Lura berdiri tegak di atas panggung megah itu seperti seorang ratu yang tidak datang untuk dimahkotai, melainkan untuk mengukuhkan kekuasaannya. Bahunya sejajar, tubuhnya lurus, dan tidak sedikit pun terlihat goyah. Cahaya lembut yang memantul dari kristal di atas kepalanya menciptakan semacam aura tak kasat mata yang membalut seluruh keberadaannya. Ia tidak tersenyum, tapi wajahnya memancarkan kekuatan. Tatapannya tenang, nyaris dingin, dan di balik ketenangan itu ada keyakinan mutlak…. malam ini, ia siap dikenalkan kepada dunia. Bukan sebagai bayangan, bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai inti dari kekuasaan itu sendiri.Seluruh tamu undangan memandang ke arahnya. Beberapa terkesima, beberapa lain terpaku, sisanya mulai berbisik-bisik satu sama lain. Tapi tak satupun dari mereka bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita ini bukan sekadar cantik atau elegan, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan tajam dari itu. Keberadaannya menantang. Diamnya menusuk. Diam-diam, bahwa dibalik wajah i
Perlahan, cahaya lampu panggung mulai meredup, menciptakan siluet lembut di balik tirai megah berwarna midnight blue yang menjulang dari langit-langit ballroom hingga menyapu lantai. Semua percakapan terhenti. Denting gelas champagne diredam. Kamera-kamera para jurnalis resmi mulai siaga dalam diam. Sorotan cahaya satu titik mulai menyala di tengah panggung, membentuk lingkaran cahaya suci seperti altar kekuasaan.Dan ketika tirai itu akhirnya terbuka perlahan, suara napas para tamu terdengar jelas. Yang muncul pertama bukanlah siapa pun yang mereka duga, bukan Khailas Danadyaksa, bukan wanita misterius yang ditunggu-tunggu, melainkan sosok yang lebih tua, lebih mengakar, lebih dalam daripada semua nama besar yang hadir malam itu.Tuan Besar Danadyaksa.Pria legendaris yang memulai imperium ini dari generasi terdahulu. Dialah sang pilar. Sang bayangan yang selama puluhan tahun menjadi tangan dalam bayangan Khailas. Meski usianya telah menginjak senja, langkahnya tetap gagah, mantap, d
Ballroom utama hotel The Aureum, salah satu properti termewah di bawah atap kekaisaran bisnis DGroup, malam itu bersinar seperti istana dalam dongeng. Langit-langitnya yang menjulang dihiasi ukiran bergaya Baroque dengan emas murni berkilauan di setiap lekuknya. Lampu kristal besar yang tergantung megah memantulkan cahaya temaram ke seluruh ruangan, menghadirkan atmosfer klasik yang tidak hanya mewah, tapi juga berkelas, seolah waktu membeku di abad ke-18 namun dengan kemewahan abad ke-21.Malam ini, tak ada kata yang cukup mampu menggambarkan bagaimana segala sesuatu ditata dengan ketelitian surgawi. Permadani merah anggur melapisi setiap langkah, meja-meja bundar dibungkus kain satin gading, dengan bunga mawar putih dan hitam sebagai centerpiece yang elegan. Champagne kelas dunia mengalir dari air mancur kristal, diiringi lantunan orkestra yang memainkan musik klasik modern, menciptakan suasana agung namun tidak berlebihan.Tapi yang paling memikat bukan hanya ballroom-nya. Melainka
Pintu rumah kontrakan itu menutup dengan suara berderak pelan, disusul gemuruh langkah sepatu hak tinggi yang kelelahan menapaki ubin dingin dan retak. Rumah itu sempit, sumpek, dan jauh dari kemewahan yang dulu menjadi standar hidup Jelita. Dindingnya mengelupas, catnya pudar, dan suara tikus kerap terdengar dari balik plafon.Jelita mendesah panjang sambil melempar tas lusuhnya ke sofa reyot yang penuh tambalan. Ia baru saja kembali dari pertemuan gelap dengan seseorang yang menjanjikan ‘kesempatan’, meski itu berarti menjual sebagian besar martabatnya.Namun langkahnya terhenti ketika ibunya, seorang wanita paruh baya dengan rambut beruban yang ditata seadanya, datang tergopoh-gopoh dari arah dapur kecil. Tangannya memegang sebuah amplop mengkilap berwarna emas gelap, terlihat mencolok di tengah perabot murahan rumah kontrakan itu.“Sayang, lihat ini!” serunya penuh semangat, menggenggam tangan Jelita erat seolah ingin berbagi kebahagiaan yang langka. “Undangan! Undangan eksklusif!
Berita utama pagi itu menghentak seluruh kanal berita nasional dan internasional. Judulnya mencolok, dicetak tebal dengan font terbesar yang pernah digunakan dalam sejarah media bisnis:“Danadyaksa Akan Memperkenalkan Nyonya Muda di Ulang Tahun Emas DGroup”Dalam waktu kurang dari dua jam sejak berita itu dirilis oleh media resmi milik DGroup sendiri, dunia seakan berguncang. Seluruh jaringan berita berebut menayangkannya secara eksklusif. Tayangan berulang memuat logo DGroup yang mengkilap emas, menampilkan kilasan momen-momen kejayaan perusahaan, gedung-gedung tinggi di berbagai kota besar dunia, laboratorium mutakhir, pusat riset teknologi, hingga pertemuan tertutup para pemimpin negara dengan sang pendiri, Khailas Danadyaksa.Namun bukan itu yang membuat publik gempar.Yang membuat berita ini meledak tak terkendali adalah satu kalimat resmi dari siaran pers:‘Untuk pertama kalinya, dalam usia seratus tahun DGroup berdiri, Tuan Khailas Danadyaksa akan memperkenalkan Nyonya Muda Dan
Gerakan tangan Lura terhenti di atas meja makan berlapis linen putih. Ia meletakkan sendok dengan sangat hati-hati ke sisi piring porselen yang masih hangat oleh sentuhan sup saffron. Suasana makan malam mereka, yang sejak awal sudah terasa sunyi namun tenang, kini berubah hening dalam cara yang lain. Bukan lagi tenang, melainkan mendebarkan. Suara Khailas barusan seperti menggemakan sesuatu yang terlalu besar untuk langsung dicerna.Lura mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya terpaku pada pria yang duduk di seberangnya, Khailas, lelaki yang selama ini berdiri di balik layar hidupnya, seperti bayangan yang melindungi sekaligus membentuk dirinya. Dan kini, bayangan itu berbicara tentang terang. Terang yang terlalu silau untuk langsung dipercaya.“Ulangi,” bisik Lura, setenang mungkin. Tapi gemetar suaranya tak bisa disembunyikan. “Apa yang tadi kau katakan?”Khailas menatapnya dalam. Penuh makna. Tidak tergesa.“Sudah saatnya kita mengumumkan pernikahan,” ucapnya lagi, kali ini lebih