All Chapters of Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa: Chapter 491 - Chapter 500

“Akhirnya .…” Anastasya terdengar lega sekaligus puas.Kedua mata Anastasya berbinar saat menatap kotak besar berisi barang mewah di hadapannya.Anastasya memang berniat membawa semua ini pulang sejak awal.Dengan Sydney mengatakan hal itu lebih dulu, setidaknya Anastasya tidak perlu repot-repot mencari alasan lagi.Anastasya tersenyum puas, jemari kurusnya meraba kotak yang membungkus set pakaian, tas bermerek dan sepatu itu.Namun senyum itu tidak berhenti di sana.Sesaat kemudian, sorot mata wanita itu berubah. Ada kilatan licik yang muncul.‘Tunggu … kalau benar Sydney adalah Nyonya besar Keluarga Draxus, kenapa tidak sekalian saja aku peras lebih banyak?’ pikir Anastasya dalam hati.Anastasya menegakkan tubuh, lalu menoleh ke arah Sydney dengan ekspresi dibuat-buat serius.“Tapi, sebelum saya bawa ini pulang … saya harus memeriksa satu per satu. Bagaimana kalau ternyata cincin itu tidak ada di sini

“Bukan, Paman ini bukan Papi!” Suara Jade langsung memecah suasana. Bocah itu buru-buru berdiri, menunjuk Tristan dengan wajah serius. “Papi kita ada di Highvale, bukan dia.” “Iya, kalian salah. Bagaimana sih?” Jane mengangguk cepat, ikut membenarkan. “Seleia, Zaleia, kalian salah olang.” Sereia dan Zaleia yang masih duduk di stroller saling pandang, wajah mereka polos tidak mengerti ucapan kakak-kakaknya. Di mata kedua bocah yang masih berusia dua tahun itu, Tristan mirip dengan Morgan. Mulai dari tinggi badan, suara, dan cara berpakaian. Hanya saja kulit Tristan memang tampak lebih polos karena tidak bertato seperti Morgan. Tristan terbahak kecil, mencoba meredakan situasi. “Kalian benar. Aku bukan Papi kalian.” Pria berahang tegas itu menatap Jade dan Jane dengan mata berbinar, lalu menambahkan, “Tapi kalau kalian mau menganggapku begitu, aku tidak masalah.” “Hah? Tidak mungkin.” Dahi Jade langsung berkerut. “Papi itu cuma satu. Tidak bisa ada dua Papi.” “Jade be

“Aku sayang Mami … juga Papi,” ucap Jade pelan, tetapi cukup untuk membuat Sydney terdiam sejenak. Bocah itu memeluk leher Sydney erat-erat, seolah tidak mau melepasnya. Sydney membalas pelukan Jade dengan lembut. Wanita itu menatap rambut lembut anak lelakinya yang berbau sampo buah. Senyum tipis mengembang di wajah Sydney. “Terima kasih, Sayang,” bisik Sydney. “Mami juga sangat menyayangi kalian semua.” Hati Sydney terasa hangat, meski masih ada kegelisahan yang menempel sejak percakapan dengan Tristan tadi. Setelah sedikit bujuk rayu dari Sydney, akhirnya Jade bersedia menemani Jane bermain bersama Tristan. “Dengan syalat, aku yang pilih wahananya, Jane,” ujar Jade tegas. Suara Jade terdengar lugas dan tatapannya penuh tekad ketika dia menoleh ke arah Jane. “Boleh! Telselah Jade pilih apa,” jawab Jane antusias, melompat kecil sambil

Tristan membeku sepersekian detik. Senyum yang tadi masih terpasang di wajahnya perlahan memudar. Sorot mata Tristan menajam saat meneliti bocah lima tahun di hadapannya, seolah mencoba membaca isi hati anak itu yang jelas menolak keberadaannya. Namun hanya sedetik. Tristan menarik napas, memaksa bibirnya kembali melengkung. “Yang Paman maksud adalah hadiah ulang tahun, Jade. Kau tidak mau apa pun?” tanya Tristan membujuk. “Tidak. Aku tidak butuh hadiah apa pun dali Paman.” Jade menatap Tristan lurus tanpa berkedip. Kalimat itu keluar lugas, membuat udara di sekitar meja mendadak terasa berat. Jane spontan menepuk pundak Jade dengan tangan mungilnya. “Jade! Itu tidak sopan. Paman kan cuma mau kasih hadiah,” tegur Jane sambil mengernyitkan dahi. Sydney segera mengangkat tangan, memberi i

“Kenapa kau selalu berpikir begitu, Tristan?” tanya Sydney terdengar tenang, meski ada getar halus yang berusaha dia sembunyikan. Tristan tidak segera menjawab. Tatapan pria itu tidak bergeming dari wajah Sydney. “Karena hampir 11 tahun lalu, aku sudah merasakannya,” jawab Tristan perlahan. “Apa maksudmu?” Sydney mengernyitkan dahi. Sydney mengundang Tristan datang, bukan untuk membahas soal perasaan. Namun pria itu justru terus membelokkan arah percakapan ke topik yang tidak ingin Sydney selami. “Saat kau masih mahasiswa baru, ingat? Aku senior yang mengospekmu.” Tristan bersandar sejenak, lalu tersenyum getir. Sydney tentu saja ingat. Tristan adalah sosok senior tampan yang digilai banyak wanita dari berbagai angkatan dan jurusan. Pria itu aktif berorganisasi, cerdas di akademik, dan juga terampil dalam olahraga. Namun Sydney cenderung tidak tertarik pada Tristan. Dia hanya ingin kuliah dengan benar, lalu membantu orang tuanya menjalankan bisnis. “Saat panitia