Lahat ng Kabanata ng Terjerat Cinta Ceo Posesif : Kabanata 121 - Kabanata 130

William terdiam, ia memikirkan apa yang harus dijawab. Jika menolak, Anantha pasti akan kecewa. Akan tetapi, ia juga tidak akan bisa menerima ajakan ini.“Ayah, kenapa?” Anantha memeluk leher ayahnya.Tersenyum lembut, William mengangguk. “Kita akan bertemu dengannya setelah ayah memiliki libur, bagaimana?”Anantha terlihat berpikir, gadis cantik itu mendesah pelan dan mengangguk. “Baiklah, tapi ayah harus berjanji padaku, kita akan pergi berdua tanpa ibu.”William sekali lagi terlihat mengangguk. Ia meminta putrinya untuk istirahat lebih cepat.“Tidur ya. Ayah harus bekerja lagi,” katanya dengan lembut.Anantha tidak menolak, ia mengangguk, tetapi sebelum itu, ia meminta ayahnya untuk menemaninya sampai ia terpejam._________________________Siang itu, di rumah sakit. Di ruangan yang beberapa hari terasa sunyi dan dingin telah berubah menjadi hangat dengan penuh keharuan. Akhirnya setelah beberapa hari tidak sadarkan diri, Nicholas akhirnya telah sadarkan diri.“Ibu kenapa menangis.”

Rose dan Anantha menoleh ke arah pintu yang terbuka. Di sana William masuk dengan senyum kecil di bibirnya. Rose melirik pada bawaan suaminya. Dua paper bag berukuran besar dengan pita merah muda di bagian pegangan.William mendekat, mengecup kepala Rose terlebih dahulu, barulah melakukan hal yang sama pada putrinya.“Kalian membicarakan Ayah, ya?” William duduk di pinggir ranjang seraya meletakkan paper bag bawaannya.“Apa itu Ayah?” tanya Anantha penasaran.William duduk, ia mengusap wajah putrinya dengan lembut. “Hadiah untuk kalian berdua.”Anantha meraih salah satu yang kemungkinan adalah miliknya dengan tidak sabar. “Ayah, pita milikku yang mana?”William tersenyum lembut, ia mengambil yang pita yang lebih kecil. “Ini milikmu.”Dengan mata berbinar, Anantha meraih miliknya, membukanya dan mengeluarkan isi di dalamnya. Ia semakin terpana, ketika mendapatkan gaun merah marun dengan aksen berlian di bagian pinggang.Anantha berdiri, menempelkan gaun itu pada tubuhnya. Sangat cocok

William memejamkan mata, ia tidak bisa melakukan apa pun selain membiarkan Rose dan putrinya meninggalkan rumah dengan kemarahan. Kepergiannya semalam, bukan juga karena Fera yang menelepon dirinya, tetapi karena hal lain yang tidak bisa dijelaskan.Ia mendesah kecewa, berbalik dan masuk ke dalam rumah yang bahkan kehadirannya saja sudah tidak diinginkan. Ia gagal membuat Rose memaafkannya dan menjelaskan bahwa mereka harus segera bersiap untuk mengadakan pesta untuk Anantha. Istrinya terlanjur salah paham untuk yang kesekian kalinya.“Bagaimana cara menjelaskan padanya sekarang,” desah William lagi.____________________Di gedung dengan Matilda melihat semua persiapan dengan mata berbinar, ia tidak menyesal mengeluarkan banyak uang untuk persiapan untuk menyambut cucunya—Anantha.“Bagaimana Nyonya, Anda menyukainya?” Seorang wanita dengan penampilan modis mendekati Matilda.Matilda mengangguk. “Ini sempurna. Saya suka dekorasi ini.”Wanita tersebut tersenyum hangat, “Saya senang kare

Keduanya keluar bersama dengan Clara yang beralih dibawa dalam gendongan Ronald. Kanaya tersenyum getir andai sajai, Ethan masih ada bersama mereka.Benar saja yang Ronald katakan, ketika kaki mereka masuk ke dalam Resto. Wanita muda menyambut mereka dengan senyuman hangat. Kanaya melihat tak ada yang salah, wajah ramah dan senyum yang tulus.“Akhirnya kamu kembali dengan anak dan istrimu.” Wanita muda itu, menatap takjub pada gadis kecil dalam gendongan Ronald, cantik dan juga menggemaskan.“Dia anakmu?” tanyanya lagi.Ronald berdecak, ia melirik ke arah Kanaya yang mungkin saja tidak nyaman dengan ucapan adiknya, “Maaf Nona, adik saya memang harus disekolahkan dulu,” ujarnya tidak enak.“Oh, bukan anak dan istrimu?” Wanita tadi terlihat menyesal dan minta maaf pada Kanaya, “Nona, tolong maafkan saya. Saya tidak tahu jika dia hanya pengasuh.”Kanaya tersenyum kaku, “Tidak apa. Ronald bukan pengasuh, dia bekerja dengan kakakku dan kebetulan ada waktu menemaniku,” katanya menjelaskan.

Tidak ada lagi pembahasan yang terjadi di antara mereka berdua. Rose yang mulai sadar jika William tidak benar-benar bersalah akhirnya memilih untuk tidak memancing pertengkaran selanjutnya.“Tidak perlu minta maaf. Aku juga bersalah karena malam itu tidak meminta penjelasanmu,” katanya.Rose mencoba berbalik dengan pelan, menatap wajah suaminya yang beberapa hari enggan dilihat. Ia tersenyum getir dan berkata. “Maafkan aku karena telah memisahkanmu dengan putrimu. Aku yang bersalah di sini.”William mengulurkan tangan, memegang wajah istrinya dan mendekatkan wajah mereka. “Sayang, aku juga bersalah. Aku yang tidak bisa menjaga perasaanmu.”Mengangguk menyetujui, Rose tersenyum getir. “Aku mencintaimu, William. Aku merasa sedih setiap kali kamu dekat dengan wanita lain. Aku pernah dikhianati dan itu sangat menyakitkan.”William memeluk istrinya, mengucapkan kata maaf berulang kali dengan setulus hati. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya dia bisa mendengarkan ucapan indah itu. Ros