Semua Bab CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN! : Bab 31 - Bab 40

Mbok Darmi tetap berusaha bersikap tenang. "Saya tidak tahu apa yang Tuan maksud..." Hadi semakin yakin bahwa perempuan tua itu berbohong. Tanpa peringatan, ia meraih sebuah vas bunga di atas meja dengan cepat, lalu melompat ke arah Darmi dan menghantamkan vas itu ke kepalanya. DUK! Mbok Darmi terhuyung, matanya membelalak kaget sebelum tubuhnya roboh ke lantai. Hadi menarik napas panjang, lalu bergegas ke kamar dan mengetuk pintu. "Siska, keluar! Bantu aku mengikatnya!" Siska membuka pintu perlahan dan melihat Mbok Darmi tergeletak tak sadarkan diri. Ia menahan napas. "Ayah! ... apa yang telah ayah lakukan?" "Aku hanya memastikan dia tidak bisa melakukan apa-apa sebelum kita tahu kebenarannya," jawab Hadi sambil menyerahkan seutas tali yang ia ambil dari gudang. Dengan tangan gemetar, Siska membantu Hadi mengikat tangan dan kaki Mbok Darmi ke kursi. Napasnya memburu, matanya berkaca-kaca. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyanya cemas. Hadi mengambil ponselnya

Mbok Darmi yang tidak siap mengelak dan terkena pukulan Siska. Dia mundur ke belakang selama beberapa langkah. Asap mengepul dari dada perempuan itu. Baju mbok Darmi robek dan meninggalkan bekas telapak tangan terbakar di dadanya. Mbok Darmi menyeringai dan Siska tertawa. "Wewe gombel rendahan sepertimu tidak akan bisa mengalahkanku!" ujar Siska tertawa. Mbok Darmi menggeram. Dia berdiri dan memasang kuda - kuda, asap mengepul dari seluruh tubuh nya, lalu dengan sekejap, mbok Darmi melompat ke arah Siska dan mencengkeram tubuh Siska dengan kedua tangannya yang membesar. Siska tampak kesulitan bergerak dalam kungkungan tangan mbok Darmi. Mbok Darmi tertawa terbahak-bahak. "Kamu jangan sombong Jin Tua! Aku yang lebih kuat di sini!"Siska memejamkan matanya lalu komat kamit. Tampak lidah api secara samar melingkupi tubuhnya membakar sebagian tangan mbok Darmi yang sedang mencengkeram tubuhnya. Siska lalu membuka mata dan menyeringai lebar. "Hahaha! Aku tidak akan kalah!"Siska teru

Hadi terhuyung ke belakang, darah merembes dari sudut bibirnya.Tetapi ia tidak tinggal diam.Dengan cepat, ia meraih pecahan guci di lantai—dan menusukkannya ke perut Darto.Darto membelalak.Darah panas langsung mengalir dari lukanya, membasahi tangannya sendiri.Ia terhuyung, tetapi sebelum jatuh, ia masih sempat mencengkeram bahu Hadi, menariknya lebih dekat.Napasnya tersengal.Lalu, dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia berkata:“Kau… akan menyesal….”Hadi merasakan bulu kuduknya meremang.Darto jatuh tersungkur ke lantai, tetapi sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia tersenyum—senyum yang membuat Hadi bergidik.Hujan terus mencurah, membasahi tanah yang kini bercampur darah dan daging yang membusuk. Kilat menyambar, menerangi wajah Darto yang seharusnya sudah mati—tetapi kini perlahan bergerak.Jari-jarinya yang berlumuran darah mencengkeram tanah. Napasnya berat, tetapi semakin stabil. Lalu, dalam sekali hentakan, tubuhnya terdorong ke atas. Ia duduk tegak.Di hada

Bulan pucat menggantung di langit malam saat suara ranting patah mengiringi hembusan angin yang menyelinap masuk ke sela-sela jendela rumah itu. Siska menggigit bibirnya, matanya menatap nanar ke arah Mbok Darmi yang terikat di kursi dengan tali tambang. Wanita tua itu hanya pingsan setelah dipukul oleh Hadi dengan sekuat tenaga. Mbok Darmi memejamkan matanya, seolah tak peduli dengan nasib yang menantinya. Hadi berdiri di sisi Siska, tangannya mengepal kuat. "Kita harus segera pergi dari sini. Menurut ayah, mbok Darmi harus diberi pelajaran untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kita tidak perlu membawanya ke kantor polisi. Daripada perbuatan kamu dan Reza dulu ketahuan," ujar Hadi dengan suara berat.Siska mengangguk. "Asha harus ikut dengan kita. Aku tak ingin dia sendirian di rumah.""Kalau begitu, siap kan baju Asha! Kita serahkan saja Asha pada Eyang Ayu," ujar Hadi. Siska mengangguk. Dia lalu meninggalkan ruang tengah menuju ke kamar Asha. Sesaat sebelum menata baju Asha,

"Maaf, Bu. Kami tidak melihat anak kecil keluar dari paviliun," jawab salah satu perawat dengan nada khawatir.Ayu merogoh ponselnya dengan tangan gemetar. Ia segera menelepon Siska dan Hadi, berharap mereka mengetahui sesuatu. Tapi tidak ada jawaban. Ayu mencoba lagi, kali ini lebih putus asa. Masih sama. Tidak diangkat.Paniknya semakin menjadi-jadi. Ayu berlari ke segala penjuru rumah sakit, mengecek setiap lorong, setiap ruang tunggu, bahkan ke kantin dan area parkir. Namun, tidak ada yang melihat Asha.Ketika rasa putus asanya semakin memuncak, seorang perawat datang menghampirinya. "Bu Ayu, ada polisi yang ingin bertemu dengan Anda. Mereka sedang mencarimu di ruang informasi."Ayu menatap perawat itu dengan mata terbelalak. "Polisi?" tanyanya, masih dengan napas tersengal.Perawat itu mengangguk. "Iya, katanya ingin berbicara soal kecelakaan Pak Arman."Meski pikirannya masih dipenuhi kepanikan karena hilangnya Asha, Ayu tahu dia tidak bisa mengabaikan polisi. Dengan langkah ter