Semua Bab Noda Di Balik Cadar sang Ustadzah: Bab 11 - Bab 20

148 Bab

Bab 11. Tak terkendali

Sedangkan dari jendela lantai tiga, Zahra sedang melihat pria yang diseret oleh dua aparat itu. Zahra melihat ekspresi marah dan frustasi Ridwan. Tapi tak membuat Zahra berbelas kasih dan ingin menemui Ridwan. 'Biarlah kita berjalan di jalan kita masing-masing kak,' batinya.Hingga tepukan dipundaknya menyadarkan Zahra kembali dari lamunannya. "Apa kamu berubah fikiran dan menerima pertanggungjawaban pria tadi?" tanya Hubabah Awiyah setelah mengucap salam. "Tidak Hubabah, Jalan kami berbeda. Biarkan Zahra mengabdikan diri Zahra di sini!" jawab Zahra dengan tatapan penuh harap. Hubabah Awiyah langsung memeluknya erat. "Panggillah Umi, Ra, seperti Sahira!" perintah Hubabah Awiyah. Sahira adalah putri bungsu Hubabah Awiyah. Hubabah memiliki dua putra dan putri, yaitu Syarif Ali dan Syarifah Sahira. "Baik, Umi."Zahra kini mantap memanggil Hubabah Awiyah dengan sebutan Umi setelah beberapa kali Hubabah meminta. Zahra sebelumnya tidak enak memanggil guru besarnya dengan sebutan U
Baca selengkapnya

Bab 12. dipermainkan oleh takdir

Ridwan yang tidak menyadari keberadaan Papanya itu terhuyung ke belakang akibat bogeman mentah sang Papa. Ameer diliputi amarah dan kembali menyerang sambil berseru, "Bajingan kamu, Ridwan!" Tidak ada perlawanan sedikitpun dari Ridwan. "Kamu akan membuat Zahra semakin membencimu, Ridwan!" lirih Ameer saat sambil menetralkan nafasnya. Ameer sangat tersiksa melihat putranya seperti ini, tapi semuanya adalah hasil dari kesalahannya sendiri. Ameer juga tidak akan membiarkan anaknya memperdalam kesalahannya. Ridwan hanya diam, tak menjawab perkataan papanya. "Jika kamu merasa bersalah, datang dengan baik. Jika belum bisa, langit kan doa agar Allah melembutkan hati Zahra dan memaafkanmu," kata Ameer. Amer menatap putra semata wayangy itu, "Bukan begini caranya, Nak!" lanjutnya. Ameer paham sekali apa yang dirasakan Ridwan, karen Ridwan adalah duplikatnya. Kalau sudah cinta, tidak akan bisa
Baca selengkapnya

Bab 13. Melepaskan

Tes! Tes! Darah mengalir dari lengan tangan Zahra. Sedangkan tubuhnya terhempas ke dalam pelukan Umi Awiyah.Umi Awiyah yang kebetulan lewat melihat hal gila yang sedang coba dilakukan oleh Zahra. sehingga, Umi Awiyah berlari menarik tangan Zahra yang akan diiris. Pisau itu tidak mengenai urat nadi, akan tetapi tetap menggores lengan Zahra, tidak terlalu dalam. "Tolong!" teriak Umi Awiyah sambil memeluk Zahra yang sudah tidak sadarkan diri. Umi Awiyah sudah terduduk menopang tubuh Zahra. Tak lama, santri-santri datang mendengar teriakan Umi Awiyah dan segera membantu Zahra membawa ke Lahanat Kesehatan. Zahra langsung ditangani oleh petugas medis pondok. Dua jam lamanya Umi Awiyah menunggu, akhirnya petugas medis keluar.Umi Awiyah tergopoh-gopoh berdiri dan langsung bertanya, "Bagaimana, San?" "Sudah dijahit lukanya, Hubabah. Akan tetapi ustadzah Zahra shock jadi masih t
Baca selengkapnya

Bab 14. Mata dibalas Mata

Zen membawa Marisa ke sebuah rumah tua yang nampak seperti lama tidak dihuni. "Apa benar Ridwan menungguku di sini, Zen?" tanya Marisa kebingungan. Rumah itu terlihat sangat menyeramkan. Banyak semak belukar dan dan bangunan yang sudah roboh di beberapa sudut. Zen tidak menjawab sedikitpun, dia terus berjalan masuk menuju rumah tua itu. Marisa terus mengikuti Zen sambil terus meracau, "Jangan menakutiku, Zen!"Cklek! Zen megunci pintu saat memasuki rumah tua itu. Marisa terkejut hingga memekik, "Kenapa dikunci? Zen kamu jangan macam-macam!" Zen tak menjawab satupun ucapan Marisa, dia memilih terus berjalan menuju bagian belakang rumah tua itu. Hingga sampai di satu sudut, yang terlihat Ridwan duduk seorang diri. "Ridwan!" pekik Marisa dengan mata berbinar. Ridwan hanya diam sambil melihat Marisa dengan dingin. "Maafkan aku, An. Aku tidak tau ada seseorang
Baca selengkapnya

Bab 15. Hari Zahra

Umi Awiyah kemudian memeluk Zahra dengan erat. Umi Awiyah tau jika Zahra mencintai laki-laki tersebut. "Jodoh tidak akan kemana, Nak. Tapi, melihat kegigihannya dulu rasanya susah dipercaya jika menyerah begitu saja," jawab Umi Awiyah. Zahra tahu jika tak ada lagi yang mengintainya. Ridwan tidak lagi menyuruh orang untuk mengawasinya. Zahra menghela nafas beratnya, "Zahra tidak memikirkan perihal jodoh, Umi. Siapa yang mau dengan wanita seperti Zahra," "Banyak. Ali juga beberapa kali mengirimkan lamaran untukmu, bukan?" jawab Umi Awiyah. Setelah Zahra dinyatakan hamil, Habib Ali mengirimkan lamaran untuk menjaga marwa Zahra. Habib Ali paham agama dan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan setelah menikah nanti. Namun, Zahra menolak terang-terangan lamaran itu. Zahra menoleh dan tersenyum manis, "Habib Ali pantas mendapatkan yang terbaik, Umi. Zahra tak lagi utuh. Zahra tak ingi
Baca selengkapnya

Bab 16. Pernikahan

Kata-kata Fatih membuat Zahra membeku. Ini kali pertama putranya berkata sedemikian dingin kepada Zahra. Hati Zahra terasa sangat perih. Zahra kehilangan tenaganya, hingga tak mampu menjawab pertanyaan putranya itu.Zahra kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk meredam sesak dadanya. Menghalau air mata yang tak akan Zahra biarkan menetes. Dingin dan perkataan Fatih seperti asam yang ditaburkan diatas luka dihatinya. "Maafkan Zahra, Habib ...,"Zahra mengucapkan dengan lirih sebagai tanda permintaan maafnya. "Baiklah Zahra, mungkin memang kita tidak berjodoh!" jawab Habib Ali. Fatih yang melihat rona kekecewaan dalam ekspresi Habib Ali pun berkata, "Ibu, Apa sih kurangnya Baba? Baba tampan dan sholeh! Baba sangat sayang pada Fatih! Kalau Baba menikah, nanti yang murojaah dengan Fatih siapa?" Fatih terlihat berat melepas Habib Ali untuk menikah. Fatih takut, j
Baca selengkapnya

Bab 17. Kecurigaan Fatih

"Fatih!" Fatih sedikit terkejut dan langsung menutup buku Ibunya itu. Zahra berdiri diambang pintu; "Ayo makan, Nak!" lanjutnya. Fatih berdiri dan mengangguk sambil berjalan mendekati Zahra. Zahra bisa melihat rona kesedihan dalam wajah dingin putranya. "Kenapa?" tanya Zahra sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih. "Apa Fatih tidak akan pernah merasakan bermain dengan Ayahnya, Bu?" tanya Fatih datar. Fatih memang pria yang dingin dan irit bicara. Hanya dengan Zahra, dan keluarga Umi Awiyah terlebih Habib Ali, dia akan bicara panjang. "Apa Fatih begitu ingin bertemu, Ayah Fatih?" tanya Zahra pelan. Fatih hanya diam melihat ekspresi ibunya berubah. "Apa hanya dengan Ibu, Fatih tidak cukup?" lanjutnya. Fatih diam membeku mendengar pertanyaan Ibunya. Fatih paham jika dia sudah menyakiti hati ibunya dengan pertanyaan dengan Ayah. Fatih mulai gugup
Baca selengkapnya

Bab 18. Mengudara

"Sayang, jangan menyakiti Ibumu dengan pertanyaan seperti itu!" jawab Nenek Awiyah. Fatih menggeleng dan menjawab, "Fatih tidak bertanya pada Ibu, Nek," "Pintar, saat kamu dewasa, kamu akan mengerti ini semua. Dan jangan pernah sekalipun menyakiti hati Ibumu! Ayok kita tidur!" jawab Kakek Usman menghentikan perdebatan di atas kasur ini. Mereka bertiga akhirnya menutup mata dengan pikiran yang mengganjal ketiganya. *******Dan di Jakarta, Ridwan sedang berada di ruangannya. Menatap kota jakarta dari balik kaca lantai tertinggi di perusahaan miliknya. Dengan ekspresi dingin dan tegas yang tidak pernah luntur lima tahun ini. Hubungan dengan kedua orangtuanya tak lagi hangat. Ridwan bahkan jarang sekali pulang ke rumah. Hari-harinya penuh dengan pekerjaan dan pekerjaan. Ridwan mengambil banyak pekerjaan karena ketika habis pekerjaannya, dia akan diam dan kepikiran Zahra.
Baca selengkapnya

Bab 19. Haru

Zahra yang telah menempuh 12 jam perjalanan itu, akhirnya mendarat di Surabaya. Melangkah dengan menggandeng putranya menuju mobil travel yang sudah disewanya. "Apa masih jauh, Bu?" tanya Fatih menurut. Zahra tersenyum dan berhenti, "Kenapa? Fatih tidak sabar lagi ya?" Fatih hanya menampilkan seluruh giginya dengan cengiran indah. "Sabar ya, masih lama!" lanjut Zahra. Fatih mengangguk dan kembali berjalan, bergandengan tangan dengan Ibunya. Ini kali pertama, Fatih menginjakkan kaki di Indonesia. Negara kelahiran Ibu dan Ayahnya.Hati Fatih sedang membuncah senang, karena Akhirnya bisa sampai disini. Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Mobil melaju pelan keluar dari Juanda, terminal keberangkatan satu. Fatih menoleh melihat luar jalanan. "Bu disini banyak pohon dan rindang ya?" katanya sambil terus menatap keluar.
Baca selengkapnya

Bab 20. perjanjian

"Ayo masuk dulu, Umi. Zahra capek berdiri!" kata Zahra mengalihkan pembicaraan. Zahra tidak tega melihat ekspresi Uminya yang terlihat kecewa. "Maaf Umi lupa, Ayo masuk!" jawab Umi kemudian menuntun cucunya masuk. Siang itu rumah Umi Aisyah tampak rame karena kedatangan Zahra dan Fatih. Yusuf dan Ratih juga menyambut Zahra dengan penuh haru. Mereka senang mendapatkan keponakan yang sangat lucu. Suasana meja makan juga terlihat ramai. "Abang Yusuf tinggal dimana sekarang?" tanya Zahra pada Yusuf. "Abang tinggal tidak jauh, Ra. Dirumah sederhana dekat pondok," jawab Yusuf. "Bawalah istrinya kemari, Bang!" pinta Zahra. Yusuf mengangguk dan menjawab,"Iya, nanti Abang bawa!" Pandangan Zahra langsung menuju Ratih. "Kamu, Tih?" tanya Zahra. "Ratih disini menjaga Umi, mbak!" jawab Ratih pelan. "Si Ratih gak mau menerima banyak lamaran, Ndok. Katanya mau
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status