Semua Bab Nona, Tuan CEO Ingin Lebih dari Semalam: Bab 251 - Bab 260

Setelah kembali dari sekolah Elodie, Gerald meminta Sergio untuk menghubungi beberapa orang-orang suruhannya untuk menyelidiki seseorang yang telah meneror Giselle selama beberapa hari ini. Mereka datang dan berkumpul di kediaman Gerald. Dua orang yang datang, mereka adalah orang kepercayaan Gerald yang datang jauh-jauh dari Luinz. "Apa kau sudah melakukan pelacakan pada nomor itu, Hen?" Gerald menatap Hendre dan Rainer. "Sudah Tuan," jawab laki-laki berkulit putih dan berkacamata itu. "Saya dan Rainer sudah melakukan pelacakan sejak Tuan pertama menghubungi saya."Laki-laki dengan balutan sweater berwarna navy itu mengangguk. "Tapi orang itu sangat cerdik, kami tidak menemukan alamat tempat dia berada, karena dia selalu berpindah-pindah." Helaan napas panjang terdengar dari bibir Gerald. Ia mengangguk paham, memang pekerjaan ini tidak mudah, apalagi orang yang menerornya juga pasti jauh lebih cerdik. "Tapi, pastikan kalian berhasil! Mengerti!" seru Sergio. Hendre menoleh dan me

Setelah semalam Gerald meminta Dean datang ke kantornya, pagi ini Dean sudah datang lebih awal di sana dan menunggu Gerald. Dean yang duduk di dalam ruangan Gerald, ia melihat foto keluarga kecil Gerald di sana. Giselle dengan dress putih panjang dan cantik, Gerald dengan tuxedo hitamnya, dan juga Elodie yang tersenyum ceria. Dean meraih foto itu dan ia tersenyum tipis. "Sepertinya, mereka mengambil foto ini saat acara pernikahan mereka yang kedua," gumam Dean. "Giselle ... dia memang sangat cantik." Senyuman terukir di bibir Dean, laki-laki itu memandang ke arah dinding kaca. Cahaya matahari yang terasa hangat masuk ke dalam sana. Dean mengingat, selama beberapa bulan ini ia pergi sengaja menjauh dari Gerald dan Giselle, setelah pertengkaran waktu itu dengan Gerald. Dean mencoba pergi jauh mencari wanita yang bisa membuatnya terpikat, tetapi tidak semudah itu baginya. Lucu sekali, seorang Dean Wilson tergila-gila pada seorang janda, wanita yang kini menjadi istri sahabatnya, da

Giselle terbaring di atas ranjang kamarnya dengan wajah pucat. Dokter baru saja memeriksanya dan meminta Giselle untuk tidak stres dan juga memikirkan hal yang berat-berat. Perutnya yang sakit, tubuhnya yang lemas, itu semua akibat dari pola pikirnya yang kacau. Gerald yang mendengar penjelasan itu dari dokter barusan, ia merasa cemas dengan kondisi istrinya. Apalagi melihat Giselle yang sesekali meringis memegangi perutnya. "Sayang, sudah ... jangan memikirkan hal yang tadi lagi. Semuanya akan baik-baik saja," bisik Gerald, ia menekuk kedua lututnya di samping ranjang sambil mengusap kening Giselle dengan lembut. Wanita itu menangis tanpa suara, ia mengulurkan tangannya dan memeluk leher Gerald. "Aku takut, Gerald ... aku takut!" serunya. "Aku tahu. Aku paham. Tapi ingat kondisi bayi kita, kasihan kalau terjadi sesuatu dengannya, Giselle. Ayolah, Sayang...." Dengan penuh perhatian, Gerald menangkup kedua pipi Giselle dan mengusap air matanya dengan ibu jarinya. Giselle

Pukul setengah dua belas malam, Giselle terbangun dari tidurnya. Wanita itu tidak menemukan siapapun di rumah selain Elodie yang tertidur dengan Bibi Runika di kamarnya."Gerald ke mana? Kenapa tidak ada orang sama sekali?" gumam Giselle sambil berjalan menuruni anak tangga. Wanita itu melihat ruang tamu yang kini penerangannya telah mati, hanya lampu ruangan dengan warna kuning yang bersinar menyinari. "Gerald..." Giselle mencoba memanggil suaminya. Pandangan Giselle tertuju ke arah meja di ruang tengah. Ia melihat tumpukan berkas di sana, laptop milik Gerald dan Sergio, juga ponsel milik Giselle yang biasanya selalu di bawa oleh Gerald, kini tergeletak di atas meja. "Ponselnya ada, tapi orang-orangnya ke mana? Hemm, mereka juga tidak berpamitan." Giselle menatap ponsel miliknya di atas meja. Ia meraih benda pipih itu dan menyalakannya. Deretan pesan-pesan masuk dari sebuah nomor membuat detak jantung Giselle berdebar-debar hebat. Pesan yang dikirim sekitar dua hingga tiga jam

Bayinya tidak bernyawa lagi. Kata-kata itu terngiang di kepala Gerald saat ini. Tidak ada yang bisa ia ucapkan selain suara tangis yang begitu lirih di bibirnya. Bila dunia bertanya siapakah yang bersalah di sini, Gerald mungkin akan maju tanpa berkata-kata lagi. Tidak bisa ia bayangkan, betapa marahnya Giselle padanya nanti, dan juga Elodie yang sudah lama mengharap kehadiran seorang adik. "Tuan..." Dokter mendekati Gerald. "Tuan, kami butuh tanda tangan Tuan untuk prosedur sebelum operasi dilakukan. Bisakah Tuan melaksanakan sekarang?"Gerald mengangguk. "Baiklah," jawabnya dengan suara berat. "Mari ikut dengan saya," ajak dokter itu. "Nyonya akan dipindahkan ke ruangan operasi sebentar lagi. Setelah Tuan mengisi semua berkas-berkasnya, Tuan bisa langsung menunggu di depan ruangan operasi." "Iya dok, tolong lakukan yang terbaik untuk istri saya...." "Pasti Tuan," jawab dokter perempuan itu. Gerald pun bergegas mengurusi semua surat-surat rumah sakit milik Giselle. Di depan l