All Chapters of Mengejar Cinta Istriku: Chapter 21 - Chapter 30

Hari demi hari berlalu, Diana masih belum mengetahui keberadaan Bayu. Padahal hampir satu bulan sudah ia tersiksa dengan kekhawatiran hingga badannya perlahan-lahan kurus sebab termakan pikiran. Sementara ayahnya pun nampak tak menunjukan sikap yang jelas dan tegas. Posisi Bayu di perusahaan bahkan dibiarkan kosong tanpa pengganti, hanya ayahnya yang memantau setiap hari melalui orang kepercayaannya saja. Diana tak tahu harus bagaimana lagi. Ia akhirnya meminta izin pada orang tuanya untuk kembali pulang kerumahnya, masih berharap Bayu akan kembali pulang kerumah mereka meski tak tahu kapan. "Sebaiknya kamu disini dulu." Ucap Sudoyo, nampak berat mengizinkan putrinya pulang, sebab takut Diana akan semakin terpuruk jika dibiarkan sendirian. "Untuk apa, Pa? Pikiranku gak pernah tenang. Aku gak ngerti maunya Papa gimana. Papa gak buang Mas Bayu. Tapi Papa juga gak bantu aku buat nyari dia. Papa tahu aku gak ngerti harus ngapain untuk nyari dia. Tapi papa bisa kan ngelakuin apa aja?"

Tepat seratus hari. Sejak hari dimana pertama kali Diana memutuskan untuk bercerai dengan Bayu. Hari ini, hari dimana seharusnya ia merasa telah memenangkan pertarungan yang dulu telah ia siapkan. Seharusnya ia menyambut hari ini dengan kebahagiaan dan rasa puas hati sebab sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Kenyataannya ia malah berada disini. Bersimpuh dihadapan ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Dengan surat gugaran cerai yang ada dalam genggamannya, Diana merasa nyawanya seolah terlepas dari tubuhnya, begitu ia terima surat gugatan cerai yang dilayangkan Bayu tiba-tiba. Tanpa penjelasan, tanpa ia dengar langsung dari mulut pria itu bahwa ia memang ingin mengakhiri segalanya. Sempat berpikir Bayu hanya terbawa emosi saat ia katakan mereka harus bercerai, pada hari dimana mereka bertengkar untuk terakhir kali. Namun ternyata pria itu tak main-main dengan ucapannya, hingga disinilah Diana sekarang. Berusaha meminta pada ayahnya agar dipertemukan dengan Bayu, setida

[Mereka bilang, setidaknya aku harus memiliki tempat untuk menumpahkan isi pikiran dan perasaan. Sejujur-jujurnya, dengan segala keterbukaan terhadap diriku sendiri. Meski bukan pada manusia, bisa juga seperti lewat tulisan dalam secarik kertas yang harus ditulis langsung menggunakan pena. Tapi bukankah itu melelahkan? Rasanya aku sendiri tak bisa mengingat kapan terakhir kali aku menggunakan pena untuk menulis. Jadilah aku memilih menggunakan keyboard dan menuliskan ini sambil menatap layar laptopku. Mereka memintaku untuk menuliskan apa saja yang paling besar, paling kuingat, dan paling memenuhi pikiranku. Sehingga setelah itu, diharapkan semua bisa mengalir, dan apapun yang mengusik pikiran akan tumpah dan kuluapkan. Benarkah begitu? Entahlah aku hanya harus mencobanya. Kalau begitu, sepertinya aku tak perlu banyak memilih, sebab hanya satu yang saa

Diana turun dari mobilnya dan mendapati bistronya sangat sepi. Di depan pintu, pegawainya memasang pemberitahuan 'Full Reservation' sehingga banyak pelanggan yang baru tiba terpaksa kembali pergi karena tak bisa makan disana. Diana mengintip kedalam, ternyata pria itu, pria yang sama yang kemarin mengajaknya berkenalan. Sedang duduk di tengah ruangan, mengetuk-ngetukan jarinya diatas meja, sambil menyilangkan kaki. Ia duduk dengan tenang seolah sudah yakin Diana akan datang tak lama lagi. "Astaga.. berarti uangnya emang banyak kalo dia begini beneran cuma karna mau kenalan sama gue." Gumam Diana, setelah mengingat bagaimana pria itu mengajaknya berkenalan kemarin. Tak ingin berlangsung lama, Diana pun masuk ke dalam sana. Pria itu nampak tersenyum padanya, namun Diana hanya menatapnya dengan tatapan datar dan berjalan melewatinya. Menuju ke balik Meja pelayan, Diana langsung mengenakan celemek server yang biasa digunaka

Diana terbangun dengan merasakan sakit di lehernya. Tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman ia dihantui oleh rasa ketakutan sebab merasa seperti ada yang sedang menguntitnya. Kini terpaksa ia harus terbangun, meski rasanya seperti baru terpejam selama beberapa menit saja. Sebab ia mendengar suara bel di depan pintu rumahnya yang berbunyi di bawah sana. Dilihatnya pada jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Ia pun terpaksa mengenakan jubah untuk menutupi baju tidurnya yang tipis, lalu keluar dari kamar dan bergegas turun untuk membukakan pintu setelah meminum segelas air putih. "Siapa?" Tanya Diana melalui interkomnya. "Diana, ini ibu." Terdiam sesaat, ia mengenali betul bahwa itu adalah suara Ibu mertuanya. Memutar bola matanya dengan malas, Diana lantas segera menghubungi pengacara ayahnya untuk memberi bantuan sebab ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutn