All Chapters of Pernah Menyesal Menikah: Chapter 11 - Chapter 20

‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.

“Kamu udah siap buat ikut tranning hari ini 'kan, Ta?”Aku mengangguk pasrah. Keputusan sudah dubuat, begitu juga dengan karyawan yang akan ikut ke kantor pusat untuk melakukan trainning. Ada enakm orang, termasuk aku dan juga … Jagad. Tentu sja, lelaki itu yang akan terjun langsung mengawasi kami.“Udah.”Askana melirik jam tangannya. “Bukannya berangkat jam sepuluh ya, Ta? Kok kamu masih santai di sini, sih?” tanya Asakana heran.“Esta mah, emang nggak niat. Padahal jalan sama Pak Jagad. Kapan lagi nebeng bosa ganteng yang suamiable itu,” ucap Mala menggoda.Suamiable? Rasanya aku ingin tertawa terbahak sambil kayang. Kalau saja Jagad seperti itu, kami mungkin tak akan bercerai. Dulu, pikiranku sama seperti Mala, Jagad adalah sosok laki-laki yang sangat suamiable. Baik, perhatian, tapi itu dulu, sebelum kami memutuskan untuk menikah.Iya, semua ekspektasiku tentang menikah dengan Jagad ketinggian. Kupikir akan seperti

Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Kutarik napas dalam-dalam saat mengetik pesan izin kepada Jagad, memberi alasan bahwa aku masih syok akibat kecelakaan kemarin. Itu tidak sepenuhnya bohong—rasanya pikiranku belum benar-benar stabil. Namun, sebenarnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang membuatku memilih untuk tidak bekerja hari ini. Jagad [Iya, Ta. Maaf, harusnya aku bisa menahannya. Semoga kamu segera pulih.] Jika bukan karena izin, kupastikan tidak akan mengirim pesan pada Jagad. Aku tidak mau berlarut-larut memikirkan mantan suamiku itu. Aku sedang memikirkan Liana. Setelah membaca pesan-pesannya tadi malam, aku tahu aku harus datang menemuinya. Aku tidak bisa membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian, apalagi sekarang setelah suaminya benar-benar minta cerai. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumah Liana. Rumahnya yang biasanya selalu terlihat rapi

Aku duduk di sudut ruangan, memperhatikan Aesha yang berbicara dengan penuh semangat kepada Liana. Dia menasehati Liana dengan kata-kata yang bijak, tentang pentingnya bersabar, menghadapi masalah dengan kepala dingin, dan bagaimana Tuhan selalu punya rencana yang lebih besar di balik setiap ujian.Aesha selalu pandai merangkai kata, membuat nasihatnya terdengar begitu menenangkan dan penuh hikmah. Tapi di kepalaku, semua itu hanya terdengar seperti teori belaka."Nggak ada yang perlu kamu selali, Na. Semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah, dan menikah adalah keputusan kalian. Soal pasangan yang berkhianat, biar Allah yang membalasnya. Kamu bisa memilih Jalan terbaik, Na."Liana duduk dengan wajah datar, mendengarkan tanpa banyak respon. Aku tahu dia sedang berusaha menerima apa yang dikatakan Aesha, mencoba menemukan celah di dalam dirinya untuk mengikuti nasihat itu. Tapi aku bisa melihat dari sorot matanya, Liana sedang berjuang.Ada ketidakpastian yang begitu besar mengha

Mas Buana menggeleng, lalu menyeruput kopinya. “Kamu baik-baik aja, kan? Kalau ada yang perlu kamu ceritakan, kita selalu di sini.”Aku tahu maksudnya. Setelah pertemuan yang sedikit emosional dengan Jagad tadi, Mas Buana pasti penasaran, sebelumnya memang aku minta izin dengannya akan bertemu dengan Jagad.Mas Buana sempat tidak setuju, tapi aku memaksa, dia memintaku menceritakan apa yang terjadi jika sudah selesai bicara dengan Jagad. Namun, aku tidak ingin membahasnya sekarang, tidak di hadapan Raya, dan juga Mas Auriga. Ini bukan waktu yang tepat.“Semua baik-baik saja, Mas,” jawabku singkat, memberinya senyum agar dia tidak khawatir.Aku mengajak Raya duduk di pangkuanku di bangku teras, sementara Mas Auriga kembali ke posisinya semula. Kami hanya duduk bersama, menikmati sore yang semakin mendung.Tak lama, Mas Buana mengajak Raya masuk ke dalam rumah. Aku tahu dia sengaja meninggalkan aku berduaan dengan Mas Auriga. “Aku