“Jovian, ini Simon Mackenzie, adik satu tingkat di bawahku yang paling aku percaya. Dia punya indra ke-6. Jadi dia bisa melihatku dan arwah-arwah lainnya. Aku belum pernah menceritakan dia padamu sebelumnya. Aku ingin kamu melihat Simon sendiri.” Marvin menunjuk ke arah pemuda itu. “Simon, ini—oh ya. Kau gak bisa dengar aku,” kata Marvin. “Gak bisa dengar kau?” heranku. “Ya. Dia hanya bisa melihat, gak bisa dengar,” jawab Marvin. “Marvin bicara apa?” tanya Simon dengan pandangan ke arah arwah itu. “Dia memperkenalkanku padamu,” jawabku. Aku menjulurkan tangannya dan coba untuk bersikap sedikit ramah dengan tersenyum tipis padanya. “Aku Jovian Timothy Ray. Kamu Simon Mackenzie, ‘kan?” Tangannya yang dibalut sarung tangan kelabu itu sempat melayang untuk menjabat tanganku, namun saat mendengar namaku, dia tidak jadi untuk menjabatku. “Jovian Timothy Ray? Kau ... J.T Ray?” “Iya. Kau mengenalku?” Aku semringah padanya. Tangannya diturunkan. Lalu dia berkata sambil menunjukku, “Kau
Ting.Saat pintu lift terbuka, aku keluar dengan langkah hati-hati—belum terbiasa dengan alat pembawa manusia ini. Akhirnya aku tiba di lantai tujuan.Aku menyusuri lorong pendek menuju pintu lantai 7. Ada seorang pria yang menjaga pintu itu, seperti di lantai 19, hanya saja pria ini berbeda dari pria di lantai 19—tentu saja. Berbeda dengan lantai 19, kali ini aku harus menempelkan kartu di pintu sebelum aku bisa mengaksesnya. Aku tahu itu setelah melihat ada satu mahasiswa yang ingin masuk ke dalam ruangan tersebut.Monumen khusus untuk menghormati penulis legenda yang telah tiada, J.T. Ray, berdiri megah di lantai 7 Perpustakaan Pusat Universitas Lexicon. Monumen ini merupakan titik fokus yang memancarkan kehormatan dan mengabadikan warisan kreatif J.T. Ray dalam dunia literasi.Monumen ini didesain dengan penuh rasa penghargaan terhadap karya-karya monumental Sang Penulis. Di tengah ruangan, terdapat patung perunggu J.T. Ray yang duduk di meja kerjanya yang penuh dengan naskah-nask
“Sudah kuduga ....”Aku menyusuri rak-rak buku lantai 7 dan menemukan banyak karya yang aku ingat betul, tidak pernah aku tulis sebelumnya. Seperti ini misalnya.“Whispers in The Shadows.”“Cukup mengejutkan saat tahu J.T Ray menyimpan naskah horor yang belum pernah diterbitkan selama hidupnya. Untung saja kakaknya segera menerbitkan naskah-naskah adiknya setelah kematiannya,” jelas Laura yang ternyata dari tadi mengikutiku.“Aku tidak pernah menulis horor dalam hidupku,” gumamku pelan, yang masih bisa didengarnya. “Mengapa Victor menerbitkan cerita menggunakan namaku?”Aku hampir tenggelam dalam pikiran dan dugaan kalau saja aku tidak mendengar Laura menertawaiku. “Kau lucu sekali.”“Apanya yang lucu?” ucapku tersinggung.“Kau bicara begitu seolah-olah kau itu J.T Ray. Kau saja menulis cerpen liburan, hasilnya seperti cerita karangan oleh anak SD. Bagaimana bisa kau mau sehebat J.T Ray, Marvin?”Aku tertegun. Tersadar bahwa aku terjebak dalam tubuh Marvin. “Oh ... Ya. Benar.”“Kau sa
Marvin, aku tahu sekarang kau sedang mendengarku entah di mana kau sekarang. Tetapi, karena kau membebaskanku, aku akan melakukan sedikit percobaan pada Laura. Tenang saja, aku tidak akan melukainya sesuai janjiku. Aku hanya ingin melihat reaksinya.Marvin memperhatikan. Marvin mengamati bagaimana Jovian berinteraksi dengan Laura. Meskipun Jovian sudah mengirimkan pesan bahwa dia tidak akan melukai Laura, Marvin tetap cukup khawatir. Oleh karena itu, ia melesat dari lantai teratas ke lantai 7 hanya untuk melayang di balik rak buku yang tidak disadari keberadaannya oleh Jovian.Percobaan yang dimaksud ternyata Jovian mengaku dirinya bukanlah Marvin, melainkan J.T Ray yang diidolakan oleh Laura.Wujud Marvin yang tembus pandang, tampak warna kemerahan menyelimuti arwah tersebut. Ada rasa panas dalam dirinya.Menyebalkan, begitu pikir Marvin yang tak dapat dibaca oleh Jovian. Menyebalkan saat tahu Laura percaya begitu saja pada ucapan Jovian. Menyebalkan saat tahu Laura tersipu malu pada
“Jangan melebih-lebihkan ucapanku, Marvin! Itu hanya dugaan tak berdasar! Tidak semua yang aku katakan itu benar!”Laura sudah menjelaskan semua yang diketahuinya pada Simon, sehingga pemuda itu membentak keras Marvin yang baru datang bersama Avery dan Khari.“Hoi! Apa-apaan?! Kenapa kau bentak-bentak teman kami?!” balas Avery tak kalah kencang sambil mendongak pada Simon.“Jangan ikut campur masalah yang gak kau tahu, kurcaci!” tunjuk Simon pada Avery.“Oh? Mau pakai kartu itu? Ok. Aku terima, albino—““Shuss... shuss.” Marvin menutup mulut mereka dengan dua tangannya. “Berisik. Kita masih di perpustakaan.”Simon dan Avery menepis tangannya hampir bersamaan.“Berhenti menyebutku itu.” Simon masih menatap sinis Avery di balik kacamata hitamnya.Avery berkacak pinggang. “Kenapa? Gak suka disebut albino padahal kau memang albino? Setidaknya aku masih jauh lebih baik dari kau yang malah menutup seluruh keunikanmu itu.”“Jangan sok jadi hakim saat kau tidak tahu apa-apa tentangku!”“Itu s
Aku sudah mendengar semua kronologi dari Marvin selama aku tak sadarkan diri di kampus setelah mendengar kabar kematian anak tengahku, Nathan. Setelah mendengarnya, aku justru tidak bisa tidur. Aku keluar dari kamarku dengan sebuah kunci di kantung pakaian tidur dan jaket tebal yang sedang aku kenakan.“Kamu mau ke mana? Besok kamu harus berangkat pagi ke kampus karena ada kelas Miss Yuli.”Aku tidak menggubris arwah itu dan tetap melangkahkan kaki menuruni tangga dengan langkah cukup cepat. Marvin hanya mengikutiku, dia tidak berkomentar apa-apa dan melihat saja ke mana aku menuju.Dari lantai empat ke lantai satu, aku tidak melihat pelayan sama sekali yang berlalu-lalang di rumah mewah ini. Besar kemungkinan mereka sudah terlelap di kamar khusus pelayan, atau kembali ke rumah masing-masing di saat pekerjaan mereka telah diselesaikan.“Tunjukkan padaku ruang kerja Papamu.” Akhirnya aku buka suara ketika kami ada di lantai dasar. “Sampai sekarang aku tidak tahu siapa nama papamu.”“Oh
“Jangan panik, Jovian! Jangan panik! Kita pasti bisa keluar dari sini! Aku akan cari caranya!” Aku melihat wujud transparan Marvin yang memancarkan aura biru gelap, melayang ke sana dan ke mari dalam ruangan dan menembus berbagai wujud padat yang berada di sekitarnya. Dengan tatapan datar, aku balas, “Aku tidak panik. Kau yang panik, Marvin.” “Bagaimana kau tidak panik saat terkunci di ruangan kedap suara seperti ini?!” Dia berhenti dan berteriak demikian padaku. “Karena ada kau di sini.” “Maksudmu?” “Kau ‘kan bisa menembus pintu itu dan—“ “Memberi tahu Bi Eva kalau kau terjebak di ruangan ini? Tidak bisa! Sampai sekarang aku tidak tahu caranya berinteraksi dengan benda hidup beda dimensi ini untuk memberi kode pada Bi Eva. Dia juga tidak punya indra ke-6 seperti Simon dan ... Mariana ... hmm...” Dia terdiam. Tanda tanya seolah muncul di atas kepalanya. Aku melipat tangan dan tersenyum miring ketika melihatnya sedang mengusap dagu dengan pandangan ke lantai. “Tidak apa. Kau masi
Victor Albert Ray, aku akui dia berhasil membuat ketiga anakku menjadi seseorang yang sukses di bidang minat dan bakatnya masing-masing. Aku tahu itu setelah menemukan sebuah majalah yang terselip di tumpukan dokumen dalam laci meja. Majalah tersebut menjadikan wajah Victor sebagai sampul utama majalah di edisi tertentu tahun 1997—majalah terakhir yang menceritakan tentang Victor di usianya yang sudah menginjak 62 tahun dan berhasil menjadikan tiga keponakannya orang yang sukses. Bahkan masa tua dia juga memiliki karismanya tersendiri. Rambut yang tetap terawat meski sudah memunculkan uban yang hampir memenuhi rambut cokelatnya. Kerutan di ujung mata dan mulut juga tidak terlalu terlihat ketika tersenyum. Rupanya itu tampak seperti pria 10 tahun lebih muda dari umur seharunya. Di majalah yang lebih lama ketika Victor tampak lebih muda, rambut cokelat gelap lurus sering disisir rapi ke belakang dan iris mata hitam mengikuti ayahku. Sorot mata lembut penuh kehangatan dan senyum tulus y