Lahat ng Kabanata ng Kau Selingkuhi Aku, Kugapai Pamanmu: Kabanata 111 - Kabanata 120

Alea langsung menghentikan langkahnya, menahan napas dan meremas lengan Juno, membuat suaminya ikut memperhatikan ke arah yang sama. Mata Alea membulat saat melihat Giska berjalan mengangkang, seperti habis latihan bela diri atau... lebih tepatnya, seperti seseorang yang baru saja melewati malam yang sangat berat, dan panas."Astaga, itu Giska kenapa jalannya seperti itu? Kayak kuda habis balapan," bisik Alea pelan ke Juno, nyaris tak percaya.Juno mengernyit, lalu tersenyum tipis saat matanya menangkap jejak samar kemerahan di leher Giska. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat alis ke arah Alea, seolah berkata, kamu pasti tahu sendiri itu bekas apa.Sadar sudah dipergoki, Adrian dan Giska refleks berhenti melangkah. Wajah keduanya tampak panik, apalagi Giska yang buru-buru merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Sialnya, bekas-bekas merah di leher dan pundaknya tetap terlihat jelas."Hai, kalian nginep bareng ya?" sapa Alea sambil berjalan mendekat, memasang senyum penuh ra

Alea menatap suaminya dengan ekspresi bingung dan kecewa yang berbaur jadi satu.“Ditunda? Kenapa, Mas?” tanyanya dengan suara pelan, seolah takut mendengar jawabannya.Juno menghela napas panjang. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Alea, menaruh ponselnya di meja, seolah itu adalah sumber semua masalah.“Cabang kantor kita di Papua kena masalah. Ada konflik internal antar manajer, terus proyek yang harusnya selesai minggu ini, malah mundur. Investor lokal udah mulai kirim email ancaman mau tarik investasi mereka."Sebenarnya penarikan investasi bukan masalah untuk Juno, bahkan tanpa investasi dari donatur. Juno sudah memiliki cukup banyak kekayaan untuk investasi sendiri. Tetapi, Juno selalu menekankan pada dirinya sendiri tentang kepercayaan. Antara dirinya dan rekan bisnisnya.Alea mengangguk pelan, mencoba memahami keadaan Juno. Tapi jelas wajahnya menampakkan kekecewaan.“Jadi, Mas harus pergi ke sana?” tanyanya lagi.“Harus,” jawab Juno mantap. “Dan secepatnya, Sweetie Girl."

Sementara itu, di rumah mertua Ghea, aroma masakan yang baru matang belum sempat memenuhi dapur sebelum tangan kasar ibu mertuanya, Raisa, dengan sengaja membalik piring berisi tumis buncis ke lantai. Suara piring pecah mengiringi bentakan sinis yang membuat tubuh Ghea gemetar."Apa ini? Masak apa ini?! Ini makanan atau makanan ayam?!" hardik Raisa dengan suara lantang.Ghea berusaha tetap tenang, meski hatinya remuk. Ia membungkuk, mengumpulkan pecahan piring dengan tangan kosong.“Maaf, Ma. Saya akan buat yang baru,” ucap Ghea pelan, berusaha menahan air mata.Raisa mendengus, lalu menoleh ke Martin yang berdiri tak jauh dari sana.“Kamu lihat sendiri, kan? Aku sudah bilang dari awal, perempuan ini gak becus! Cuma bisa ngerepotin rumah ini!"Martin hanya menyilangkan tangan di dada, menatap istrinya tanpa ekspresi berarti.“Masakannya emang gak enak, Mah. Aku juga eneg makan kayak gini tiap hari,” komentarnya dingin.Komentar itu menusuk hati Ghea lebih dalam dari sekadar hinaan. Ia

Alea terbangun pelan, terkejut. Matanya beradu dengan Juno yang kini menatapnya lekat. Tatapan yang dipenuhi oleh hasrat. “Maaf ya…” bisik Juno. “Aku memang bodoh.' Alea hanya diam. Tapi sorot matanya menyimpan banyak tanya dan emosi yang tak bisa dibohongi. Dia memalingkan wajah dari Juno. “Aku cuma pengen cepat selesai kerja biar bisa cepat bawa kamu pulang ke Jakarta. Aku nggak sadar kalau aku malah nyakitin kamu…” Alea menghela napas pelan, lalu memeluk Juno. “Kamu udah bikin aku kesel, Mas. Tahu nggak tadi aku—" Alea tidak melanjutkan ucapannya karena malu dengan apa yang dia lakukan tadi. Juno mencium puncak kepala Alea. “Aku gak bakal bikin kamu sedih lagi, ya.” "Jadi sekarang udah gak merah?" tanya Juno seraya tersenyum. "Iya. Tapi besok lagi aja ya. Aku udah gak mood, udah ganti baju juga. Dan aku ngantuk," ucap Alea yang kembali berbaring dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Juno terkekeh pelan melihat tingkah manja istrinya itu. Ia tahu Alea sedang mencari aman,

Giska melangkah cepat keluar dari rumah Adrian, sambil membawa koper berisi baju-bajunya, ia juga berurai air mata. Sikap dan kata-kata Adrian membuatnya tersinggung. Padahal ia sudah capek-capek kabur dari rumahnya dan ini anggapan Adrian tentangnya. Pria itu malah mengusir dirinya."Pak kulkas nyebelin. Udah susah payah aku kabur dari rumah kakak, tapi pak kulkas malah ngusir aku. Ngeselin!" gerutu Giska dengan kesal. Bibirnya gemetar, terlihat jelas ia kesulitan menahan air matanya yang terus jatuh.Langkahnya terhenti, ketika ia merasakan ada seseorang yang menahan tangannya. Giska sudah tahu siapa itu, dia mengenali perasaan saat bersentuhan dengan orang ini. Genggaman tangannya terasa familiar. Itu sebabnya Giska tak mau menoleh, apalagi memperlihatkan wajahnya yang basah dan kacau ini."Tunggu.""Lepas!" ujar Giska kesal. "Kamu udah usir aku, kan?"Adrian mendesah kasar, usai mendengar kekesalan Giska. Ia tahu kalau kekasihnya merajuk. "Dengerin aku dulu.""Lepasin aku! Aku ngg