All Chapters of Buncitnya Jenazah Kakakku: Chapter 41 - Chapter 50
112 Chapters
Bab 41: Butuh Napas Buatan
Zhafran maju mendekat dengan tangan yang terkepal kuat. Aku gegas melayangkan kepalan ke wajahnya, Zhafran menunduk sekilas. Ketika dia bangkit kembali, aku susul serangan dengan melayangkan kepalan kiri. Zhafran menarik kepalanya ke belakang. Lantas, dia melayangkan kepalan tangannya juga ke arahku. Gegas aku memiringkan kepala. Zhafran susul serangannya dengan kepalan kanan kiri secara cepat. Aku hanya bisa menangkis seraya mundur ke belakang sampai punggungku membentur dinding lift. Zhafran kembali mendaratkan pukulannya di wajahku. Untung saja aku sigap menarik tubuh ke bawah, berjongkok. Lantas, menendang kaki Zhafran dengan cara kakiku yang menyapu dari sisi kanan ke sisi kiri, hingga mengenai kaki Zhafran dengan kasar. Pria berandalan itu terjatuh ke sisi kanan. Kepalanya membentur dinding lift. Bersamaan dengan terbenturnya kepala Zhafran di dinding, lift ini kembali terguncang. Aku yang ketakutan lift ini terjatuh ke dasar, tanpa sadar langsung menghampiri Zhafran dan kemba
Read more
Bab 42: Zhafran Pingsan
Aku dilanda perasaan yang tidak menentu. Antara kasihan dan juga kesal dengan perkataan Zhafran. Walaupun dalam keadaan sekarat seperti ini pun, dia masih berpikiran mesum. "Dasar modus!" Aku mencoba mendorong dada polos Zhafran. Membuat keningnya sedikit menjauh dari keningku. Namun, dia kembali menempelkannya lagi. Embusan napasnya pun makin kasar menyapu wajah ini. Membuatku kembali menutup mata sembari menahan debaran jantung yang menggila. "Zhafran, menjauh! Kamu buat saya ikutan sesak napas," lirihku kembali mencoba mendorong dada Zhafran. "Gue mohon, Nilfan, gue butuh napas buatan. Dada gue sesak banget," ucapnya makin lemah. Aku membuka mata dan menarik kepala ke belakang, menyelisik netra cokelat Zhafran. Mencari ada kebohongan di sana atau tidak. Tatapan itu makin nanar, menandakan si empu benar-benar dalam keadaan susah. Zhafran menutup mata dan mulai mendekatkan bibirnya. Aku menarik kepala ke belakang. Namun, Zhafran terusan mendekat. Aku mencoba menahan dadanya, tet
Read more
Bab 43: Balas Dendam
"Kak, saya pengen ke toilet," ucapku pelan."Ok, kamar kecilnya bagian sana!" Bryan menunjuk ke samping kiri. "Setelah selesai, kamu tunggu aku di dekat resepsionis sana. Jangan bepergian ke mana pun! Ntar, hilang lagi," lanjutnya menegaskan. Aku tersenyum simpul mendengar Bryan yang terkesan posesif padaku, seolah-olah seorang kekasih yang takut kehilangan pasangannya. "Siap, Bos!" Aku bergaya hormat pada perintah Bryan. Kaki ini kuayunkan menuju ke ruangan dokter kecantikan itu. Ketika hendak menyentuh kenop pintunya, terdengar suara seseorang dari dalam mendekati pintu. Aku sontak berbalik dan duduk di bangku yang berjejer rapi di sisi kiri. Mengambil koran yang kebetulan tergeletak di situ dan menutupi wajahku. "Nyonya Seila, tunggu saya di ruang perawatan aja, yah. Saya masih ada sedikit yang perlu diurus dulu!""Baik, Dok!"Aku mengintip sedikit dari balik koran, terlihat wanita paruh baya yang berbibir merah merona itu mengangguk ke dokter berwajah glowing di hadapannya. Wa
Read more
Bab 45: Ada yang Janggal
Sinar mentari menyapa bumi. Menelusuk lewat kaca bening yang tidak tertutup tirainya. Membuat tidur terganggu kala merasakan hangatnya menyapa wajahku. Aku menggeliat, berbalik membelakangi sinar mentari tersebut. Rasanya mataku baru saja terpejam. Semalaman aku dipusingkan oleh kasus berbelit Kak Naila. Aku bingung. Jika Bryan pelakunya, tetapi kenapa setiap aku dekat dengannya, selalu saja merasakan kenyamanan. Dia memperlakukanku sopan sebagai wanita, membuat jiwa tentram ketika berada di sampingnya. Tidak seperti Zhafran. Aku selalu merasa terancam dengan sikap agresif yang ia miliki. Selalu suka main terobos tanpa aba-aba. Membuat jiwaku terancam dengan tatapan elang yang selalu ia layangkan setiap saat. Jangan lupakan tampang dingin yang selalu ia tampilkan. Membuat sosoknya laksana bajingan berkelas. 'Tok, tok, tok!'Bunyi ketukan pintu memaksaku untuk bangkit dari ranjang. Aku memaksa bangun, walaupun ranjang masih t
Read more
Bab 46: Perawatan di Salon
"Haha, kamu diajak ke salon, seperti mau dimasukin ke penjara aja reaksinya!" Bryan tergelak membuat pesonanya makin terlihat manis. "Ya, abisnya Kakak tiba-tiba aja mau ajakin saya ke salon. Saya jelek banget, yah, Kak?" tanyaku sambil memanyunkan bibir bawah. "Enggak, kok, kamu cantik. Cantik banget malah!" Tangan kekar Bryan terulur, mencubit pelan pipi tembemku. Lantas, beralih menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga. Aku menatapnya lekat, sedangkan Bryan menatapku dengan intens tanpa berkedip. Dia berhasil membuatku tenggelam dalam netra cokelatnya itu. "Hehe, Kak Bryan bisa aja nge-gombalnya." Gegas aku memalingkan muka. Kembali bermain-main dengan air. Mengalihkan perasaan baper dengan sikap Bryan yang manis. Tidak bisa dipungkiri, petugas kepolisian berwajah teduh itu selalu membuatku nyaman, aman, dan tentram ketika berada di sampingnya. Hatiku pun selalu menyejuk dengan semua sikapnya. "Sebentar m
Read more
Bab 47: Ulang Tahun Pernikahan
Berdiri di hadapan, seorang gadis berambut cokelat panjang dengan gaun biru ber-ekeror tanpa lengan. Bagian atas gaun-nya begitu rendah, hingga memamerkan belahan dadanya yang mulus. "Sialan!" umpatnya pasca bersenggolan sembari memegang lengannya yang polos. Matanya membulat kala tahu bersenggolan denganku. Dia beralih memandang pria di sampingku. Seketika saja tatapannya menajam, menatap kami bergantian. Terlebih lagi ketika melihat tanganku yang dikaitkan ke lengannya Bryan. "Oh ... jadi, karena cewek kriminal ini, kamu menolak tawaranku buat jadi partner-mu di acara malam ini? Hah!" Suara cemprengnya memekik. Dia menatap Bryan kesal, begitu pun juga kepadaku. Tangannya terkepal erat. "Aku sudah terlebih dahulu janji bakalan datang sama Nilfan, Din." Bryan menepuk punggung tanganku yang dikaitkan di lengannya sambil tersenyum manis. Jika diperhatikan, sepertinya Bryan ingin menjadikanku alat untuk bisa menjauhi wanita ya
Read more
Bab 48: Diantar Pulang Pria Berandalan itu
"To ... loong!" Tubuhku tercebur di kolam yang sangat dingin, menutupi seluruh kepalaku. Tangan meraih-raih ke atas disertai kaki yang mendendang-nendang berusaha mencari pijakkan. Namun, hanya sia-sia. Kakiku melayang di bawah sana. "Too---"Aku beberapa kali meminum air kolam. Terlihat di atas sana, orang-orang hanya menatapku layaknya sebuah tontonan. Wajah Diana menyeringai puas melihatku yang tidak bisa berenang. Air kembali menutup seluruh kepalaku. Tiba-tiba terdengar suara tercebur di kolam. Lantas, aku merasakan ada yang memeluk pinggangku, mengangkat tubuh ini. "Uhuk, uhuk!" Spontan aku langsung melingkarkan kedua lengan dengan erat di leher sang penyelamat. Tatapanku bertemu dengan netra cokelat petugas kepolisian berwajah teduh itu. Aku meletakkan dagu di bahu Bryan, memeluknya sangat erat. Terlihat di bibir kolam, Zhafran berdiri sembari memandang ke arah kami dengan jas tuksedo di tangannya.
Read more
Bab 49: Interogasi Paksa dari Zhafran
"Apalagi kalau dengan penampilan lo yang menggoda kayak gini," ucap Zhafran terdengar sensual. Dia melirikku sekilas sambil tersenyum smirk. Lantas, kembali fokus menatap pahaku dengan jakun naik turun. Tangan Zhafran terulur, perlahan menuju ke pahaku yang terbuka dan masih basah akibat jatuh di kolam tadi. "Zhafran, jangan berani-beraninya! Saya akan membunuhmu kalau sampai menyentuhku!" geramku mengancamnya, merasa was-was melihat tangan Zhafran yang sedang menuju ke pahaku yang tidak tertutupi kain. Aku memepetkan kaki di pintu mobil. "Bagaimana caranya? Hmmm ...." Dia kembali melirikku dengan tatapan nanar. Tangannya berhenti sejenak, sekitar dua senti lagi dari pahaku. "Tangan lo aja terikat erat di situ." Zhafran melanjutkan tangannya, makin mendekat dengan pahaku. "Zhafran ... jauhkan tanganmu dari saya!" geramku kala merasakan ujung jemari Zhafran mulai menyentuh pahaku. Tatapan nyalang kulemparkan padanya. Namun,
Read more
Bab 50: Zhafran Menginap
"Zhafran, apa yang kamu lakukan?" tanyaku kesal saat Zhafran mendorong bahu ini. Mataku membulat melihat Zhafran yang berbalik menutup pintu apartemen. "Gue mau nginap di sini," ucapnya sambil membuka kancing kemejanya. "Enggak boleh! Sana pulang!" Aku menatap waspada. Zhafran melepaskan kemejanya dan terus melangkah maju mendekat, sedangkan aku terus mundur menghindarinya. "Kenapa? Hm!" Zhafran malah melemparkan kemejanya yang berbau maskulin itu ke wajahku. "Zhafraan!" Aku mengempaskan kemejanya ke sembarang arah. "Kenapa gue enggak boleh nginap di sini? Hmm!" "Ya, pokoknya enggak boleh! Saya enggak suka!" tandasku menatapnya tajam. "Iya, alasannya apa?" Dia mendekat. Aku kembali mundur lagi. Tiba-tiba saja, betisku membentur sofa. Membuat bokongku mendarat keras di sofa. Ketika hendak bangkit, Zhafran malah ikutan menjatuhkan tubuhnya di atasku. Dia menahan tubuhnya dengan ked
Read more
Bab 51: Teleponan antara Ibu dan Zhafran
Baik mataku maupun Zhafran, sama-sama melebar. Aku meneguk saliva dengan susah payah, sedangkan pria berandalan itu menajamkan tatapannya. Rahang Zhafran mengeras serta tangannya terkepal erat hingga bergetar. ["Halo, Nilfan! Kamu baik-baik aja, Nak?"] Suara Ibu mengalihkan keteganganku pasca melemparkan bantal ke piring Zhafran. "Ah, iya, enggak apa-apa, kok, Bu. Itu ... cuman suara kucing, iya, ada kucing jatuhin piring tadi." Aku menjawab sambil gelagapan. Melihat tampang Zhafran yang sedang menahan emosi, membuat hawa ruangan ini menjadi dingin dan horor. Aku seperti berada di rumah hantu. Kembali kuteguk saliva beberapa kali, sambil memaksakan senyum kepada Zhafran dan menggerakan bibir mengucapkan, 'maaf'. Berharap sang pria yang sedang emosi gara-gara kujatuhkan nasi gorengnya itu, tidak akan marah saat panggilanku dengan Ibu sedang berlangsung. Aku tidak mau Ibu mendengarku bermasalah di kota. Takut menambah kecemasannya
Read more
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status