“Aira… boleh aku bicara sebentar?” Suara itu datang dari arah pintu ruang istirahat kantor, lirih tapi cukup membuat Aira menoleh cepat. Langkahnya sempat terhenti, matanya membulat saat melihat siapa yang berdiri di sana—Alvano. Pria yang selama ini selalu bersikap tenang dan dominan itu kini tampak berbeda. Wajahnya lelah, rambutnya agak berantakan, dan matanya... begitu kosong. “Aku sibuk,” jawab Aira cepat, berusaha mengabaikan debar jantungnya sendiri. “Kalau soal proyek, bicaralah dengan manajer tim.” “Bukan soal kerjaan,” sahut Alvano cepat. “Ini tentang kita.” Aira menghela napas. “Nggak ada ‘kita’, Tuan Alvano. Yang ada hanya kontrak, dan kontrak itu sudah selesai.” Ia melangkah hendak pergi, tapi Alvano menahan pergelangan tangannya. “Sebentar saja, kumohon.” Aira diam. Untuk pertama kalinya, pria itu memohon. Tak ada nada perintah, tak ada sikap dingin yang menyebalkan. Yang ada hanya ekspresi rapuh dan sorot mata penuh luka. “Apa lagi yang ingin kamu bicara
Terakhir Diperbarui : 2025-07-23 Baca selengkapnya