Setengah jam lalu, sebelum Giska memergoki tunangannya berpelukan dengan wanita lain. Adrian yang sudah menyiapkan sarapan untuk Giska, mendapatkan telpon dan pesan masuk dari seseorang yang dikenalnya. Seorang wanita yang merupakan tetangganya dulu dan mereka berteman baik. Wanita bernama Erika itu katanya baru sampai di kota ini dan ingin mengucapkan selamat pada Adrian atas pertunangannya.Tak mau Giska salah paham dan cemburu, Adrian memutuskan untuk menemui Erika ditempat lain. Ia hanya akan menemui Gadis itu sebentar.Tak jauh dari villa tempat pertunangannya dan Giska, mereka bertemu di dekat kebun di sana. Adrian pun melihat wanita itu di sana dengan pakaian minim berwarna merah, heels tinggi. Ditengah-tengah cuaca dingin dan jalan yang tidak cocok untuk menggunakan heels tersebut.Erika, wanita berambut pirang karena cat rambut itu, terpesona saat melihat Adrian. Pria yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengannya."Adrian!" Erika berlari menghampiri Adrian lebih d
Jari Juno sudah mampir di bagian bawah milik Alea, memberikan sensasi ngilu-ngilu syahdu. Tubuhnya menggelinjang beberapa kali, saat jari-jari itu menyentuh titik sensitif dalam dirinya."Aaah..."Suara desahan pun lolos dari bibirnya beberapa kali. Sedangkan Juno, ia tampak menikmati saat dirinya menyentuh Alea, memberikan istrinya kenikmatan itu."Aaahh ... Aahh. U-udah, Mas. Aku udah keluar berapa kali.""Kamu kelihatan keenakan, Sweetie Girl. Tapi nggak apa-apa, aku suka!" cetus Juno seraya menjilati jarinya yang sudah berlumuran cairan cinta.Alea terengah-engah dengan kedua kaki yang terbuka. Menyuguhkan pemandangan indah hanya untuk suaminya tercinta."Kita mulai ya Sayang."Juno melepaskan celananya dan tak lama kemudian, benda berurat itu tampak berdiri tegak, siap memasuki sarangnya. Perlahan tapi pasti, Juno menghentakkan miliknya pada Alea, dalam sekali serangan. Pemanasan tadi cukup membuat Alea basah dan memudahkan jalannya untuk masuk. Tetapi, rasanya tetap sempit bagi
"Uhuk uhuk."Suara Giska yang batuk-batuk membuat semua orang didekatnya panik. Adrian buru-buru mengambil air minum untuk tunangannya. Maria dan Nala mengusap-usap punggungnya."Giska, kamu kenapa?"Tanpa diduga kakaknya menanyakan keadaannya. Padahal selama ini, kakaknya tidak pernah tampak peduli padanya. Giska semakin batuk-batuk karena terkejut."Sayang, kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit, Nak?" tanya Maria lembut."Kak, kakak kenapa?" tanya Nala juga sama lembutnya."Ini minum dulu, Sayang." Adrian menyodorkan segelas air minum itu kepada Giska.Giska meminumnya dengan perlahan, sampai tandas. Semua orang memerhatikannya. "Haah..." Giska menghembuskan napas, lalu Adrian mengambil gelas kosong itu dari tangan istrinya."Kamu nggak apa-apa, Sayang?"Wanita itu belum menjawab, tapi ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya."Kamu yakin? Barusan kamu batuk-batuk?""Aku nggak apa-apa, Mas. Cuma lucu aja sih. Kamu panggil aku Sayang dengan mudah. Dari dulu aku pengen dipangg
Martin mengepalkan tangannya, menahan emosi. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan keterpurukannya. “Aku tahu aku salah, aku tahu aku udah keterlaluan sama kamu. Tapi yang barusan kamu lihat itu... bukan apa yang kamu pikirkan.”Ghea menghela napas panjang. Ia lelah, bukan hanya fisik, tapi juga batin. “Martin, kamu pikir aku masih peduli sama penjelasanmu? Kamu pikir, dengan kamu pasang muka sedih dan minta maaf, semuanya akan beres?”“Bukan begitu maksudku…”“Lalu apa?” Ghea menatapnya lurus. “Karena aku kehilangan bayiku? Karena kamu merasa bersalah sama aku? Kamu datang tiba-tiba ke acara ini dan ikut campur? Kamu pikir aku bakal luluh dan memaafkan kamu?"Martin menggigit bibirnya. “Ini bukan karena rasa bersalah… Aku… aku mulai ngerasa sesuatu yang lain ke kamu. Aku sadar selama ini aku—”“—terlalu sibuk dengan egomu, dengan Lindamu, dengan hidup yang cuma kamu pikir kamu sendiri yang jalani!” potong Ghea dengan nada tinggi. Matanya mulai berkaca. “Kalau aku gak kehilangan
Giska membuka matanya perlahan. Cahaya lampu di langit-langit membuat matanya sedikit silau. Pandangannya masih kabur, tapi ia langsung mengenali wajah Adrian yang menatapnya cemas sambil menggenggam tangannya.“Sayang…” suara Adrian lirih, penuh emosi.Giska berkedip beberapa kali. "Aku… di mana?"“Di rumah sakit. Kamu pingsan tadi. Tapi tenang, kamu baik-baik saja. Dokter bilang kamu cuma kelelahan.”Giska menarik napas dalam, mencoba mengingat semuanya. “Tadi aku... mual, terus pusing banget.”Adrian menelan ludah, lalu memberanikan diri berkata pelan, “Sayang… kamu hamil.”Giska langsung menoleh ke arahnya. “Apa?” suaranya bergetar. Matanya membesar penuh keterkejutan. Jantungnya berpacu lebih kencang dari biasanya saat mendengarnya.“Dokternya barusan bilang,” ucap Adrian, kali ini dengan senyum perlahan yang merekah. “Kamu hamil, Giska. Kamu hamil anak kita.”Giska membeku. Dadanya naik turun cepat. Butuh waktu beberapa detik untuk otaknya memproses semua itu. Tapi kemudian, per
Giska langsung menarik diri dengan tatapan kaget. Jantungnya mencelos. Bibirnya terkatup rapat, tapi matanya menyiratkan kemarahan dan kekecewaan. Ia mendorong dada Adrian dengan sekuat tenaga, namun belum sempat ia membuka mulut, Adrian langsung mengusap pipinya dengan lembut dan berkata,"Tidak... aku tidak akan tidak bertanggung jawab, Sayang. Maksudku, aku akan tanggung jawab. Bahkan kalau kamu mau, kita bisa menikah secepatnya."Deg. Giska tercekat."Apa?" suaranya pelan, hampir seperti bisikan."Aku serius, Giska," ucap Adrian mantap. “Kalau kamu memang hamil, itu akan jadi hal terindah dalam hidupku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya. Aku akan nikahi kamu. Aku nggak akan biarkan kamu hadapi semua ini sendiri.”Tatapan Giska melunak. Amarahnya mereda. Ia kembali menatap Adrian dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Seketika, seluruh kegelisahan dan ketakutan yang selama ini menghantui pikirannya, luruh begitu saja. Ia menarik napas dalam dan mengangguk pelan."Ya udah," katany