir sekuat mungkin sembari memasuki kamar. Betapa sesaknya dada ini. Setiap hari aku selalu berusaha maksimal untuk melayani mereka semua. Mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengeluh dan mengomel. Namun, malah ini yang kudapatkan. Sebenarnya di mana salahku? Apakah menunda untuk memiliki anak adalah dosa yang sangat besar? Karena itu mereka memperlakukanku secara tidak adil?Pintu kamar terbuka dan Mas Herman masuk sambil melepas jaket. Menghela napas berulang kali, tetapi tak menyapaku seperti biasanya. Ia melepas kaos kaki dan langsung mengambil handuk kemudian keluar kamar.Mas Herman benar-benar mengabaikanku. Entah sudah berapa banyak keburukanku yang dia dengar dari mulut Ibu selama mengantarnya ke rumah sakit. Kuputuskan memanaskan mie ayam yang belum tersentuh
Baca selengkapnya
10
Esoknya Mas Herman mendiamkanku. Ia menolak kusuapi dan berangkat ke kantor lebih pagi. Aku masih berada di dalam kamar, enggan keluar dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang sudah seperti rutinitas bagiku itu. Aku hanya ke dapur untuk membuat teh buat kubawa ke kamar. Rencananya untuk santai dan menikmati waktu sendirian. Kulihat toples gula kosong. Keningku mengerut, melirik air yang kupanaskan di atas kompor. Kebetulan Ibu datang. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya, tapi mau bagaimana lagi. “Gula habis, Bu?” tanyaku. “Iya,” jawab Ibu singkat. “Loh, kok habis? Kemarin pagi bukannya Ibu ke pasar, ya?” “Yo aku ndak beli gula.” Ibu memeriksa magicom lalu cuek bebek saat tidak mendapati nasi di dalamnya. “Kok nggak beli? Aku ‘kan udah setor biaya bulanan sama Ibu.” Aku berusaha berbicara dengan nada yang rendah, tak ingin dianggap pembangkang lagi. “Uangnya kubeliin emas. Malu sama yang lain kalau ke kondangan gak pake emas.” Allahu Akbar. Dadaku langsung terasa panas.
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status