Irene kembali duduk di kursinya, posturnya tetap tegak, menjaga wibawa di tengah gemuruh emosi yang berkecamuk di dalam. Tangannya menggenggam halus taplak meja, matanya mengikuti langkah Khailas dan Lura yang perlahan menjauh, dikelilingi oleh lingkaran kekaguman yang seolah tidak terputus. Tak satupun tamu di ruangan itu bisa mengalihkan pandangan dari mereka. Dan Irene pun, meski menyadari kenyataan yang telah berlangsung, tidak bisa memaksa dirinya untuk tidak menatap punggung pria yang ia perjuangkan dalam diam.Sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan tenang. Kakak laki-lakinya, pria dengan wajah tegas dan mata yang penuh pengertian, mencondongkan tubuh sedikit, memberi isyarat bahwa ia ada di sana, selalu ada, bahkan ketika Irene tidak meminta.Irene menoleh, lalu tersenyum kecil. Senyum itu bukan senyum kemenangan, bukan pula senyum penuh luka. Hanya semacam tanda bahwa ia masih bisa bernafas, masih bisa berdiri, meski dalam hati ada bagian yang runtuh perlahan. Ia mengangguk
Last Updated : 2025-08-09 Read more