All Chapters of MANTAN WITH BENEFIT: Chapter 41 - Chapter 50

"Aku nggak bisa biarin nama Akademi kamu tercoreng gara-gara aku, Fenya!" seruku, menatap punggungnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Dia diam, bahunya sedikit naik turun menahan napas. Jadi aku lanjutkan, "Kata Papamu, resikonya bakal nggak bisa dicegah kalau kita nggak nikah." Dia berhenti. "Terus apa gunanya, Heksa? Kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa? Pernikahan kita cuma kamu anggap pelarian, gitu?" "Enggak gitu. Aku cuma … cuma belum siap aja untuk hal yang itu." Aku maju selangkah, ragu-ragu menyentuh lengannya. "Fenya, nggak usah lakuin ini lagi, ya? Aku nggak mau kamu celaka." Dia berbalik dengan sorot mata yang menyala. Dia enggak pandai menangis, cuma menekuk alisnya, sambil bilang, "Aku bakal lakuin apa pun yang aku mau. Dan kamu nggak berhak ngelarang!" "Aku berhak!" bantahku, suaraku pecah. "Aku nggak mau calon istriku kenapa-kenapa!" "Dan aku nggak mau punya suami yang nggak punya perasaan apa-apa!" balasnya, tak kalah keras. "Dan aku juga nggak mau

15 menit kemudian …. “Ah??! Pa … Lepasin!!!" "Mmmmhhhh … Mmmhhhhh," balas Papa sambil menyumpal bibirku yang tengah berteriak-teriak antara takut dan marah. Semakin keras aku berteriak, semakin rakus Papa melumat bibirku hingga aku terengah, kehabisan napas, dan berhenti berteriak. Ciuman pagi ini, kenapa aku malah mendapatkannya dari orang yang salah. Papa menarik kedua cup bra-ku ke bawah. Sepasang bukit kembar yang putih dan padat pun tersembul. Dihiasi kismis berwarna cokelat kemerahan yang mulai mengeras. “Pa ... Udah cukup!" desisku. Papa sibuk meremasi dadaku dan aku hanya menggeliat menerima sentuhan dari mertua yang tersenyum mesum sambil terus memainkannya. “Oh-Ohhhhhh ... Khalisa. Mmmmhhh.“ Tubuhku tiba-tiba tersentak ketika kepala Papa mendarat dan mencaplok kismis imutku yang sebelah kanan. Belum sempat aku mengendalikan diri, tiba-tiba lidah Papa yang kasar itu bergerak-gerak di atas kismisku. “Pa ... Ahhh ... Dosa besar Pa, Istighfar!” Suara rintihan kec

Tujuh hari kemudian … "… Ku tak tahu namanya patah hati. Perasaan ini tak terbukti. Sampai aku bertemu kamu. Dan kita saling memanggil kamu … Bohong, aku tahu kamu berbohong. Cinta dan setia hanyalah kata. Aku tidak baik-baik saja. Ku terluka di tempat yang sama …” Lagu Aruma/Raim Laode – Ekspektasi mengalun pelan dari sudut kamar. Ruangan ini memang tak pernah ramai. Hanya lampu meja yang selalu menyala temaram, menunggu pemiliknya menyalakan lampu utama. Ya, suamiku ... Aku selalu menyambutnya saat pulang. Tapi sekarang sudah hampir sebelas malam dan dia belum membuka pintu itu. Seperti biasa, angin malam berdesir lembut, mengetuk kaca balkon dengan pelan. Aku duduk di depan meja rias, menatap bayanganku di cermin. "Beneran ini aku?" Aku menarik napas perlahan. Tubuhku terasa asing. Tanganku meraba perut, sementara detak jantungku berdetak dengan cepat. Bagaimana kalau aku nanti benar-benar mengandung anak yang bukan darah daging suamiku? Papa sering menyetubuhiku setiap pagi.

Aku mulai terpejam setengah sadar, setengahnya lagi seperti telah terbang ke dunia lain. Namun, ranjang susun kami yang bergoyang berirama membuat pikiranku melayang. Fenya pasti sedang bercumbu dengan Biron sekarang. Dan aku, sebagai suaminya, hanya membiarkannya begitu saja. "Biron, bisa nggak jangan berisik kalau main?" ketus Onad. "Oh ... maaf, Bre!" Desahan mulai meredam, tetapi ranjang justru bergoyang lebih hebat. Decitannya pun terdengar semakin riang, dan suara Fenya semakin lirih. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Yang jelas, aku enggak peduli. Toh kamar ini bebas dari CCTV atau pengawasan. Mereka bebas mencoba gaya apa pun tanpa khawatir jadi bahan skandal. Dan aku? Hanya memandangi coretan-coretan di tembok. Seperti biasa, mengenang manisnya kenangan bersama Khalisa. Tapi yang pahit, ketika hari ini dia enggak datang untuk menyelamatkanku, ataupun mengambil bulan maduku seperti aku dulu yang mengambil malam pertamanya. "Ahhhh ... Uuhhhh ...." Suara dua i

୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Mama menarikku keluar dari kerumunan. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan saat itu cuma satu, kabur terus balik ke Alzian, memeluknya erat-erat, lalu dengar dia membisikkan kalau semuanya bakal baik-baik saja. Kalau semua masalah di antara kami sudah berakhir. Tapi, kenyataannya enggak begitu. Aku justru menutupi air mata sambil berjalan melewati segerombolan orang yang sibuk berbisik dan memandangiku seperti tontonan. Mama menarikku makin erat ke pelukannya saat kami berjalan menuju penginapan. Saat aku dan Mama hendak masuk ke penginapan, aku berhenti sejenak. Memejamkan mata. Hanya untuk mengecek apakah memori itu masih ada. Aku membayangkan Alzian waktu masih muda, memakai celana renang, tersenyum padaku. Masih ada. Masih jelas. “Aku dulu punya buku harian,” kataku. “Apa, Sayang?” Mama membuka pintu. Tiga bulan terakhir ini, Mama cukup sabar membantuku mengingat masa lalu. Tapi jujur saja, sebenarnya dia enggan kembali ke Pecang. Dia takut aku j