Semua Bab Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam: Bab 161 - Bab 170

Setelah kembali dari kediaman Alissa beberapa jam yang lalu, Giselle membujuk Elodie untuk segera tidur. Sedangkan Giselle masih terjaga. Wanita itu membuka jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Dari sana, Giselle menatap ke arah lautan jauh di depan sana. Lampu-lampu kecil terang milik perahu-perahu yang terlihat seperti bintang di atas bumi. Angin yang semilir segara membawa kembali pikiran-pikiran yang tenang untuk Giselle. "Tidak terasa, sudah dua puluh hari aku di sini," ucap Giselle lirih, pandangannya masih tertuju pada pemandangan di luar. Suaranya yang samar, pandangan sayu, dan tubuh kurus kedinginan. Giselle tidak peduli dengan angin malam yang menyapanya. Meskipun keberadaannya untuk sampai bisa di sini karena didorong oleh oleh keadaan yang menyakitinya, tetapi Giselle berusaha untuk tetap tegar. Itu semua, karena Elodie mengatakan dia senang tinggal di tempat ini. Giselle mengerjapkan mata birunya menatap langit malam yang gelap dengan lengkungan seny

Pagi hari di kota Luinz. Suara deringan ponsel di atas nakas kamar terdengar. Gerald yang tengah bersiap, laki-laki dengan balutan tuxedo berwarna navy itu, kini berdiri di dalam ruangan ganti dan tengah arloji mahal di lengan kirinya. Mendengar deringan ponsel yang tidak berhenti selama beberapa detik, Gerald berdecak dibuatnya. "Siapa pagi-pagi buta begini menelfon?" gumamnya sebal. Laki-laki itu berjalan keluar dari dalam ruangan tersebut dan mengambil ponselnya di atas nakas. Kedua mata Gerald melebar sempurna, adanya terasa sangat bergemuruh saat ia melihat nama Giselle yang kini terpampang di layar ponselnya. Wanita itu, benar-benar sedang menghubunginya. Ini semua terasa seperti mimpi! "Giselle!" ucap Gerald terkejut. Gerald langsung menjawab panggilan itu tanpa panjang lebar. "Halo, Giselle ... kau di mana sekarang? Halo…?!" Tidak ada suara apapun di sana. Raut wajah Gerald berubah cemas, jemarinya terkepal kuat saat tidak ada suara apapun di sana. "Gisell

Giselle kembali ke tempat kerjanya setelah kembali dari sekolah Elodie beberapa menit yang lalu. Kedatangan Giselle membuat Alissa langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Loh ... katanya cuti untuk menemani Elodie di sekolah? Kenapa cepat sekali?" tanya Alissa sambil menata coffee latte pesanan seseorang. "Mrs. Hilton memintaku pulang karena Elodie sudah akrab dengan teman-temannya. Elodie juga memintaku pulang saja dan menyuruhku bekerja saja," jawab Giselle sambil terkekeh. Alissa tertawa mendengarnya. "Anakmu memang sangat jujur, ya," ujarnya. "Tapi ... Elodie cukup keren kalau dia tidak menangis. Kalau Rafael, lima hari aku menemaninya di sekolah. Cafe sampai tutup, Robin sedang sibuk di kantor, aku juga tidak punya baby sitter, mau tidak mau mengalah demi anak." "Setidaknya sekarang, dia sudah tidak ditemani lagi," ujar Giselle. Alissa mengangguk dan berjalan mendekati Giselle yang kini tengah menata beberapa roti panas di dalam kaca etalase. "Giselle, kalau

Hari ini menjadi hari tepat ke satu bulan Giselle berada di Lasster. Waktu berjalan dengan cepat, hari demi hari yang Giselle lalui bisa ia rasakan kalau banyak hari yang ceria dan bahagia, tidak seperti saat ia berada di kota Luinz. Pagi ini, Giselle sudah berada di cafe dengan Alissa dan Robin juga yang sedang ada di sana. Mereka tampak sangat sibuk akhir-akhir ini. "Giselle, aku ingin meminta tolong padamu. Besok ada banyak tamu dari luar kota ke sini, semua rekan-rekan atasan Robin akan datang ke sini. Aku juga ikut menyambut mereka. Jadi, kalau misalkan tanggung jawab cafe selama satu hari aku berikan padamu, bagaimana?" tawar Alissa, ia berbicara dengan sedikit sungkan dan tidak enak hati. Pekerjaan di cafe tidak semudah yang dilihat. Banyak yang harus dikerjakan ini dan itu, bahkan harus dimulai sejak petang. Tetapi, keraguan yang sempat dirasakan oleh Alissa seperti ditepis oleh jawaban yang Giselle berikan. Giselle mengangguk tanpa keberatan sama sekali. "Tidak masal

Giselle menatap laki-laki di depannya ini tanpa senyuman sedikitpun. Melainkan rasa takut mencekam yang menyerangnya dengan begitu hebat. Kedua tangan Giselle terkepal kuat meremas rok dress biru yang ia pakai. Laki-laki tampan itu—Dean Wilson, ia mengulurkan tangannya di hadapan Giselle dengan senyuman hangat di bibirnya. Giselle menatap tangan Dean dan menjabatnya. Dean tidak melepaskan tatapannya dari Giselle. "Senang bisa melihatmu lagi di sini, Giselle," ucapnya. Giselle menundukkan kepalanya dan mengangguk. Sebelum ia melepaskan tangan Dean tanpa berkata-kata. Semua orang di sana terdiam menatap mereka. Termasuk Alissa dan Robin yang ikut bingung dan tak percaya. Jadi, orang yang dielu-elukan oleh Robin kemarin ada Dean? Dan seseorang yang membuat Giselle merasa cemas sejak semalam adalah Dean Wilson?! "Tuan Dean Wilson," sapa Robin pada laki-laki itu. "Tuan mengenal teman istri saya?" Dena menoleh pada Robin dan ia tersenyum sebelum melirik ke arah Giselle yang k