Kahar menatap Damar dengan tidak percaya. “Ayah, apa maksud ucapanmu itu?”Damar terdiam sejenak dan menjawab, “Kamu seharusnya mengerti, Kahar.”“Aku nggak ngerti!” seru Kahar. Dia menatap ayahnya lekat-lekat.Damar menghela napas lagi. “Itu cuma perjanjian nikah. Ayah tahu kamu nggak rela. Tapi, waktu yang dimiliki kakakmu nggak banyak lagi. Kalau kita nggak bawa pulang obat herbalnya, dia akan segera tewas. Kahar, memangnya kamu mau biarkan kakakmu mati dengan begitu saja?”Setelah mendengar ucapan itu, Kahar bertanya dengan suara yang agak gemetar, “Jadi, Ayah mau korbankan pernikahanku demi menolong Kak Abista? Kita jelas-jelas masih punya cara lain, kenapa Ayah bersikeras mau memohon pada Syakia?”“Cara lain apa?” Ekspresi Damar pun mendingin. Dia berujar dengan nada yang sangat buruk, “Baik itu teratai salju, jamur ganoderma 100 tahun, ataupun safron yang nggak pernah kita dengar itu, kamu merasa obat herbal apa yang mudah ditemukan?”“Kalau keadaan kakakmu masih bisa diulur sam
Read more