All Chapters of Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan: Chapter 41 - Chapter 50

"Siapa yang merendahkan suamimu, Mbak? Justru aku ajak kamu berpikir realistis sesuai gaji suamimu itu. Temanku ada yang ambil satu unit di sana. Dia bilang cicilannya flat tanpa denda sebulan lima juta. Dia bilang uang mukanya lima puluh juta. Itu saja masih sembilan tahunan lunasnya, apalagi kalau uang mukamu lebih kecil, nggak bisa bayangin gimana repotnya. Jangan terlalu bermimpi punya rumah bagus begitulah, Mbak. Sewajarnya saja. Rasanya kok seperti pungguk merindukan bulan." Lagi-lagi Abel mengolok-olok Senja dan Langit. "Sudahlah, Bel. Capek ngomong sama kamu. Maunya menang sendiri." "Lagian kuajak bicara realistis nggak mau. Jangan terlalu bermimpi, takutnya baru nyicil dua tiga bulan sudah angkat tangan. Nanti kalau kamu terlalu memaksa, bisa-bisa suamimu pakai jalan pintas, Mbak." Abel melirik Langit yang masih memijit kening. Dia heran kenapa ada manusia unik seperti adik iparnya itu. "Maksudnya apa pakai jalan pintas segala?" Senja ikut mengernyit. "Jalan pintas laki-l

Memasuki ruang tamu rumah baru Langit dan Senja, para tamu semakin dibuat takjub dengan sofa dan aksesoris di sana yang tampak sekali berkelas, mewah dan elegan. Ruang keluarga pun terlihat nyaman dengan sofa panjang dan meja kaca dengan hiasan dinding yang aesthetic. Lampu kristal putih menghiasi ruangan itu ditambah tivi yang menempel di dinding dengan segala pernak-pernik menghiasi bufet minimalis di bawahnya. "MasyaAllah, bagus. Jangan-jangan Mas Langit bukan seorang supir. Kali saja dia memang bosnya." Hana berujar lirih pada ibunya. "Masa supir bisa kredit rumah sebagus ini, mana barang-barangnya mewah semua," sambung Hana begitu takjub. "Kalau beneran orang kaya, lihat pakaian yang dipakainya, Han. Nggak ada satupun yang branded. Murahan seperti barang di pasar," sahut Kinan tak nyaman mendengar ucapan Hana. Kinan yang sebelumnya meremehkan Langit dan Senja, entah mengapa saat ini ikut mengantar kepindahan mereka. "Nggak semua orang kaya suka pakai pakaian branded kali, Ki

Masih sibuk cerita ini dan itu memamerkan kehebatannya dibandingkan Langit, tiba-tiba seorang karyawan memanggil Adi. Cerita itupun terpaksa terhenti seketika. "Kenapa, Riz?" Adi menyahut. "Kamu dipanggil Pak Erwin ke ruangannya sekarang." Kali ini ekspresi Adi berubah seketika. Dia yang awalnya begitu semringah dan bangga saat menceritakan kehebatannya, tiba-tiba berubah masam ketika teringat ucapan-ucapan Langit semalam saat ngobrol dengan atasannya itu. "Ada apa sih?" tanya Adi mulai cemas. "Masuk aja nanti juga tahu sendiri." Rizki berlalu begitu saja, sementara Adi masih berusaha berpikir apa yang akan dilakukan atasannya kali ini. Meski cemas dan takut, mau nggak mau Adi mengikuti perintah Rizki untuk ke ruangan atasannya itu. Adi mengetuk pintu perlahan. Dia mulai harap-harap cemas. Beragam pertanyaan lalu lalang di benaknya. "Masuk." Suara Erwin terdengar. Adi mulai membuka pintu. Ekspresinya semakin panik saat melihat Langit sudah duduk santai di sofa depan meja kerja

Bakda maghrib, Adi mengajak istrinya pulang. Motor Abel dititipkan di rumah mertuanya karena saat ini dia pulang bersama suami. Dalam perjalanan, Abel cerita soal usaha laundry Kalina yang cukup ramai. Adi mengernyit. Dia tak paham maksud pembicaraan istrinya kali ini. "Tabungan bunda pasti banyak, Mas. Usaha laundry itu cukup ramai. Akhir-akhir ini aku sering lihat banyak anak kost ambil pakaian mereka." Adi manggut-manggut. Dia masih mendengarkan cerita Abel sampai tahu apa maksud semua itu. "Gimana kalau kita pinjam buat bayar rumah, Mas? Jadi nggak usah dicicil lagi. Kemarin kita sudah bayar uang muka dua puluh juta kan? Misal lunas masih kurang dua ratus juta lagi. Gimana kalau kamu tanya sama bunda apakah punya tabungan segitu? Ini nggak minta ya, tapi pinjam dan akan dibayar dengan gaji bulanan kita. Gimana, Mas?" Abel menatap lekat suaminya yang kini masih terdiam. "Kalau kita bisa bayar lunas rumah itu, setidaknya nggak akan kalah sama Senja, Mas. Beberapa tetangga mulai

"Mas, aku mau beli baju ini, tas merk ini dan sepatu ini untuk kerja. Teman-temanku semua pakai branded, Mas. Masa aku pakai yang murahan, nanti bisa dibully sama mereka." Adi mengingat kejadian dua minggu lalu saat Abel mulai ngantor kembali. "Honeymoon di Bali ternyata seindah dan seenak itu, Mas. Kapan-kapan kita liburan ke sana lagi ya?" Lagi-lagi Adi tak lupa saat honeymoon tempo hari. Dia yang merasakan demam dan mual justru ditinggalkan oleh istrinya. Abel sibuk shopping seolah tak peduli dengan suaminya yang kesakitan di kamar hotel. "Mas, mobil kamu keluaran lama itu. Beli yang baru dong, Mas. Masa karyawan kantor dengan gaji tujuh jutaan kalah sama supir. Lihat saja itu mobil yang dibawa Langit, merah meriah, cantik dan menawan. Mana mobil keluaran baru pula. Pasti enak banget naiknya." "Itu mobil bosnya, Bel. Memangnya aku bos? Aku cuma staf kantor biasa." "Makanya jadi bos dong, Mas. Itu ibu kamu punya usaha laundry, kenapa nggak kamu modalin aja biar makin maju. Sete