All Chapters of Pernikahan Bisnis Dua CEO: Chapter 81 - Chapter 90

Gerald menyandarkan tubuhnya ke sofa, sikunya bertumpu santai di sandaran. Tatapannya menelusuri wajah Elena yang masih tampak sedikit canggung, rambutnya yang basah mulai mengering alami, meninggalkan aroma segar sabun mandi yang samar terbawa angin dari jendela yang terbuka.“Apa rencanamu hari ini?” suara Gerald dalam, tenang, namun ada nada ingin tahu yang tulus.Elena yang sedang merapikan ujung bantal di pangkuannya mengerjap, sedikit terkejut ditanya begitu langsung. “Rencana?” ulangnya, seolah perlu waktu mencerna.“Ya.” Gerald memiringkan kepalanya, matanya tidak lepas darinya. “Hari ini kan weekend. Tidak ada kerjaan. Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat? Jalan-jalan? Atau…” ia tersenyum samar, “…sekadar keluar sebentar dari rutinitas rumah.”Elena menggeleng pelan, jemarinya bermain di tepi kain bantal. “Aku belum terpikir. Biasanya… aku hanya membaca buku, atau merapikan kamar.”Gerald mengangguk, menyunggingkan senyum samar yang selalu berhasil membuat Elena salah tingkah

Cahaya matahari sore masuk menembus celah tirai, membentuk garis-garis lembut di dinding ruang keluarga. Udara di dalam apartemen terasa tenang, hanya diisi dengan bunyi kipas angin kecil yang berputar pelan dan detak jam dinding yang konsisten.Gerald membuka matanya perlahan. Untuk sesaat, ia tidak bergerak sama sekali—ia bahkan tidak langsung menyadari bahwa dirinya baru saja tertidur di sofa. Tubuhnya terasa hangat, nyaman, dan ada sesuatu yang lembut menempel di dadanya. Saat matanya benar-benar terbuka, pandangannya jatuh pada Elena.Perempuan itu masih terlelap, wajahnya tenang, seakan tidak ada beban yang mengganggu tidurnya. Rambutnya terurai sebagian di dada Gerald, sebagian lain jatuh ke bantal kecil yang terjepit di sisi sofa. Napasnya dalam, teratur, dengan bibir yang sedikit terbuka.Gerald terdiam, matanya tidak bisa berpaling. Ia tidak ingat kapan terakhir kali melihat seseorang tidur dengan begitu damai. Bahkan dirinya sendiri, di kamar paling mewah sekalipun, tidak p

Malam perlahan turun. Tirai kamar hanya ditarik sebagian, membiarkan cahaya temaram lampu jalan di luar menyusup lembut ke dalam ruangan. Elena duduk di tepi ranjang dengan piyama tipis berwarna pastel, rambutnya tergerai rapi setelah ia menyisir pelan-pelan. Di meja nakas, sebuah lampu kecil menyala, memantulkan cahaya hangat yang membuat suasana kamar begitu intim.Gerald baru saja selesai menaruh ponselnya di meja kerja kecil di pojok ruangan. Ia berbalik, menatap Elena yang tampak canggung, seolah belum sepenuhnya terbiasa dengan kenyataan bahwa mereka kini benar-benar berbagi kamar tidur.“Kenapa duduknya di ujung begitu?” tanya Gerald sambil berjalan pelan ke arahnya. “Kasurnya kan luas. Kamu tidak perlu takut aku akan mengusir kalau kamu mendekat.”Elena mendengus kecil, lalu berpaling. “Aku tidak takut kamu mengusir. Aku hanya… nyaman di sini.”Gerald terkekeh, lalu berhenti tepat di hadapannya. Ia menunduk sedikit, membuat wajahnya sejajar dengan Elena. “Nyaman jauh dariku? W

Suasana pagi itu terasa berbeda. Meski hanya ditemani aroma roti panggang dan kopi, ada sesuatu yang membuat ruangan apartemen mereka seakan lebih hangat daripada biasanya. Sinar matahari yang masuk dari jendela besar jatuh tepat di meja makan, memantulkan cahaya lembut ke wajah Elena yang tengah duduk rapi, sesekali mengaduk jus jeruknya dengan gerakan pelan. Gerald, di sisi lain, lebih sibuk memperhatikan istrinya ketimbang makanan yang ada di piringnya. Sesekali ia mengangkat garpu, tapi lebih sering berhenti, hanya untuk memandangi cara Elena menyibukkan diri dengan hal-hal kecil—menyusun sendok, merapikan tisu, bahkan sekadar melirik jam dinding. Semua gerakan sederhana itu terasa baru baginya, seperti potongan kehidupan yang selama ini ia lewatkan. “Jadi, jam berapa kamu masuk kantor hari ini?” Gerald akhirnya membuka percakapan, menyandarkan tubuh ke kursi dengan santai, meski matanya tetap terfokus pada Elena. Elena meneguk jus jeruknya sebelum menjawab. “Jam delapan. Masih

Jam di pergelangan tangan Gerald menunjukkan pukul enam sore, dan itu adalah waktu yang tidak biasa untuknya. Seharusnya ia masih berada di kantor, tenggelam dalam tumpukan berkas yang tak pernah ada habisnya. Seharusnya ia masih berada di ruang rapat, mendengarkan laporan dari para eksekutifnya. Seharusnya ia masih menjadi Gerald Aiden Mahatma, sang CEO yang tidak pernah mengenal lelah. Namun, hari itu, Gerald merasa ada sebuah dorongan yang begitu kuat, sebuah perasaan yang begitu aneh, yang menariknya pulang. Bukan karena pekerjaan, bukan karena kelelahan, tetapi karena… ia ingin. Ia ingin pulang, ingin cepat-cepat bertemu dengan Elena.Gerald menghela napas, menatap layar komputer yang masih menyala. Ada begitu banyak hal yang harus ia kerjakan. Tapi pikirannya melayang, membayangkan wajah Elena. Membayangkan senyumnya. Membayangkan cara Elena tertawa. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dinding-dinding yang ia bangun selama bertahun-tahun, yang ia yakini kokoh, kini mulai rap