Malam Membara Bersama Pamanmu のすべてのチャプター: チャプター 231 - チャプター 240

“Dia ... sudah pernah hampir membunuhmu?” tanya Kayden, matanya terlihat memerah saat manik mereka bertemu. Liora yang duduk di atas ranjang mengangguk sebagai jawaban, “Iya.” “Dulu saat kalian masih remaja?” “Iya, Kayden. Saat itu Mama dan papaku sudah bercerai. Mama sudah diusir pergi dari rumah kami, dan untuk mengambil hati Papaku, ibunya Irina meminta agar aku tinggal bersama dengan mereka.” “Dan kamu setuju?” Liora kembali mengangguk saat Kayden duduk dengan tetap menggenggam tangannya di tepi ranjang rawat. “Aku setuju karena tidak ingin Papa dan Mama bertengkar soal harus dengan siapa aku ikut,” jawabnya. “Tapi saat aku bersama dengan mereka, sikap Ibunya Irina dan Irina sendiri berubah. Apa yang aku harapkan memangnya? Mereka sudah sejak awal mengambil kebahagiaanku, dan suatu hari ... seseorang yang disukai oleh Irina memberiku surat yang mengatakan kalau dia menyukaiku. Irina sangat marah.” Liora mendorong napasnya, sebenarnya tidak ingin mengenang ... tetapi semuanya

Liora benar-benar tidak bisa melihat Dokter Edsel. Sosok pria itu terlindung oleh keberadaan Kayden yang berdiri persisi di depannya. “Hanya ingin memberi tahu beberapa hal saja pada Nona Liora, Pak Kayden,” jawab Dokter Edsel. “Soal jadwal kontrol si kembar.” Liora tak melihat seperti apa ekspresi Kayden saat ini. Tapi dari kedua bahunya yang bidang yang merosot secara drastis itu, ia tahu umpatan sedang tertahan di belakang bibirnya. Kayden selangkah menyisih, membiarkan Dokter Edsel terlihat olehnya. “Selamat pagi, Dokter Edsel,” sapa Liora akhirnya. “Bagaimana keadaan Nona?” tanya beliau. “Sudah lebih baik, Dokter. Terima kasih sudah mengizinkan Lucca dan Elea keluar dari NICU. Mereka boleh pulang besok?” Dokter Edsel mengangguk, “Boleh. Saya dengar dari rekan saya kalau Nona besok juga sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, ‘kan?” “Iya.” “Lucca dan Elea sudah berjuang di sini dengan sangat baik. Saat mereka keluar dan ada di pelukan Nona nanti, saya yakin mereka ak

Kedua tangan Evan yang ada di atas pahanya terkepal erat. Meski senyumnya masih terlihat, tapi dadanya terasa sesak. Ayahnya Leah bersedekap, sementara sang ibu menatap Evan dengan mata yang penuh kebencian. "Dengan mendengar semua ini, apa kamu tidak merasa rendah diri?" tanya Nyonya Emma. "Semua hal baik harusnya dimiliki Leah, tapi kamu menghalanginya." Evan menghela dalam napasnya sebelum bertanya, "Apa yang harus saya lakukan agar Anda berdua percaya bahwa saya melakukan yang terbaik juga untuk Leah?" "Harusnya dengan pembuktian kalau kamu memang layak. Tapi karena kami tahu latar belakangmu seperti apa, itu akan sulit untuk kami menerimanya. Bagaimanapun, orang yang melamar Leah itu jauh lebih baik daripada dirimu." "Maksudnya ...." Evan sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi menangkap dari bagaimana cara mereka berdua bicara, ia tahu akan ke mana arah percakapan ini dibawa. "Maksudnya Anda berdua meminta saya untuk berpisah dengan Leah, seperti itu?" Tak ada yang men

Sudah lewat tengah malam saat Liora terjaga. Ia mengerjap pelan, membiasakan cahaya temaram menyapa matanya. Saat ia melihat di mana Kayden seharusnya tidur, prianya itu tak dijumpainya di sana. "Kayden?" panggil Liora tetapi tak ada jawaban. Ia bangun dari berbaringnya, meraih pakaian yang ada di lantai dan mengenakannya. Gaun tidurnya terhempas ke sana setelah pergumulan panas dengan Kayden tadi. Ia turun dari ranjang dan menuju ke ruang ganti. Dari sini, ia tak melihat tanda keberadaan Kayden. "Apa dia turun?" tanya Liora pada dirinya sendiri lalu memutuskan untuk meninggalkan kamar dan turun ke lantai satu. Ia menuju ke kamar si kembar dan melihat Kayden ada di sana. Sedang berdiri di dekat jendela dan menggendong anak gadisnya. Saat ia masuk, Kim dan Wina—babysitter yang menjaga si kembar menundukkan kepala menyambutnya. "Kenapa Kayden yang menggendong Elea?" tanyanya. "Nona muda sedang bangun dan menangis saat Tuan Kayden turun, Nona Liora. Jadi Tuan menggendongnya," ja

"Apa yang kamu bicarakan, Irina?!" Nyonya Lin berkacak pinggang, sepasang matanya terbuka lebar, tajam mengarah pada anak perempuannya yang sedang dirundung kebencian. "Kamu menyalahkan Mama atas apa yang kamu lakukan pada orang lain?" imbuh beliau. "Kamu bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan, Irina! Jangan mencari alasan untuk membenarkan kesalahan itu!" "Tapi sejak dulu Mama selalu membandingkan aku dengan Liora," bantah Irina, tak mau mengalah atau menerima ucapan sang Ibu begitu saja. "Mama selalu mengatakan padaku bahwa aku harus selalu lebih baik dari Liora! Kalau Liora mendapatkan sesuatu yang baik dan aku tidak, Mama akan memarahiku. Mama menyebutku kalah dari anak pembawa sial itu, makanya aku selalu berusaha mengalahkannya bagaimanapun caranya!" "Irina—!" "Mama pikir aku tidak tahu kalau Mama juga kesal kalau Liora selalu beruntung?" sela Irina sebelum Nyonya Lin sempat merangkai kata. "Apa maksudnya?" "Mama tahu Liora selalu beruntung, makanya Mama selalu berus