Sabrina melangkah gontai meninggalkan ruangan Fadil. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ia membawa beban ribuan ton di pundaknya. Kata-kata Fadil terngiang-ngiang di telinganya, menusuk hati: "Kamu hanyalah alat bagi ibu saya." Dan kemudian, telepon dari Bu Rara yang mengonfirmasi segalanya. Dunia Sabrina runtuh dalam sekejap.Ia terus berjalan, melewati kubikel-kubikel kosong, menuju ke arah toilet. Air mata yang sejak tadi ia tahan, kini mendesak untuk tumpah. Begitu sampai di depan pintu toilet, ia segera masuk ke salah satu bilik kosong, menguncinya, dan membiarkan isak tangisnya pecah. Tubuhnya merosot, bersandar ke dinding, memeluk lututnya, menangis sejadi-jadinya. Hati Sabrina hancur berkeping-keping.Setelah beberapa menit, isakannya mereda. Ia memaksa dirinya untuk berdiri, berjalan dengan langkah lemas ke arah wastafel, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sembab, matanya merah dan bengkak, dan pipinya basah oleh air mata. Ini bukan Sabrina yang biasanya. Ia
Last Updated : 2025-05-27 Read more