Semua Bab Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam: Bab 171 - Bab 180

Setelah acara meeting selesai, semua orang-orang meninggalkan cafe tempat Giselle bekerja. Bahkan Alissa dan Robin juga meninggalkan tempat itu. Saat Giselle keluar dari belakang hendak membersihkan meja di luar sana, wanita cantik berambut sepinggang itu tergemap hingga langkahnya terhenti saat ia melihat seorang laki-laki tampan yang masih setia duduk di sana, seolah-olah sedang menunggunya. Dean menatap Giselle dalam-dalam tanpa berkedip sekalipun. "Kenapa kau belum pergi?" tanya Giselle, ia mendekati Dean. Dean tersenyum tipis. "Aku masih ingin menunggumu," jawabnya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan menarik sebuah kursi di sampingnya. "Duduklah, sudah lama kita tidak bertemu. Aku sangat senang bertemu denganmu saat ini, Giselle..." Giselle merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Mau tidak mau, ia duduk di samping Dean tanpa menatapnya sedikitpun karena takut dan malu yang menjadi satu dalam perasaan Giselle yang kacau. Tetapi lain halnya dengan Dean. Laki-

Hari sudah gelap di kota Lasster. Malam ini, Giselle kedatangan Alissa di rumahnya. Sahabatnya itu datang bersama putra kecilnya untuk bertemu dengannya. Seperti biasa, Alissa ada perlu mendadak hingga membuatnya malam-malam bertemu dengan Giselle. "Kenapa kau datang sendirian, Alissa? Tumben sekali Robin tidak mengantarkanmu?" tanya Giselle sambil meletakkan teko berisi teh susu hangat di atas meja. "Robin sangat sibuk, Giselle. Aku tidak mau mengganggunya, jadi aku ke sini sendiri," ujar Alissa sambil melepaskan jaket tebal yang ia pakai. "Aku ke sini karena ada perlu denganmu." "Hm, ada apa?" Giselle duduk di samping Alissa sambil menyeduh tehnya. "Besok aku dan Robin ada acara keluarga. Jadi, urusan cafe dan florist aku serahkan padamu, tidak apa-apa, kan?" Alissa menatapnya dengan tatapan melas andalannya. Giselle mengembuskan napasnya panjang dan mengangguk. "Iya, Alissa. Tidak apa-apa. Jangan khawatir..." Wanita itu terkekeh. "Nah, kalau begini 'kan aku jadi lega."

Setelah acara makan malam selesai, Dean dan Giselle masih pergi bersama mengajak Elodie jalan-jalan ke sebuah mall besar di kota itu. Elodie sedang menikmati bermain di dalam kawasan game zone. Sedangkan Giselle dan Dean menunggunya di luar. Sejak mendengar tentang Gerald dari Dean saat makan malam tadi, Giselle terlihat murung sejak saat itu. Dan Dean, memahami perasaan Giselle sekarang ini. "Giselle, bolehkah aku meminta nomor ponselmu yang baru?" pinta Dean, laki-laki itu mengulurkan ponselnya dan memberikannya pada Giselle. Giselle menatapnya sejenak dan menggeleng pelan. "Aku sudah tidak memegang ponsel lagi sekarang, Dean," ujarnya. Dean tercengang tak percaya mendengarnya. "Ka-kau sudah tidak memiliki ponsel lagi?" "Heem." Giselle mengangguk. "Setelah aku pergi dari Luinz ke sini, aku memutuskan untuk tidak memegang ponsel lagi. Karena aku enggan dihubungi oleh siapapun, atau mungkin mereka akan melacak keberadaanku. Maka dari itu, aku tidak mau memiliki ponsel la

Di kota Luinz. Gerald sudah mendengar kabar kepulangan Dean dari luar kota sejak pagi tadi. Siang ini, ia sudah menunggu temannya itu untuk membahas kelanjutan proyek mereka. Seperti yang sudah Gerald duga kalau Dean pasti datang tepat waktu. Setelah jam makan siang, sahabatnya itu datang. Tapi kali ini berbeda, entah apa yang membuat Dean tampak sangat bersemangat. "Bagaimana perjalanan bisnismu ke Lasster?" tanya Gerald sambil duduk di hadapan Dean. Dean tersenyum. "Sangat menarik dan menyenangkan. Ada banyak hal yang membuatku betah di sana," jawabnya. Anggukan pelan diberikan oleh Gerald sambil membuka-buka berkas di tangannya. "Ya, memang kota Lasster tempat yang menarik. Pemandangan laut, dan dermaga yang indah. Banyak bunga-bunga Bougenville ungu yang mekar di musim panas seperti sekarang ini di sana," sahut Gerald, ia cukup paham dengan kita itu. "Heem. Intinya ... aku sangat merasa beruntung bisa ke kota Lasster kemarin ini," seru Dean masih dengan wajah bersema

"A-apa? Ka-kau memintaku menunjukkan bekas lu-lukaku?" Wajah Laura menegang saat saat ini, napasnya terasa memendek dan wajahnya pucat pasi ditatap murka oleh Gerald. Bibir Gerald menipis dan ia menatap sini pada Laura. "Tunjukkan padaku, bekas luka operasi donor ginjalmu padaku!" tekannya. Laura tertawa pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ma-maksudmu kau tidak percaya, hah? Kau tidak percaya kalau aku pernah melakukannya padamu?! Apa bukti surat-surat dan tanda tangan rumah sakit yang pernah aku tunjukkan padamu itu masih kurang?!" pekik Laura di hadapan wajah Gerald. "Ya, itu masih kurang," jawab Gerald mencengkeram kuat lengan Laura hingga wanita itu meringis sakit. "Gerald, kau—" "Pergi! Pergi dan jangan tunjukkan wajahmu di hadapanku, Laura! Jangan sekali lagi aku melihat kau mengatur para pelayan di rumahku seenak hatimu! Pergi!" bentak Gerald keras. Laki-laki itu menunjuk ke arah pintu, di mana Sergio berdiri di sana menatap pertengkaran mereka yang selalu