Sampai suatu hari ia berada pada pucak lelahnya. Hari dimana seharusnya kami merayakan hari jadi pernikahan kami. Hari dimana pertama kali aku melihatnya marah besar. Karena aku yang meninggalkannya begitu saja di restoran. Pulang kerumah dengan membanting pintu, ia menurunkan kopernya dan berkemas seolah akan benar-benar pergi meninggalkanku. Detik itu juga aku merasa, aku sudah melewati batas. Hingga kesabaran yang tersisa padanya sudah habis karena perlakuanku padanya. Hari-hari setelahnya pun terasa begitu sulit, sebab hanya tersisa kebencian yang ada dalam tatapan matanya padaku. Disaat itu aku mulai merasa takut, aku akan benar-benar kehilangannya dirinya tak lama lagi. Aku coba segala cara untuk mengembalikan semuanya. Kuturuti setiap permintaannya, memohon maaf padanya, sampai berusaha meyakinkan kalau aku masih Bayu yang sama. Bayu yang mencintainya, sangat mencintainya seperti dulu saat pertama kali kami bertemu. Namun semua hal itu rasanya tak cukup. Aku ketahui setelahnya, Diana mengetahui semua kesalahanku, keburukan, dan kelemahanku, satu per satu.
View MoreTrup! Trup! Kotak bekal sudah tertutup rapat, Diana bergegas untuk berganti pakaian berniat untuk mengantarkan makan siang untuk Bayu, suaminya.
Ikan kuah kuning, dengan nasi hangat, Diana tersenyum puas memandangi hasil kerjanya. Kini ia membayangkan bagaimana suaminya akan makan dengan lahap masakan yang membuatnya menghabiskan waktu di dapur selama berjam-jam itu. Di tahun pertama hari jadi pernikahan mereka, Diana ingin membuat hari ini spesial. Tak hanya makan malam mereka yang sudah direncanakan, makan siang pun ia ingin memberi kejutan kecil dengan memasak makanan favorit suaminya. Merapikan make up di depan cermin selesai, Diana merasa penampilannya sudah cukup baik untuk menemui suaminya di kantor. Melirik ke arah jam dinding dari pantulan cermin meja riasnya, waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang. "Waktunya pas nih, sampe sana paling jam setengah dua belas, kalo gak macet." Gumamnya dengan nada riang, ia bermonolog dengan dirinya sendiri. Ia lantas meraih tas tangannya yang sudah ia isi dengan dompet dan ponsel, tak lupa ia bawa lipstik merah menyala, warna yang disukai suaminya. Berjaga jika ada kesempatan, ia mungkin akan sedikit menggoda suaminya dan mengajaknya sedikit 'bermain-main'. Sebab yang ia tahu, Pria itu memang bisa tak tahan mencium bibirnya dengan ganas jika melihat Diana menggunakan lipstik merah menyala seperti itu. Sehangat itu hubungan mereka di atas ranjang, hingga kadang tak mengenal tempat, Bayu kerap kali memanfaatkan waktu untuk mencumbui istrinya. Selesai semua persiapan, tak lupa kotak bekal yang ia bawa di tangan kirinya. Diana dijemput oleh salah satu supir yang bekerja di rumah ayahnya, yang sudah ia mintai bantuan untuk menjemputnya sejak dua puluh menit yang lalu. Masuk ke dalam mobil sedan hitam itu, ia pun langsung mencoba mencari tahu dimana keberadaan suaminya, sebab takut kejutan ini akan gagal jika ternyata Bayu sedang tak berada di tempatnya. [Di kantor bu, hari ini gak ada jadwal bapak keluar kantor.] Pesan masuk diterima, balasan dari Riska, sekretaris Bayu. Alih-alih bertanya pada suaminya langsung, Diana memilih menguhubungi sekretarisnya agar kejutan ini benar-benar membuat suaminya terkejut. Tak sampai tiga puluh menit, lebih cepat daripada perkiraannya. Diana sampai di gedung tinggi, tempat suaminya memimpin perusahaan, meneruskan kedudukan ayah Diana yang berada disana sebelumnya. Bayu memang memiliki perusahaan keluarga sendiri pada awalnya, namun tak kunjung stabil kondisinya sebab kurangnya modal juga beberapa masalah lain yang hanya dimengerti olehnya. Sedangkan DIana si anak manja kesayangan ayahnya, tentu saja tak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengurus urusan perusahaan seperti ini. Hingga setelah mereka menikah perusahaan kecil milik keluarga Bayu pun di akuisi oleh keluarga Diana, dan menjadikan Bayu pemimpinnya karena Ayah Diana sudah harus pensiun di usianya yang sudah menginjak enam puluh tahun. Bukan tanpa alasan, hanya saja Sudoyo, Ayah Diana mengaggap menantunya pantas mendapatkan posisinya karena kemampuan dan pengalamannya mengelola perusahaan sebelum ini. Diana melangkah cepat masuk kedalam sana. Jantungnya berdebar tak sabar ingin bertemu dengan suaminya. Meski mereka selalu bertemu setiap hari, namun debaran itu tak berubah sejak pertemuan pertama mereka, setidaknya bagi Diana. Selalu, setiap hari, ada saja pesona Bayu yang terlihat yang membuat DIana jatuh cinta pada suaminya setiap hari. Suaminya yang bertubuh tinggi, berwajah tampan juga berwibawa. Belum lagi aura yang terpancar dalam dirinya membuatnya semakin mengagumi sang suami yang dikenal dengan sifat dinginnya. Ada kebanggaan tersendiri bagi Diana ketika ia bisa menikahi suaminya, sosok pria yang menjadi magnet bagi wanita-wanita di sekitarnya. Ia merasa tengah memenangkan lotre, karena menikahi seorang lelaki yang banyak diimpikan oleh para wanita. Keluar dari elevator, Diana mengayunkan langkah menuju ruangan suaminya. Pandangannya langsung tertuju pada Riska, sekretaris Bayu yang duduk di depan ruang kerja suaminya. Wanita muda itu pun nampak langsung tersenyum ramah begitu bertemu mata dengan Diana. "Siang bu--" "Ssst!!" Diana spontan meletakkan telunjuknya di depan bibir, begitu Riska berdiri dan menyambutnya. Ia tak ingin suara Riska membuat suaminya keluar ruangan dan kejutannya menjadi gagal. "Bapak di dalem kan?" Diana bertanya dengan suara bisikan pada Riska. "Iya, bu. tapi lagi ada pak Abi." Jawab Riska. "Mas Abi? Kakakku?" Tanya Diana, nampak heran dengan keberadan kakaknya di hari kerja yang sibuk seperti ini. "Iya bu." Jawab Riska. "Oh yaudah, makasih. Aku langsung masuk aja." Jawab Diana. Ia pun kembali melangkah berniat masuk kedalam. Namun ia urungkan niatnya sebab sepertinya ia mendengar percakapan serius diantara mereka. "Jangan gitu, sadis banget lo. Biar begitu dia tetep adik gue loh." Terdengar suara Abi yang ia pikir sudah pasti sedang membicarakan dirinya, karena tak ada lagi adik yang dimaksud kecuali Diana, karena mereka hanya dua bersaudara. "Tuh, kesannya jadi gue yang jahat kan. Padahal gue cuma jawab pertanyaan lo tadi. Lo kan nanya gimana rasanya nikah sama adik lo, ya gue jawab jujur kan. Nyebelin, sesak, itu rasanya." Deg! Nafas Diana terasa tercekat mendengar apa yang dikatakan suaminya. Namun masih ingin mendengar apa yang akan dikatakan suaminya lagi, Diana tak ingin beranjak dari sana, memilih menguatkan hati sebab masih ingin megetahui lebih banyak lagi. "Terus kenapa lo nikahin? Seinget gue.. bukannya waktu itu lo sama keluarga lo juga yang minta pernikahan kalian dipercepat?" Tanya Abi lagi pada sahabatnya itu. "Ya lo tahu waktu itu gue lagi butuh menikah." Jawab Bayu. "Karena apa? Perusahaan?" Terdengar Abi kembali bertanya. Tak kuat lagi, Diana merasa begitu lemas, tangannya yang semula memegang knob pintu terkulai begitu saja hingga menimbulkan suara karena knob pintu yang kembali ke posisi semula. "Siapa? masuk." Terdengar suara Bayu dari dalam sana, mungkin ia mengira itu adalah Riska yang hendak masuk ke dalam ruangannya, pikir Diana. Namun ia sendiri sudah tak sanggup melanjutkan langkahnya, apalagi harus menghadapi suami juga kakaknya yang baru saja membicarakan dirinya. Tentu bukan hal baik yang ia dengar, hanya perkataan menyakitkan yang bagi mereka mungkin hanya sebuah lelucon atau gurauan. Diana berbalik, berniat untuk kembali kerumahnya. Hatinya serasa diremas, mendengar suami yang ia pikir menikahinya karena jatuh cinta padanya, ternyata punya maksud lain dan memanfaatkan pernikahan mereka, dan sudah pasti juga memanfaatkan dirinya. Terlebih respon kakak kandungnya yang seolah terima-terima saja, padahal bukankah seharusnya ia yang paling marah jika ada seseorang yang memperlakukan adiknya dengan perlakuan yang tidak adil? Diana bertanya-tanya dalam hati. Diana meletakkan kotak bekal makanan itu di atas meja kerja Riska. Tatapannya kosong, namun tetap menoleh untuk menatap Riska. "Buat kamu, Jangan bilang bapak saya kesini." Ucap Diana pada Riska, kemudian ia berlalu begitu saja. melangkah cepat meninggalkan tempat itu hendak kembali kerumah dengan taksi online saja, sebab tak ingin siapapun yang mengenalnya melihat raut wajahnya yang seperti ini, termasuk supir pribadi sang ayah. Membuang pandangan keluar jendela sepanjang perjalanan, Diana tersenyum getir mengingat apa yang dikatakan suaminya. 'Karena butuh? Apa maksudnya? Butuh aku gitu? Gak mungkin kan? Jelas-jelas kamu bilang nyebelin dan sesak rasanya menikah sama aku.' Gumamnya di dalam hati. Ia lantas menggelengkan kepala, lalu menunduk berusaha menahan air matanya. Tak menyangka suami yang dibanggakannya malah merasa sesak dengan pernikahan mereka. Kepalanya terus berusaha memikirkan apa yang sekiranya membuat suaminya merasa seperti itu. Pasalnya dari yang ia ingat, selalu ia yang lebih banyak mengalah selama ini. Ia lebih sering mendahulukan kepentingan pria itu daripada kepentingannya sendiri, selayaknya seseorang yang mencintai pasangannya. Namun setelah beberapa saat berpikir, ia pun menyadari sesuatu. Seperti menemukan jawaban dari pertanyaan yang sejak awal pernikahan mereka selalu ia pertanyakan dalam benaknya. Yakni alasan mengapa Bayu selalu bersikap dingin jika bukan di atas ranjang. Suaminya, yang ia pikir sikap dinginnya itu memang karena pembawaannya, ternyata karena merasa sesak berada di dekatnya. Sebab senyumnya yang hampir tak pernah terlihat, yang ia pikir juga lantaran sifatnya yang tak mudah dekat dengan orang lain, ternyata karena ia merasa pernikahan mereka begitu menyebalkan baginya. Lantas dengan siapa ia menikah sebenarnya? Tanya Meidina di dalam hati, kini ia ragu ia sudah benar-benar mengenal suaminya, Jika Bayu yang ia pikir juga menginginkannya ternyata malah merasa tak bahagia hidup bersama dengannya."Jadi kapan kalian nikah?" "Uhukk! uhukk!" Pertanyaan itu sontak membuat Anya tersedak, sementara Abi seperti tak bereaksi hanya menatap ibunya sejenak lalu melanjutkan makannya. Rita baru saja beralih pada Abi dan Anya setelah sejak tadi sibuk mendiskusikan tentang kehamilan Diana. Anya merasa tak berhak untuk menjawab, ia lantas menyikut lengan Abi membuat pria itu menoleh padanya. Anya menggerakan bola matanya, memberi isyarat agar ia saja yang menjawab pertanyaan ibunya. "Kok diem? Gak ada yang mau jawab Mama nih?" Rita memperjelas pertanyaannya. "Doain aja, Ma." Ucap Abi, lagi-lagi membuat Anya tak habis pikir dengan drama yang mereka mainkan di hadapan keluarga Abi yang seperti tak kunjung selesai. "Setiap hari didoain kok. Tapi kalo bisa jangan lama-lama. Kalo udah saling ngerasa cocok, ya tunggu apa lagi? Kalo kalian udah menikah, mau ngapain juga udah tenang kan."
"Diana hamil?" Tanya Rita dengan raut wajah bahagia sekaligus tak percaya dengan apa yang didengarnya. Diana pun mengangguk yakin sambil tersenyum lebar, ia berikan hasil tes dari rumah sakit untuk membuktikan ucapannya pada sang ibu. Rita pun mengulurkan tangan hendak meraih benda itu, namun kalah cepat sebab Sudoyo sudah lebih dulu menyambar. "Ih Papa!" Protes Rita. Namun tak dihiraukannya, Sudoyo tetap bergerak cepat membuka lembaran kertas itu lalu ia kenakan kacamatanya dan mulai menggerakan bola mata membaca isi suratnya. "Sini dulu Mama mau lihat!" Rita lantas merebut kertas itu, dan Sudoyo pun mengambil Megan dari gendongan Rita lalu tersenyum menatap wajahnya. "Eh, Mas Megan mau punya adik, iya nak? Walah.. anak bayi udah mau punya adek ini." Sudoyo mengusak hidungnya dengan lembut pada pipi Megan, kemudian mengembalikan bayi itu pada ibunya. Diana lantas meraih putranya dan mele
Sampai kembali dikantor, baik Abi maupun Anya melangkah lesu menuju meja kerja masing-masing. Dilihatnya pada jam dinding waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, seluruh ruang kantor sudah kosong hanya tersisa mereka berdua dan seorang cleaning service yang sedang membersihkan lantai. Anya pun menyelesaikan sisa pekerjaan yang ia tinggal tadi, agar tak menumpuk esok hari. Sementara di dalam ruangannya, duduk termenung sambil melempar pandangan pada dinding ruangan tempatnya bekerja yang terbuat dari kaca, Abi membelakangi meja dan menenggelamkan diri dibalik kursi kerjanya. Tenggelam dalam lamunan, masih penasaran tentang ayah kandungnya, ditambah lagi ia sadari lingkungan tempat dimana kemungkinan ayah kandungnya berada itu seperti lorong tergelap di dunia. Tentu tempat yang tidak aman sebenarnya bagi siapapun yang tinggal disana. Namun Abi tetap penasaran ingin sekali meli
Melewati jalan yang semakin lama semakin sempit, dan sepertinya kini hanya bisa dilalui satu mobil saja. Anya melirik ke kanan dan kiri, merasa begitu asing dengan tempat yang sedang mereka lalui. "Khhmm.. kita.. mau kemana sih?" Tanya Anya ragu, akhirnya bersuara juga setelah memendam pertanyaan itu sejak tadi. "Oh, kalo dikantor sama diluar kantor bahasa kamu emang beda ya?" Tanya Abi. "Gak maksud, maaf. Emang kedengerannya beda?" "Banget." Jawab Abi singkat. Anya menelan salivanya dengan gugup, menggaruk pelipisnya sesaat, ia jadi merasa serba salah dan lebih baik tak usah bicara saja. Sejak dari kantor tadi Abi bahkan tak mengizinkannya menyetir dengan alasan tak percaya Anya akan membawa mereka dengan selamat sampai tujuan. Kini ia malah dibawa ke tempat yang cukup jauh yang begitu asing baginya dengan semak belukar di sisi jalan yang tumbuh subur, bahkan jika ia perkirakan tingginya mungkin melebih tinggi badan Abi. Namun ditengah kegelisahan Anya, Abi malah me
Diana menatap lekat-lekat wajah Bayi yang kini sudah resmi menjadi putranya. Tak ada lagi keraguan atau ketakutan yang ia rasakan, ia begitu bahagia, meski ditengah terbukanya fakta bahwa ayah sang bayi memang tak ingin bertanggung jawab atas kelahiran anaknya. Namun Diana tak ingin berlarut-larut mengasihani anak ini. Persetan dengan apa yang dilakukan ayah kandungnya, Diana kini berjanji dalam hati ia akan menjaga dan merawat anak ini dengan sebaik-baiknya. Dan memberikan yang terbaik untuk kehidupannya. Bayu yang masih fokus mengemudi pun kini menoleh pada istrinya yang terdengar seperti sedang terisak meski samar. "Sayang, kenapa?" Tanya Bayu dengan lembut. "Gak apa-apa. Aku seneng aja, masih gak nyangka kita dikasih anak dengan jalan ini. Maksudku.. aku emang minta sama Tuhan untuk mempercayakan titipannya sama kita. Dan ternyata Dia jawab doaku dengan titipan yang bener-bener titipan dari adik
"Ini kepanasan gak sih?" Tanya Bayu pada sang istri, sambil ia berjongkok dihadapan wadah berisi air. Ia tengah membantu Diana menyiapkan air untuk mandi bayi kecil mereka. Diana lantas menyelupkan tangannya kedalam wadah itu dan spontan menarik kembali tangannya. "Mas, panas banget. Kamu mau mandiin bayi apa mau bubutin bulu ayam sih?" Tanya Diana. "Sepanas itu?" Tanya Bayu sambil terkekeh. "Malah ketawa lagi. Cepet tambahin lagi air dinginnya, Sayang. Ini udah dilepas bajunya nanti keburu kedinginan kasihan." Jawab Diana. Bayu pun bergegas menambahkan air dingin dan membantu Diana memandikan bayinya. "Halo anak manis. Mandi dulu ya biar seger. Mana senyumnya coba? Lucunya.." Bayu terus berusaha mengajak bayi mereka berkomunikasi sambil sesekali mengambil air dengan tangkupan jemarinya lalu ia tuangkan kembali ke badan sang bayi. Melihat itu Diana pun tersenyum sambil tangannya terus bergerak dengan lembut memanjakan kulit sang bayi yang halus. Ia lihat suaminya begi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments