Lahat ng Kabanata ng Silsilah Naga Emas: Kabanata 31 - Kabanata 40

Suasana malam yang pekat menyelimuti Kota Xiping ketika Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian meninggalkan tempat persembunyian mereka di Paviliun Angin Sore. Tanpa embun pagi yang klise, langkah mereka dimulai dengan keteguhan hati dan kesungguhan yang terpancar dari setiap tatapan. Kini, dengan tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka peroleh—dua dari kuil dan satu dari benteng musuh—mereka menyusun rencana untuk melangkah ke babak berikutnya. Informasi rahasia yang diperoleh Zhao, Guru Ran, dan para penduduk di perbatasan menyiratkan bahwa Tuan Muda Hua telah membawa artefak itu ke Istana Kaisar, tempat konspirasi besar sedang direncanakan. Malam itu, ketika lampu minyak mulai berkelip di jalanan sempit Xiping, ketiganya berkumpul di ruang pertemuan kecil losmen. Suasana ruang itu, walaupun sederhana, dipenuhi dengan peta usang, perkamen, dan catatan tangan yang menjadi saksi perjalanan panjang mereka. Wang Jian: “Kita telah mendapatkan tiga potongan. Tapi menurut kabar ya

udara di Kota Xiping terasa berat dengan keheningan dan rahasia yang tersimpan. Di balik tembok-tembok tua dan lorong-lorong yang remang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul di sebuah ruang persembunyian rahasia—tempat yang telah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Di meja kayu usang, tergelar peta, perkamen, dan tiga potongan Silsilah Naga Emas yang kini utuh. Namun, di antara kalimat-kalimat kuno itu masih terselip kekosongan, sebuah rahasia yang belum terungkap sepenuhnya. Mereka duduk bersila, wajah mereka tercermin dalam cahaya lentera minyak yang berkelip lembut. Suasana hening di ruang itu seolah mengajak mereka merenung, menelusuri setiap arti yang terukir dalam tulisan kuno itu. Di sinilah, dalam keheningan yang penuh arti, terpahat janji untuk melangkah ke babak berikutnya—untuk mengungkap kebenaran dan membawa keadilan bagi desanya. Li Zhen membuka potongan pertama gulungan dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Suara gemerisik halus dari kertas tua terdenga

Kini, dengan tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan dan dokumen rahasia yang telah diterjemahkan oleh Li Fu serta petunjuk yang didapat dari Chen Wei dan Yue Lian, mereka bersiap untuk menelusuri Dunia Bawah—sebuah alam yang konon tersembunyi dari pandangan dunia, penuh dengan rahasia kuno, kekuatan mistis, dan bayang-bayang yang menyimpan takdir besar. Di ruang persembunyian rahasia di pinggiran Kota Xiping, suasana malam begitu hening dan penuh makna. Di meja kayu usang yang retak, tersusun peta Zhao, perkamen yang penuh coretan tinta, dan tiga potongan Silsilah Naga Emas yang kini tersusun rapi, seolah-olah semua perjalanan panjang mereka terpatri dalam setiap goresan dan kalimat. Namun, meskipun segala informasi telah terkumpul, ada satu pertanyaan yang masih menghantui—apakah kita sanggup mengaktifkan “Ritual Naga” yang hanya dapat dipicu oleh darah suci dan pengorbanan jiwa? Jawaban itu, jika terungkap, akan mengubah nasib desanya dan mungkin seluruh keraj

di balik dinding kayu usang yang penuh coretan dan peta-peta usang, para pejuang berkumpul dalam keheningan yang sarat makna. Suasana malam itu berbeda: bukan disambut dengan fajar atau embun pagi, melainkan dengan keremangan lampu minyak yang menari di atas setiap sudut ruangan, menciptakan bayang-bayang yang seolah menyimpan cerita-cerita lama. Di tengah ruangan, di atas meja kayu yang retak, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas bersama dengan dokumen terjemahan dan catatan dari Li Fu, Chen Wei, dan Zhao. Namun, meski banyak petunjuk telah terkumpul, satu bagian kalimat yang terputus pada naskah itu masih menyimpan misteri—sebuah rahasia yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci.” Malam itu, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian duduk bersila. Heningnya ruang itu hanya sesekali dipecahkan oleh suara detak jam tua dan bisikan angin yang menyelinap melalui celah jendela. Di antara tatapan yang serius dan perasaan yang campur aduk, mereka pun mulai mengura

di mana lampu minyak berkelip lembut menerangi dinding kayu usang dan peta-peta kuno tergantung di langit-langit yang retak, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian duduk bersila di sekitar meja panjang. Di atas meja itu, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas bersama dengan catatan terjemahan dari Li Fu dan dokumen rahasia yang telah mereka kumpulkan selama perjalanan. Suasana ruangan itu penuh dengan keseriusan—setiap coretan tinta, setiap ukiran peta, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui untuk menemukan artefak yang legendaris itu. Malam sudah larut, dan keheningan ruangan hanya dipecahkan oleh suara detak jam tua serta bisikan angin yang menyelinap melalui celah jendela. Di saat itulah, Li Zhen membuka salah satu gulungan kuno dengan hati-hati. Ia membaca dengan suara yang bergetar: "Darah Naga akan menyala bila tiga potongan bersatu, dan hanya dengan kesucian hati, kekuatan terpendam akan bangkit…" Namun, tepat pada bagian akhir kalimat i