Baik mataku maupun Zhafran, sama-sama melebar. Aku meneguk saliva dengan susah payah, sedangkan pria berandalan itu menajamkan tatapannya. Rahang Zhafran mengeras serta tangannya terkepal erat hingga bergetar. ["Halo, Nilfan! Kamu baik-baik aja, Nak?"] Suara Ibu mengalihkan keteganganku pasca melemparkan bantal ke piring Zhafran. "Ah, iya, enggak apa-apa, kok, Bu. Itu ... cuman suara kucing, iya, ada kucing jatuhin piring tadi." Aku menjawab sambil gelagapan. Melihat tampang Zhafran yang sedang menahan emosi, membuat hawa ruangan ini menjadi dingin dan horor. Aku seperti berada di rumah hantu. Kembali kuteguk saliva beberapa kali, sambil memaksakan senyum kepada Zhafran dan menggerakan bibir mengucapkan, 'maaf'. Berharap sang pria yang sedang emosi gara-gara kujatuhkan nasi gorengnya itu, tidak akan marah saat panggilanku dengan Ibu sedang berlangsung. Aku tidak mau Ibu mendengarku bermasalah di kota. Takut menambah kecemasannya
Read more