Semua Bab Cinta Diam-Diam Sang Bos: Bab 221 - Bab 230

Sudut pandang HeruMenurutku, yang paling praktis adalah langsung ke mal, soalnya di sana aku bisa cari semua yang aku butuhin sekaligus. Aku ke toko barang-barang rohani dulu, biar cepat, dan aku juga nggak mau kelihatan kayak orang nggak tahu diri yang masuk toko religius sambil bawa-bawa barang dewasa.Begitu masuk, aku lihat cuma ada satu pegawai yang lagi ngobrol sama seorang perempuan muda. Aku pun mendekat sambil kirim pesan ke Hana, kabarin kalau aku lagi belikan dia hadiah kecil.Aku langsung bicara ke intinya pada pegawainya. Aku nggak mau buang waktu. Lagian dia bisa lanjut ngobrol sama perempuan itu nanti. Tapi si perempuan malah sok pintar, dan ujung-ujungnya kami jadi berdebat soal siapa yang harus dilayani duluan. Nyebelin banget.Aku sudah nggak sabaran waktu akhirnya aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Tapi begitu lihat perempuan di depanku, aku harus nahan diri banget supaya nggak langsung minta nomor dia. Dia cantik banget. Seorang yang berambut hitam yang

Sudut pandang Sekar."Aduh, Bu, aku sedih banget nggak bisa ikut ke ulang tahun Nenek," kataku ke Ibu waktu kami lagi makan siang di mal."Aku tahu, Sayang. Tapi dia pasti suka sama hadiah dari kamu. Dan kamu kan harus kerja. Tanggung jawab itu selalu nomor satu, Sekar," jawab Ibu sambil tersenyum lembut.Ibuku itu wanita yang sangat kuat. Dia membesarkanku sendirian. Ayahku nggak pernah mau ambil tanggung jawab. Sesekali dia muncul dengan alasan mau ketemu aku, padahal sebenarnya cuma mau bikin Ibu kesal. Jadi, setelah aku genap delapan belas, aku mulai menjaga jarak darinya. Aku nggak butuh sosok ayah yang cuma datang ketika dia mau bikin keributan. Buatku, jelas banget kalau dia nggak benar-benar peduli sama anak perempuannya ini."Bu, Ibu bakal di sana berapa lama?""Seminggu. Ibu ambil cuti beberapa hari, sekalian mau benar-benar menikmati. Kadang Ibu juga pengin dimanja ibu," katanya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum juga."Kamu bakal baik-baik aja, kan?""Ya, Bu, aku akan ba

Sudut pandang Heru.Sudah lewat jam tujuh malam hari Jumat waktu Minda akhirnya memutuskan buat lepasin aku pulang."Apa? Kamu kasih aku pulang cepat lagi hari ini?" tanyaku sambil senyum."Aku sebenarnya bisa aja tinggalin kerjaan buat kamu, tapi aku juga mau pergi. Minggu ini capek banget, kamu tuh ribet banget, tahu nggak.""Nggak, jangan kasih tugas lagi, tolong. Aku juga capek. Tapi aku pengin bilang makasih.""Oh ya?" Minda nyandar ke kursinya dengan senyum puas kayak kucing habis tangkap tikus."Iya. Aku mungkin bakal nyesel ngomong ini, tapi aku jujur aja, kamu bikin aku balik lagi ke realita. Aku sempat lalai sama perusahaanku sendiri, dan kamu bantu aku balik ke jalur yang benar. Makasih.""Kan aku sudah bilang kamu butuh aku!" Senyumnya makin lebar. "Karena kamu sudah ngaku, aku kasih kamu libur akhir pekan. Tapi jangan berani-berani datang ke kantor hari Senin dalam keadaan mabuk, ya.""Aku janji nggak akan!" jawabku sambil angkat tangan kayak sumpah.Minda kumpulin barang

Sudut pandang Heru.Sepanjang hari Minggu, pikiranku dipenuhi oleh si dewi berkulit eksotis itu. Aku sempat kepikiran untuk datang ke tokonya, tapi mendekati dia saat kerja mungkin bukan ide bagus. Jadi aku punya rencana lain. Saat makan siang di rumah kakakku tadi, dia cerita gimana suaminya dulu berhasil menaklukkan hatinya. Mereka ketemu waktu SMA, dan suaminya rutin kirimkan catatan kecil berisi gombalan lewat temannya, bahkan sebelum mereka benar-benar saling kenal. Karena lucu, kakakku jadi tertarik dan akhirnya memberi dia kesempatan.Boleh juga. Aku akan pakai cara kuno itu. Aku ambil ponsel dan menelepon keponakanku, yang menjawab dengan suara setengah ngantuk."Halo, Om. Ada apa?""Maaf, Enzo. Om lupa kamu tidur awal," kataku sambil melirik jam yang sudah lewat sebelas malam."Aku sekolah besok, lho!""Iya, iya, Om tahu. Tapi Om butuh bantuan kamu minggu ini.""Kamu tahu aku pasti bantu. Mau apa?""Om bakal kirim sopir buat jemput kamu dari sekolah. Nanti Om kasih tahu Ibu

Sudut pandang Sekar.Sepanjang minggu, aku terus-terusan terima catatan kecil dari si ganteng nggak peka itu tiap awal sore. Padahal tadinya aku pikir aku nggak bakal pernah ketemu cowok itu lagi seumur hidup.Dia kirim banyak godaan yang nggak senonoh, tapi mukanya belum pernah muncul juga di toko. Selalu keponakannya, Enzo, yang antarkan catatan-catatan itu, dan di hari pertama, aku langsung tekan dia sampai akhirnya dia ngaku kalau pamannya yang suruh, terus tunjukin foto. Dari situ aku tahu kalau catatan-catatan itu dari si ganteng itu.Si ganteng itu lagi deketin aku. Aku pengin lihat berapa lama dia bakal butuh buat muncul di toko, tapi aku juga lumayan senang dengan catatan-catatan kecil itu. Enzo anaknya manis banget, sampai akhirnya dia malah minta saran ke aku soal gimana cara buat pacarnya senang. Sebagai gantinya, dia janji nggak bakal bilang ke pamannya kalau aku tahu siapa pengirim catatan itu. Dia datang ke toko, kasih semua catatan hari itu ke aku, dan aku bakal balas