All Chapters of Pria 'Shift Malam': Chapter 511 - Chapter 520

Saking kagumnya dengan aksi Salman di ring octagon, Juliana sampai memutar ulang pertandingan itu hingga 3X.Salman terbangun dan senyum kecil melihat ulah Juliana, yang melihat aksinya hajar Mike Mohan.“Kenapa…kaget yaa?” tegur Salman sambil ngelap wajahnya dengan handuk basah hangat yang di bawakan pramugari, sehingga wajahnya kini jadi segar.“Bukan kaget lagi Bang, surprise tauu, nggak tahunya Abang ini sang juara dunia tinju bebas, juara 5 sabuk lagi, hebat sekali, ngeri pokoknya!”“Itu sudah jadi masalalu, aku sudah mundur alias pensiun dari ring octagon,” sahut Salman dan kini ngopi agar matanya segar. "Waduh, sayang banget, padahal aku penggemar tinju bebas lohh, waaaah jadi nggak bisa lagi dong saksikan aksi-aksi Abang ini," Juliana akhirnya bisa bercanda, setelah ketegangan dan kesedihan yang mereka alami."Aku sebenarnya sudah pensiun, kemarin itu hanya terpancing dengan ulah Mike Mohan saja, butuh waktu setengah tahun aku berlatih, untuk taklukan dia," aku Salman, hingga

Plakkk…plakkkk…! Dua kali tamparan membuat anak kecil berusia 9 tahun ini memerah pipinya, tapi hebatnya dia tidak menangis, makin gemas saja orang yang memarahinya.“Dasar anak ga jelas, nakal ngga ketulungan, berani sekali kamu nyuri rokok di warung hahhh,” bentak pria yang belum terlalu tua ini.“Saya nggak nyuri pak, teman aku yang nyuri, aku hanya temanin dia, nggak ikut-ikutan?” si anak kecil ini tak mau di salahkan, dia membela diri.Tapi lagi-lagi sebuah jeweran mampir di kupingnya, akibatnya makin kesakitan saja yang ia rasakan.“Ini peringatan terakhir dari bapak, kamu berani ikutan nyuri lagi, bapak kirim kamu ke penjara sekalian, biar kapok!” bentak ayahnya ini lagi.Dengan langkah gontai si anak kecil ini bukannya masuk ke rumah, tapi malah menjauh dari rumah orang tuanya ini.Lalu dia duduk termenung di sebuah bengkel.“Ahh si bunda, punya suami ke 3, nggak ada yang beres, yang pertama bawa kabur duitnya, yang kedua suka selingkuh, yang ketiga ini pemarah, dikit-dikit aku

“Hmm…begitu yaa, jadi kamu luntang lantung karena ingin cari ayah kandungmu itu, yang katanya bekas juara dunia tarung bebas itu...?”“Iya paman, kata ibuku sih begitu, sebab aku juga bosan selalu di marahin ayah tiriku, salah dikit pasti kena marah, makanya aku kabur saja dari rumah,” aku Rayyan, setelah halaman sasana ini selesai ia bersihkan.“Lantas kamu mau kemana lagi?” pria kurus setengah tua ini kembali bertanya, lalu kenalkan diri dengan sebutan Paman Irui.“Nggak tahulah paman, aku juga bingung, ini sudah sasana yang ke 50 aku datangi, semua nggak kenal ayahku, mana fotonya aku juga tak punya lagi!” sahut Rayyan polos.“Hmm…begini saja, daripada kamu luntang lantung nggak jelas, kamu tinggal di sini saja, temani paman bersihkan sasana ini. Paman sudah tua dan sakit-sakitan, sering kena tegur pemilik sasana karena jarang selesai bersihkan tempat lumayan luas ini. Nah siapa tahu dengan kenal para atlet di sini, kelak ada yang kenal ayahmu itu,” kata paman ini bijak, sekaligus b

Agar kisahnya nyambung, karena ini kaitannya dengan Rayyan dan pastinya Salman Sulaimin, kita tinggalkan dulu Rayyan yang kini bersiap menjadi petarung profesional di usia belia.Kita pergi jauh dengan jarak puluhan ribu kilometer dari Jakarta, tepatnya di Suriah, negeri indah yang tak pernah damai lagi semenjak pergantian kekuasaan.Di sebuah desa kecil yang berbatasan dengan Israel, desa yang sering di sebut desa tak bertuan, karena di sini senjata yang bicara bukan mulut.Terlihat seorang anak tanggung berusia 13 tahunan, di tangannya tertenteng sebuah senapan otomatis AK 47.Melihat tubuh jangkungnya yang hampir 165 centimeteran, tak ada yang mengira kalau dia masib bocah, bahkan belum aqil baligh, suaranya masih khas suara anak-anak.Namun biarpun usianya baru 13 tahunan, tak ada yang berani anggap remeh kemampuannya. Di usia belianya, dia terkenal sebagai penembak jitu yang berdarah dingin dan sudah puluhan tentara zionis yang ia kirim ke neraka.Tapi satu hal yang menonjol dari

“Oh jadi kamu yang menolong komandan kami, Brigjen Abbas?” sela rekannya, tanpa ragu dan curiga sedikitpun Rafsanjani langsung mengangguk.“Terima kasih ya dek, kamu sudah menolong beliau, kami ini anak buahnya, baiklah kita tunggu hasilnya, semoga beliau nggak kenapa-kenapa.”Kata orang yang pertama tadi dan berempat mereka duduk di kiri dan kanan Rafsanjani menunggu dokter yang sedang menolong.Melihat gaya mereka yang sopan dan tenang, Rafsanjani ikutan tenang dan tak khawatir.Di ruangan perawatan, bersama 4 orang tadi, Rafsanjani kini menatap pria yang sudah sadar dari pingsannya.Bahunya sudah di perban dan kini dia menatap semuanya dan pastinya ke wajah bocah tanggung ini, yang sudah menolong nyawanya.“Ini pistol milik tuan tadi, sengaja saya simpan.” Rafsanjani pelan-pelan keluarkan pistol ini.Ke 4 anak buah si Jenderal Abbas ini sampai melongo saat Rafsanjani keluarkan pistol milik si jenderal bintang 1 ini, yang bikin mereka kagum, gaya Rafsanjani sangat tenang, seolah bend