Semua Bab Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda: Bab 11 - Bab 20
59 Bab
11. Dominic dan Bayangan Masa Lalu
Rambut dicat merah terang yang klimis selalu rapi dibiarkan cukup panjang di bagian atas, memberikan kesan pemuda yang stylish. Mata yang tajam dengan iris berwarna hazel mencerminkan kecerdasan dan kewaspadaan yang melampaui usianya adalah ciri sekilas dari sosok Sebastian Bennet.Dengan tinggi badan sedang, Sebastian memiliki postur atletik yang menunjukkan bahwa dia aktif secara fisik. Penampilannya selalu terawat, memadukan gaya klasik dengan sentuhan modern. Dia sering mengenakan kemeja berwarna gelap dengan blazer yang memberikan kesan profesional. Sebastian memiliki reputasi sebagai tangan kanan Dominic yang setia dan mampu mengeksekusi perintah dengan kebrutalan yang memadai.Theodore Francis adalah sosok yang bertolak belakang dengan Sebastian. Dia memiliki penampilan yang lebih kasual dan santai dengan jeans sobek serta hoodie hijaunya yang menutupi tubuh besar—tapi tidak gemuk—nya. Rambut hijau terang gondrongnya memberikan kesan bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan f
Baca selengkapnya
12. Kerinduan Istri
“Ma...Maaf aku terlambat, Lindsey.” Aku menarik kursi dan langsung duduk menyandarkan punggung sambil mengatur napasku yang masih terengah-engah mengejar waktu yang terus meninggalkanku. Sepasang manik saphire yang berada di seberang meja, menatapku. Sempat tertegun dengan kehadiranku, namun setelahnya dia mengulum senyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuatku lupa akan semua masalah yang sedang aku emban—bahkan rasa tidak enakku padanya karena telah datang terlambat di kencan pertama kami, juga perlahan menguap oleh senyum manisnya. “Ini, minumlah dulu.” Gadis itu menggeser segelas air mineral yang tampak segar karena es batunya yang banyak. “Ini milikmu, bukan?” “Iya. Aku membagikannya denganmu, Jovian. Minumlah. Aku tidak mau melihatmu dehidrasi setelah berlari jauh,” jawabnya sambil merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. “Ba-bagaimana kamu tahu aku berlari jauh?” tanyaku sebelum aku meneguk air dingin itu. Sensasi menyegarkan mengalir dari mulut ke tenggorokanku.
Baca selengkapnya
13. Wanita Spesial
Suara Lindsey masih bisa kudengar meski kesadaranku kian meningkat. Air mata mengalir di sepanjang pelipis dari pelupuk mata yang masih terpejam. Aroma menyengat obat-obatan menyeruak masuk ke hidung. Jariku perlahan bergerak dan kelopak mata juga perlahan terangkat. Ada tiga wajah yang familier berdiri di sisi kanan dan kiri tempatku berbaring.“Marvin sadar,” kata Laura.“Cepat panggil perawat!” perintah Avery pada Khari.“Ok!” Dia menuju tombol di samping pintu dan menekannya.Tidak lama kemudian, seorang perawat dan dokter memasuki ruangan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter pria itu sambil mengenakan stetoskop.“Pusing sedikit,” lirihku.Dia menempelkan ujung stetoskop ke dada dan perut. Suster juga mengecek tensi darahku dan mengusap satu tetes air mata yang sempat mengalir. Entah apa lagi yang mereka berdua lakukan dalam proses pengecekan ini, aku sulit untuk mendeskripsikannya lebih lanjut karena perbedaan era pengecekan pasien di jamanku dan jaman sekarang.“Kondisinya sema
Baca selengkapnya
14. Teman Sejati dan Teman Palsu
“Apa itu benar? Avery dan Khari dibayar untuk mengawasiku?”Dibanding menjawab pertanyaan William mengenai kondisiku, aku justru bertanya balik padanya ketika dia baru tiba di klinik.“Benar,” jawab Will. “Apa Marvin memberitahumu?”“Iya.” Aku melirik pada Marvin yang melayang sambil duduk bersila di ujung tempat tidur. Dia mengedikkan bahu. “Kenapa kau membayar mereka untuk mengawasiku? Mengapa tidak mempekerjakan bodyguard yang mumpuni saja?” tanyaku pada Will lagi, tapi pandanganku masih pada Marvin.“Tuan Muda tidak ingin terlihat terlalu mencolok seperti dua kakaknya yang juga mempekerjakan bodyguard.”Ah, sudah kuduga. Itu semua dari kau juga, batinku sambil menatap datar Marvin.“Hey, bukan salahku jika mereka ingin dibeli.” Marvin mengangkat tangan.“Dibeli?” Keningku berkerut. “Avery temanmu dari SMA. Pertemanan itu bukan berdasarkan dari duit saja,” timpalku.Marvin mendecih. “Kau bilang kau penulis melegenda di eramu, bukan? Pasti kau pernah merasakan di puncak karier dan m
Baca selengkapnya
15. Perubahan yang Baik
Sialan. Lagi-lagi aku dibuat jalan sendiri oleh Marvin yang kabur begitu saja. Aku tidak melihat tanda-tanda arwah itu melayang saat aku berada di luar klinik. Untungnya Will mau mengantarku hingga ke depan kafe Mocha Matcha yang terletak dekat jalan utama lalu lintas Bus LU. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar dari mobil sedan hitam ini.Aku tidak tahu banyak tentang Kafe Mocha Matcha, namun katanya kafe itu adalah destinasi populer bagi mahasiswa fakultas MIPA dan Teknik, yang mencari tempat nyaman untuk nongkrong dan bersantai yang lumayan dekat dari dua fakultas itu. Kafe ini menawarkan pengalaman unik dengan desain berlantai dua yang modern dan atmosfer yang hangat.Fasad kafe ini terbuat dari kaca besar yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam ruangan, menciptakan suasana terang dan segar. Logo kafe yang khas berbentuk cangkir dan daun dengan kombinasi warna cokelat dan hijau menarik perhatian pengunjung sejak mereka melangkah masuk.Setelah memasuki kafe, pengunju
Baca selengkapnya
16. Perpustakaan Pusat Lexicon
Perpustakaan Pusat Lexicon adalah sebuah monumen gemilang yang menjadi pusat intelektual dan pengetahuan di kampus terbesar ini. Dengan kemegahan bangunannya yang menjulang setinggi 24 lantai, perpustakaan ini menonjol di tengah kampus, menunjukkan dedikasi universitas terhadap pendidikan dan penelitian. Perpustakaan itu memiliki empat lantai lebih tinggi dari gedung rektor yang berada di seberangnya. Perpustakaan dan gedung rektor dipisahkan oleh Green Lake—danau alami sebesar lapangan bola yang dimiliki kampus. Penampakan luar perpustakaan didesain dengan bangunan modern yang menciptakan kesan futuristik dan elegan. Kaca-kaca besar di beberapa lantainya memungkinkan cahaya sore dan pagi memasuki ruang baca dan membuat atmosfir yang terang dan menyegarkan. Taman kecil di sekitar perpustakaan menambah suasana damai dan nyaman bagi para pengunjung. Ada pengunjung lokal yang merupakan warga kampus, dan pengunjung umum yang berasal dari luar Universitas Lexicon. Keduanya memiliki jenis
Baca selengkapnya
17. Melihat Tanpa Mendengar
“Jovian, ini Simon Mackenzie, adik satu tingkat di bawahku yang paling aku percaya. Dia punya indra ke-6. Jadi dia bisa melihatku dan arwah-arwah lainnya. Aku belum pernah menceritakan dia padamu sebelumnya. Aku ingin kamu melihat Simon sendiri.” Marvin menunjuk ke arah pemuda itu. “Simon, ini—oh ya. Kau gak bisa dengar aku,” kata Marvin. “Gak bisa dengar kau?” heranku. “Ya. Dia hanya bisa melihat, gak bisa dengar,” jawab Marvin. “Marvin bicara apa?” tanya Simon dengan pandangan ke arah arwah itu. “Dia memperkenalkanku padamu,” jawabku. Aku menjulurkan tangannya dan coba untuk bersikap sedikit ramah dengan tersenyum tipis padanya. “Aku Jovian Timothy Ray. Kamu Simon Mackenzie, ‘kan?” Tangannya yang dibalut sarung tangan kelabu itu sempat melayang untuk menjabat tanganku, namun saat mendengar namaku, dia tidak jadi untuk menjabatku. “Jovian Timothy Ray? Kau ... J.T Ray?” “Iya. Kau mengenalku?” Aku semringah padanya. Tangannya diturunkan. Lalu dia berkata sambil menunjukku, “Kau
Baca selengkapnya
18. Monumen Sang Legenda
Ting.Saat pintu lift terbuka, aku keluar dengan langkah hati-hati—belum terbiasa dengan alat pembawa manusia ini. Akhirnya aku tiba di lantai tujuan.Aku menyusuri lorong pendek menuju pintu lantai 7. Ada seorang pria yang menjaga pintu itu, seperti di lantai 19, hanya saja pria ini berbeda dari pria di lantai 19—tentu saja. Berbeda dengan lantai 19, kali ini aku harus menempelkan kartu di pintu sebelum aku bisa mengaksesnya. Aku tahu itu setelah melihat ada satu mahasiswa yang ingin masuk ke dalam ruangan tersebut.Monumen khusus untuk menghormati penulis legenda yang telah tiada, J.T. Ray, berdiri megah di lantai 7 Perpustakaan Pusat Universitas Lexicon. Monumen ini merupakan titik fokus yang memancarkan kehormatan dan mengabadikan warisan kreatif J.T. Ray dalam dunia literasi.Monumen ini didesain dengan penuh rasa penghargaan terhadap karya-karya monumental Sang Penulis. Di tengah ruangan, terdapat patung perunggu J.T. Ray yang duduk di meja kerjanya yang penuh dengan naskah-nask
Baca selengkapnya
19. Kenyataan yang Menusuk
“Sudah kuduga ....”Aku menyusuri rak-rak buku lantai 7 dan menemukan banyak karya yang aku ingat betul, tidak pernah aku tulis sebelumnya. Seperti ini misalnya.“Whispers in The Shadows.”“Cukup mengejutkan saat tahu J.T Ray menyimpan naskah horor yang belum pernah diterbitkan selama hidupnya. Untung saja kakaknya segera menerbitkan naskah-naskah adiknya setelah kematiannya,” jelas Laura yang ternyata dari tadi mengikutiku.“Aku tidak pernah menulis horor dalam hidupku,” gumamku pelan, yang masih bisa didengarnya. “Mengapa Victor menerbitkan cerita menggunakan namaku?”Aku hampir tenggelam dalam pikiran dan dugaan kalau saja aku tidak mendengar Laura menertawaiku. “Kau lucu sekali.”“Apanya yang lucu?” ucapku tersinggung.“Kau bicara begitu seolah-olah kau itu J.T Ray. Kau saja menulis cerpen liburan, hasilnya seperti cerita karangan oleh anak SD. Bagaimana bisa kau mau sehebat J.T Ray, Marvin?”Aku tertegun. Tersadar bahwa aku terjebak dalam tubuh Marvin. “Oh ... Ya. Benar.”“Kau sa
Baca selengkapnya
20. Ambil Alih
Marvin, aku tahu sekarang kau sedang mendengarku entah di mana kau sekarang. Tetapi, karena kau membebaskanku, aku akan melakukan sedikit percobaan pada Laura. Tenang saja, aku tidak akan melukainya sesuai janjiku. Aku hanya ingin melihat reaksinya.Marvin memperhatikan. Marvin mengamati bagaimana Jovian berinteraksi dengan Laura. Meskipun Jovian sudah mengirimkan pesan bahwa dia tidak akan melukai Laura, Marvin tetap cukup khawatir. Oleh karena itu, ia melesat dari lantai teratas ke lantai 7 hanya untuk melayang di balik rak buku yang tidak disadari keberadaannya oleh Jovian.Percobaan yang dimaksud ternyata Jovian mengaku dirinya bukanlah Marvin, melainkan J.T Ray yang diidolakan oleh Laura.Wujud Marvin yang tembus pandang, tampak warna kemerahan menyelimuti arwah tersebut. Ada rasa panas dalam dirinya.Menyebalkan, begitu pikir Marvin yang tak dapat dibaca oleh Jovian. Menyebalkan saat tahu Laura percaya begitu saja pada ucapan Jovian. Menyebalkan saat tahu Laura tersipu malu pada
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status