Lura menerima tawaran kesepakatan dari Khailash guna membalas dendam atas pengkhianatan calon suami dan adiknya. Kesepakatan tersebut berupa pernikahan rahasia. Khailash melakukannya bukan tanpa alasan, ingin membuktikan pada sang kakek kalau dia bukan gay. Dan kenapa memilih Lura? Selain menyaksikan sendiri keterpurukan Lura yang di sebabkan orang terdekat, dia menganggap Lura wanita yang tepat. Selain cantik dan menarik, tentu karena Lura bukan wanita yang mudah luluh dan terpesona pada pria kaya sepertinya. Seiring berjalannya waktu, kesepakatan berubah menjadi benih-benih cinta di hati Lura. Sementara hati Khailash seolah sangat jauh untuk dijangkau. Apakah Lura mampu membuat Khailash jatuh cinta padanya? Terlebih setelah tahu masa lalu Khailash sangat kelam, rumit, misterius dan menyakitkan. Mungkinkah sifat dingin Khailash terbentuk karena tragedi itu?
Lihat lebih banyak“Kau benar-benar tahu cara memuaskanku. Tidak seperti kakakmu, Jelita.”
Jelita menoleh, tersenyum penuh kepuasan. “Aku merasa tersanjung. Aku senang memuaskanmu.”
“Dia terlalu lemah. Bahkan untuk urusan ranjang, ia masih meminta menunggu hingga pernikahan. Aku pria, bukan pertapa.”
Tawa lirih keluar dari bibir Jelita. Ia menyandarkan tubuh polosnya ke dada Danu, membiarkan selimut melorot perlahan. “Aku tahu. Sejak tadi pun kau sudah membuktikannya.”
Danu menyeringai tipis. “Karena itu, aku memilih wanita yang tahu cara memanjakan pria.”
Tiba-tiba terdengar suara keras—bruk!—pintu kamar hotel terbuka begitu saja.
Keduanya serentak menoleh. Di ambang pintu, Lura berdiri mematung. Bola matanya membelalak. Nafasnya terengah. Tatapannya jatuh pada dua sosok di ranjang, hanya tertutup selimut. Tunangannya. Dan adik kandungnya.
“Apa yang kalian…? Jelita?” Suaranya nyaris pecah.
Jelita buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya, pura-pura takut dan merasa bersalah.
Lura menatap Danu, suaranya bergetar hebat. “Kau tunanganku. Apa yang sedang kau lakukan?!”
Danu hanya terdiam sesaat sebelum tersenyum sinis. Tidak tampak penyesalan sedikit pun di wajahnya.
“Kau datang di waktu yang kurang tepat,” katanya datar. “Bukan salahku kau melihat semua ini, sayang.
“Selama ini kalian telah…?”
“Sudah cukup lama,” jawab Danu dingin. “Jelita memberiku sesuatu yang kau tolak habis-habisan.”
Lura memandangi adiknya dengan luka yang sulit dilukiskan. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Kau bukan hanya merusak pertunanganku… kau menghancurkan hidupku.”
Danu duduk lebih tegak, selimut hanya menutupi bagian bawah tubuhnya. Ekspresinya tak berubah, tetap tenang.
Lura melangkah maju, matanya merah, tubuhnya bergetar hebat. Dia menjerit histeris. “Dasar brengsek! Kau bajingan tak tahu diri!”
Danu tidak bergeming. Bahkan ekspresinya tetap tenang, seolah tidak merasa bersalah sedikitpun.
“Kau pria hina! Bertahun-tahun aku mencintaimu! Aku pikir kau juga mencintaiku!” Suaranya pecah, dada naik turun menahan amarah dan luka yang tumpah sekaligus.
Danu justru menghela napas malas. “Aku mencintaimu, tapi kau terlalu naif, Lura. Terlalu polos untuk dunia nyata.”
Ada jeda sesaat, sebelum Danu melanjutkan, “Jika saja kau bersedia memberi sedikit keleluasaan selama hubungan kita,” Danu menatapnya tajam, “mungkin aku tidak perlu mencari pelampiasan di tempat lain.”
Lura menahan napas. “Karena aku tidak menyerahkan tubuhku, kau mengkhianatiku?”
Danu menoleh ke arah ranjang. Jelita masih memeluk selimut erat-erat.
“Lihat adikmu itu,” lanjut Danu. “Dia tahu apa yang dibutuhkan seorang pria. Dia tidak bersembunyi di balik nilai moral palsu.”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Danu. Suaranya menggema di dalam kamar.
Danu menoleh perlahan, wajahnya memerah di satu sisi. Tatapannya tidak marah, justru mengejek.
“Lega?” tanyanya pelan. “Atau kau ingin menamparku lagi karena kau gagal jadi wanita yang dibutuhkan kekasihmu?”
Lura terdiam. Tangannya masih tergenggam kencang, tubuhnya gemetar antara ingin menjerit atau menangis sejadi-jadinya.
Lura mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke wajah Danu. “Aku akan membatalkan pernikahan ini!” serunya lantang. “Apa pun risikonya, aku tidak akan menikahi pria sebusuk kau!”
Danu hanya tertawa kecil. Ia mengelus pipi yang tadi ditampar, lalu menatap Lura penuh ejekan. “Pernikahan tetap akan berlangsung sesuai rencana.”
“Omong kosong!”
“Tidak ada yang perlu dibatalkan, Sayang,” ujar Danu santai. “Kita tetap akan menikah. Kejadian malam ini… itu tidak cukup kuat untuk menghentikan segalanya.”
“Gila kau!” Lura memekik marah. “Kau benar-benar gila!”
“Tidak ada gunanya kau mengamuk seperti ini.” Danu mendekat, menatap Lura dengan nada datar. “Tak ada yang berubah. Ingat baik-baik, pernikahan ini sangat menentukan masa depan keluargamu.”
Lura terdiam sejenak, napasnya tersengal karena emosi yang tak tertahan. Matanya menatap Danu, lalu berpindah ke arah Jelita yang masih membungkus dirinya dengan selimut.
“Kalian…” Lura menunjuk keduanya satu per satu dengan tangan bergetar. “Silahkan menikah. Kalian pantas untuk satu sama lain. Sama-sama hina.”
Danu mencengkeram pergelangannya kuat hingga Lura meringis. “Aku hanya akan menikah denganmu. Camkan itu.”
“Lepaskan aku!” teriak Lura, mencoba menarik diri.
Danu semakin mendekat, tatapannya tajam, dingin. “Kau Tidak ada yang bisa kau batalkan.”
Lura menatapnya penuh benci. “Sinting!”
“Aku serius.” Suara Danu terdengar rendah tapi mengancam. “Kau tidak akan bisa membatalkan pernikahan.”
Lura tertawa miris. Air matanya jatuh, tapi senyum sinis terbit di sudut bibirnya. “Kau sudah menghancurkan semuanya, Danu! Kau robek hatiku tanpa ampun. Dan kau pikir aku akan tetap tunduk?”
Danu diam. Genggamannya masih erat.
“Aku tidak akan pernah sudi hidup dengan pria sejahat kau,” lanjut Lura lirih, namun tajam. “Lebih baik aku jatuh di jurang daripada menikah denganmu!”
“Kau tidak punya pilihan lain.”
“Aku punya.” Lura menatapnya tanpa gentar. “Dan aku akan membuktikannya. Aku akan batalkan pernikahan ini. Apapun caranya.”
Danu mempererat cengkramannya, namun Lura balas menatap dengan sorot membara—penuh luka, namun tak sudi dikalahkan.
Lura kembali meronta. “Lepaskan aku! Kau tidak berhak menyentuhku!”
Namun Danu tetap mencengkeram pergelangannya, lebih keras dari sebelumnya.
“Asistenku akan segera datang,” ucap Danu datar. “Ia akan mengantarmu pulang. Anggap saja kau tidak pernah melihat apa pun di sini. Maka semuanya akan jauh lebih mudah untuk kita semua.”
Lura membelalak. “Kau pikir aku bisa menelan semua ini?!”
Ia meronta lebih keras. Kali ini, dengan segenap tenaga, ia berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Danu.
“Tidak akan pernah!” jeritnya parau, suara nyaris serak. “Pernikahan itu tidak akan pernah terjadi! Tidak sekarang! Tidak besok! Tidak selamanya!”
Danu mematung. Sorot matanya menggelap.
“Sudah kubilang, kau tidak bisa melakukan apapun,” desisnya.
“Kau salah besar.” Nafas Lura memburu. “Kali ini kau tidak akan bisa mengendalikan apa pun. Aku tidak akan tinggal diam. Mengenai keluargaku, jika itu yang kau pikirkan, nikahi saja Jelita!”
Ia menunjuk adiknya yang masih diam membeku di ranjang, tertunduk tanpa suara.
“Kau dan dia, sama menjijikkannya.”
Danu mengepal tangannya. “Jaga ucapanmu.”
“Aku tidak peduli!” Lura menatapnya tajam. “Aku tidak akan pernah sudi menyentuh laki-laki yang sudah menyentuh adikku. Tidak peduli seberapa penting pernikahan ini bagi keluargaku.”
Suaranya melemah, namun sorot matanya tetap kuat. “Fakta itu… sudah cukup menghancurkan aku.”
Lura berdiri tegar, meski tubuhnya masih gemetar karena luka dan amarah yang mengoyak.
Lura menatap keduanya untuk terakhir kali. Matanya basah, tapi tatapannya tak lagi gemetar—melainkan tajam seperti belati yang menusuk diam-diam.
“Aku tidak pernah menyangka kalian bisa sehina ini,” ucapnya lirih, nyaris berbisik, namun mengandung luka yang dalam. “Bahkan binatang pun masih tahu batas. Kalian… lebih binatang daripada binatang itu sendiri.”
“Cukup, Lura!” bentak Danu, suaranya membelah udara.
Namun Lura tidak gentar. Ia tidak menoleh lagi, tidak menghiraukan bentakan.
Dengan langkah gemetar namun mantap, ia meninggalkan kamar hotel itu—ruang yang seharusnya menjadi kamar pengantinnya dalam hitungan jam.
Tangisnya pecah sesaat setelah menutup pintu. Ia berjalan di lorong hotel yang sunyi, membiarkan air matanya jatuh tanpa malu, membawa luka yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
Dan di balik pintu yang kini tertutup, tidak ada satu pun suara yang menyusul.
Hanya keheningan yang tersisa. Dan kehancuran yang telah terjadi.
Lura menghela napas berat. Pundaknya sedikit turun, dan wajahnya tampak menegang. Ia duduk dengan lutut rapat di atas sofa panjang ruang kerja kakek, sementara cahaya matahari sore menyusup lembut lewat kisi-kisi jendela. Tangannya menggenggam secangkir teh yang sudah lama tak disentuh. Ia menunduk, seolah tengah merangkai kata yang tepat agar tidak terdengar lancang.“Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Kek,” ucap Lura akhirnya, suaranya pelan dan penuh kehati-hatian. “Aku tahu ini mungkin bukan hal yang pantas untuk dibicarakan… terutama dengannya… atau bahkan kepada Kakek. Tapi aku… aku merasa tak tenang jika tidak mencari tahu.”Tuan besar, lelaki tua yang masih tegap dengan rambut perak dan sorot mata tajam namun penuh kasih, memutar sedikit tubuhnya agar menghadap cucu mantunya itu. Ia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Lura lekat-lekat, mencoba menyelami kegelisahan yang bersembunyi di balik mata bening itu. Sejenak, ia menarik napas panjang, lalu berkata lembut,“Ap
Khailas tidak langsung menjawab. Ia menatap Lura lama sekali, seakan menyelam jauh ke dalam mata gadis itu, mengupas lapis-lapis perasaannya yang belum sepenuhnya terucap. Angin malam menggerakkan helaian rambut Lura yang berantakan karena angin balkon, dan tanpa berkata apa-apa, Khailas menyelipkan satu helainya ke balik telinga gadis itu. Gerakan lembut itu justru membuat jantung Lura berdentam semakin keras.Ia menunggu. Menunggu dengan degup yang makin liar. Karena ia tahu, jawaban Khailas akan menentukan segalanya malam ini.Akhirnya, Khailas membuka suara.“Apa cinta penting bagimu?”Pertanyaan itu sederhana. Tapi Lura merasa seperti dihadapkan pada jurang yang belum ia kenali dalam dirinya sendiri. Ia belum sempat menjawab ketika Khailas melanjutkan dengan pertanyaan lain.“Apa pasangan harus saling mencintai, baru bisa hidup bersama?”Lura masih diam. Tatapannya masih mencari ke dalam sorot mata pria di hadapannya. Ia ingin tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi ia juga tidak
Lura kembali duduk perlahan, mencoba mengendalikan gemuruh di dadanya. Irene sempat tampak terkejut, mungkin karena tak menyangka Lura akan tetap kembali ke kursi itu setelah percakapan yang membuat udara di antara mereka terasa sesak. Namun reaksi Irene tak berlangsung lama. Ia kembali meneguk teh yang tinggal seperempat cangkir, lalu meletakkannya perlahan di atas tatakan, berusaha tenang.Tapi Lura tahu, ketenangan itu hanya lapisan luar. Tatapan Irene menyiratkan kegelisahan dan kesedihan yang tak bisa ditutupi. Sebagai perempuan, Lura cukup peka untuk membaca isyarat halus dari sorot mata dan cara seseorang memegang gelas terlalu erat.“Aku minta maaf kalau ini terlalu lancang,” ucap Lura, pelan namun mantap. “Tapi… kenapa kalian berpisah? Aku bisa menebak hubungan kalian cukup dalam. Cukup lama. Dan mungkin sangat berarti.”Irene menatapnya. Tak ada amarah di wajahnya, hanya sorot ragu yang menimbang apakah ia siap membuka luka lama di hadapan Lura, perempuan yang kini, secara t
Pemberitaan tentang Jelita kini seperti badai yang tak kunjung reda. Setiap hari wajahnya menghiasi layar kaca, media digital, hingga majalah gosip mingguan. Di televisi, nama Jelita disebut nyaris dalam setiap segmen infotainment. Sementara dunia maya tak kalah bising, trending topic, kolom komentar, bahkan akun-akun gosip khusus membahas kejatuhannya. Dan yang paling menyakitkan adalah, semuanya seperti bersekongkol untuk menguliti hidupnya hingga ke tulang-belulang.Lura menatap layar televisi yang menyala tanpa suara. Di sudut kanan bawah layar, wajah Jelita terpampang besar dengan headline menyakitkan, “Model Papan Atas Tersandung Skandal… Jelita dan Masa Lalu Keluarga yang Kelam.” Gambar-gambar lama Jelita muncul bersamaan dengan potongan video pendek yang entah dari mana bocornya, memperlihatkan gaya hidup mewah, pesta eksklusif, dan kalimat-kalimat arogan yang dulu dengan bangga ia ucapkan.Lura mendesah pelan, lalu bersandar di sofa dengan bantal kecil dipeluk erat di perutny
Lura menatap ponselnya yang kembali menyala, sebuah notifikasi pesan baru dari Irene muncul di layar. Kali ini hanya satu kalimat pendek: “Lura, aku putuskan lebih baik kita bicara langsung.”Lura membaca ulang kalimat itu, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang semakin tak teratur. Pesan itu menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apa yang begitu penting hingga Irene tak bisa menyampaikannya lewat pesan atau telepon? Apa yang membuatnya terdengar begitu mendesak, seolah waktu tak bisa menunggu?Jari-jari Lura menggenggam ponsel lebih erat. Ia masih menatap layar yang perlahan meredup, lalu padam. Matanya tidak berkedip, seolah dari sana ia berharap mendapatkan petunjuk. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi firasat. Firasat yang entah baik atau buruk namun cukup kuat untuk membuat tubuhnya menggigil ringan.Dan saat itu juga, suara langkah pelan terdengar mendekat.Pintu kamar terbuka perlahan. Khailas melangkah masuk dengan jas masih melekat ra
Lura duduk bersandar di ranjang empuk kamar rawat inapnya. Jendela terbuka lebar, membiarkan cahaya matahari pagi menyelinap masuk bersama angin yang lembut, menggerakkan tirai putih tipis seolah sedang menari. Di hadapannya, televisi menyala dalam mode diam, namun ada teks berjalan dan headline yang cukup jelas untuk dibaca.“Jelita Resmi Didepak dari Lima Majalah Fashion Internasional. Karier Supermodel Tanah Air Resmi Runtuh.”Lura menatap layar itu tanpa ekspresi. Di layar muncul potongan video Jelita yang terlihat lelah, wajahnya sembab, menolak menjawab pertanyaan wartawan. Di bawah tayangan, cuplikan lain menunjukkan rumah masa kecil mereka disita, halaman luas yang dulu tempat ia bermain dengan sang ibu kini dipasangi garis pembatas, dengan tulisan “Aset Dalam Sengketa.”Hening.Satu-satunya suara yang terdengar di kamar hanya hembusan AC dan detak pelan mesin infus di sampingnya.Tak ada setitik pun rasa iba di hati Lura untuk Jelita. Perempuan itu sudah terlalu jauh menyeret
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen