บททั้งหมดของ Tiga Mayat Satu Takdir : บทที่ 141 - บทที่ 150

Suasana hutan semakin menyesakkan. Kabut tebal menggantung di udara seperti tirai putih pucat yang memeluk batang pohon dan dedaunan, menutup pandangan dan mengaburkan arah. Namun, kabut itu kini tak lagi sunyi. Getar langkah kaki monster, berat dan bergemuruh, mulai terdengar dari berbagai arah. Suaranya menyeruak dari balik kabut, seperti irama kematian yang menghampiri perlahan—teratur, dan seolah diarahkan oleh kehendak yang tak terlihat. Di bagian belakang barisan, Sophia bergerak perlahan namun pasti. Lima mayat monster diseret oleh lendir transparan yang keluar dari tubuhnya, mengular seperti tangan hidup yang haus akan kekuatan. Mayat-mayat itu perlahan mengerut dan mengering, vitalitas mereka terkuras, terserap menjadi energi yang disalurkan kembali ke tubuh Sophia. Setiap tetes kekuatan yang ia regangkan selama perjalanan ini dikembalikan dengan cara mengerikan namun efisien. Tiba-tiba, suara Kael memecah ketegangan di tengah kabut. "Ayo semuanya! Ada gundukan ba

Suasana di sekitar mereka terasa berat dan mencekam, seolah udara sendiri menahan napas saat sosok besar mulai muncul dari balik kabut. Pemimpin semut api kini terlihat jelas. Tubuhnya berkilau seperti baja, lapisan cangkangnya tampak kokoh dan tebal, memantulkan cahaya redup yang menyusup dari kabut sekitarnya. Kesannya begitu kuat—tak tergoyahkan. Ilusi tak bisa dipatahkan seolah membungkusnya, menyiratkan bahwa tak satu pun serangan mereka akan mampu menembus pertahanan makhluk itu. Langkah-langkahnya ringan, nyaris hening, namun setiap kali kakinya menjejak tanah, permukaan batu retak dan bergetar. Kombinasi yang membingungkan: tubuh sebesar itu bergerak seakan tak berbobot, namun tekanan yang ia hasilkan cukup untuk mengukir tanah. Kael memandangi makhluk itu dalam diam, hatinya dipenuhi kegelisahan yang tertahan. Naluri bertarungnya berteriak—monster itu menganggap mereka mangsa yang sudah pasti. Sebuah kesalahan fatal. ‘Apakah instingnya sudah tumpul?’ pikir Kael. ‘Atau..

Langit di atas area pertempuran mendadak berubah menjadi lautan warna jingga menyala saat racun api pemimpin semut menyembur ganas dari tubuhnya. Udara mendesis, panas mengalir deras seperti gelombang tak kasat mata yang menyentuh kulit dan menembus pakaian, membuat kelompok Kael yang berlindung di celah-celah batu mencengkeram tubuh mereka sendiri. Racun api itu membentuk pusaran membara, menjalar di udara bagaikan makhluk hidup yang lapar, membuat suhu meningkat tajam. Bahkan monster-monster buas yang sebelumnya berkeliaran ganas, kini berlarian panik ke segala arah, melolong dan menggeram dalam ketakutan yang tak pernah mereka tunjukkan sebelumnya. Jeritan mereka menjadi latar suara mengerikan, mengiringi datangnya malapetaka. Kael dan yang lainnya mendongak dari balik batu-batu besar yang semakin hangus. Cahaya sihir perlindungan berwarna emas milik Murphy yang menyelimuti mereka mulai bergetar dan melemah, diserang tanpa ampun oleh racun api yang seperti hidup dan menari-nari

Meskipun kabut itu terlihat lambat bergerak, ada tekanan halus yang menyelimuti udara—seperti napas lembap dari sesuatu yang tidak terlihat, perlahan menjulur ke arah mereka. Jika mereka terus diam di tempat seperti sekarang, tak diragukan lagi, kabut itu akan kembali menelan mereka. Kael mengangkat pandangannya ke arah gunung yang kini terlihat lebih dekat. Kontur puncaknya samar-samar tampak di balik sisa kabut, seolah memanggil mereka dengan janji perlindungan. Tanpa ragu, Kael menggerakkan tangan dan menunjuk ke depan. “Ayo, kita menuju ke sana.” Gunung itu berdiri tegak, tidak diselimuti kabut seperti kawasan yang mereka lewati sebelumnya. Di antara sisa ketegangan dan kelelahan, harapan perlahan menguat di dada mereka. Harapan bahwa di balik jalur berbatu itu, tidak ada lagi jeratan kabut racun yang menggerogoti indera dan kewarasan mereka. "Ayo bergerak. Jangan lupa konsumsi potion penyembuhan," ucap Kael sembari menoleh pada teman-temannya. Suaranya tegas, namun juga menga

Suasana di dalam lorong itu begitu pekat dengan ketegangan yang menekan. Udara dingin dan lembab menyelimuti dinding-dinding batu yang retak-retak, sementara bayangan kelompok laba-laba bergerak gesit dari sudut ke sudut, seolah tahu bahwa kehadiran Kael dan teman-temannya bukan tanpa maksud. Mereka tampak bersiap menghadang, dan serangan-serangan yang mereka lancarkan pun semakin agresif, berusaha menghalangi langkah kelompok Kael yang makin mendekat. Saat jarak antara kedua kelompok tinggal sekitar dua puluh meter, Kael menatap satu per satu wajah anggota kelompoknya. Dengan isyarat mata dan gerakan tangan yang terlatih, dia memberi perintah tanpa suara, memerintahkan kesiapan menyerang. Di depan mereka berdiri dua puluh laba-laba yang menggeram dan bergetar penuh waspada, sementara hanya empat dari mereka yang benar-benar dapat melancarkan serangan ofensif dengan kekuatan penuh. Sarah, Murphy, dan Sophia tidak bisa ikut dalam serangan langsung kali ini. Sophia masih lemah