"Saya kaget loh Mbak Senja sudah di sini." Bagas mengawali percakapan saat dia dan Senja sudah di mobil menuju rumah kepala desa. "Aku nggak tenang di rumah, Mas. Entah mengapa dalam hatiku bilang kalau Mas Langit ada di desa itu. Makanya aku diam-diam ke sana dengan alasan cari teman SMAku dulu." Senja menjelaskan. "Saya kagum sama Mbak Senja. Ada saatnya lemah lembut, ada saatnya tegas dan berani. Apalagi tadi kenapa ketiga laki-laki itu malah tumbang semua. Bayu pernah bilang soal aksi beladiri Mbak Senja yang cukup mumpuni. Saya pikir cuma bercanda, ternyata tadi saya melihatnya sendiri. Benar-benar menakjubkan. Perempuan selembut ini mengalahkan tiga berandalan." "Nggak begitu juga, Mas. Kalau nggak ada Mas Awan entah gimana nasibku tadi. Mas Awan yang melawan mereka satu persatu. Aku cuma sedikit membantu saat dia tak berdaya. Nggak mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Mas Bagas memujinya berlebihan. Lagian tadi Mas Bagas lihatnya kan saat mereka sudah tumbang semua." S
"Astaghfirullah." Senja beristighfar lirih sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kedua matanya berkaca tiap kali mengingat Langit, tapi dia berusaha menahan kesedihan itu. Dia tak ingin memperlihatkan air matanya di depan orang lain, apalagi di hadapan Ratri dan Awan yang kini juga menjadi korban. "Itu rumah sakitnya, Neng," tunjuk Ratri. Senja mengangguk lalu meminta Bagas segera menyeberang. Setelah sampai di rumah sakit Bakti Husada, Senja gegas keluar dari mobil dan meminta perawat untuk membawakan brangkar. Dua perawat datang lalu membantu Awan berbaring di atas ranjang. "Mas, tolong ikut perawat ke UGD ya, biar saya bantu Bi Ratri urus administrasinya ke resepsionis." Bagas mengangguk. Tanpa protes dia segera mengikuti perawat yang membawa Awan dengan tergesa itu. Senja dan Ratri mengurus pendaftaran dan kebutuhan pasien lainnya, setelah semua beres mereka ikut menunggu Bagas di depan UGD. "Tenang, Neng. Sepertinya tak ada luka serius di badan Awan. Nggak ap
"Om, titip Mas Langit ya. Saya mau antar Mas Awan ke rumah sakit sebentar, nanti langsung balik ke sini." Senja membuyarkan lamunan Erwin. Laki-laki itu agak gugup lalu mempersilakan Senja masuk ke mobil suaminya. Senja memilih duduk di jok depan samping Bagas, sementara Awan rebahan di kursi belakang. "Berhenti di warung itu dulu, Mas. Aku panggilkan ibunya Mas Awan." Bagas hanya mengangguk meski dalam benaknya masih disesaki puluhan tanya. Mengapa istri bosnya itu bisa sampai di kampung itu bahkan terlibat perkelahian segala. Setelah keluar dari mobil beberapa menit, terlihat dua wanita beda usia muncul dari dalam warung sembako itu dengan tergesa. Ratri masih memperbaiki hijabnya sembari setengah berlari menuju mobil merah metalik itu. "Ya Allah, Awan! Apa yang sebenarnya terjadi? Tega-teganya Ibram melakukan ini semua sama kamu. Anak itu memang berandalan. Selalu dimanja papa dan mamanya jadi ngelunjak begini," ucap Ratri begitu geram saat melihat anaknya tiduran di jok mobil
"Habisi saja dia! Kalau cuma mendekam di penjara, aku tak takut!" perintah Ibram dengan mengepalkan tangan kanannya. "Dia gimana, Bos?" tanya Maxim sembari menunjuk Senja yang duduk di sampingnya. Ibram segera keluar lalu menarik kasar tangan Senja. Setelah semua keluar, Awan mulai mengajak duel lagi. Dia berhasil menangkis tendangan dan pukulan Maxim. Dua, tiga kali pukulan Maxim lolos dan kini Awan menghantam punggung Maxim dengan sikunya. Maxim terjerembab ke tanah. Saat melihat laki-laki itu akan bangkit, Awan kembali menginjak punggungnya sampai tak bergerak. Melihat Awan berhasil melumpuhkan dua lawannya, Senja menghela napas lega. Dia berusaha melepas cengkeraman Ibram, tapi laki-laki itu tiba-tiba mengambil pisau lipat dari kantong jaketnya. Ibram mengarahkan pisau itu ke leher Senja. Dia nyaris membuka hijab lebar yang dikenakan Senja, andai Awan tak mengangkat kedua tangannya. Ada beberapa warga yang melihat perkelahian itu, tapi mereka justru ketakutan dan lari terbirit
"Ngapain dia?!" sentak lelaki bernama Ibram itu saat menunjuk Awan yang mendekati mobilnya. "Seperti biasa, Bos. Dia pasti mau jadi pahlawan kesiangan lagi. Dasar kurang kerjaan," sahut Max yang duduk di samping Senja. "Berulang kali kucoba lenyapkan, tapi masih saja muncul," desis Ibram. Wajahnya menegang menahan amarah yang nyaris membuncah. Sebenarnya, Ibram dan Awan pernah sekolah di tempat yang sama. Mereka satu angkatan, hanya saja Awan sukses menjadi primadona dan selalu juara, sementara Ibram justru dikeluarkan dari sekolah karena sering tawuran, minum minuman keras dan berjudi. Kehidupan keduanya semakin berbeda saat Awan semakin sukses dan mapan, mampu membeli mobil, tanah dan rumah di kota yang kini dikontrakkannya, sementara Ibram semakin suram karena hanya mampu membuat onar dan was-was warga kampungnya. Awan mengetuk kaca jendela. Dia tahu persis jika Senja berada di mobil itu karena sejak tadi memang membuntutinya. "Ada apa?! Minggirin motor Lo, atau gue tabrak se
"Cari sarapan?" Senja menoleh seketika saat mendengar pertanyaan itu dari arah belakang. Awan menatapnya lekat. Senyum tipisnya terukir di kedua sudut bibir. "Iya, Mas. Sekalian mau cari toko pakaian." "Nggak bawa baju ganti?" Senja mengangguk pelan. "Ayo kuantar. Ada toko baju tak terlalu jauh dari sini.""Maaf, Mas. Saya jalan kaki saja sekalian tanya-tanya ke warga barangkali pernah lihat sahabat saya di sekitar sini." "Ada fotonya?" tanya Awan singkat. Sejak pertemuannya dengan Senja semalam, Awan memang sudah jatuh hati. Mungkin itu yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Senja adalah tipe istri idamannya. Cantik, lembut, sederhana dan tahu kodratnya sebagai muslimah yang menutup aurat. "Ada, Mas. Ini fotonya," tunjuk Senja di layar handphonenya. Tak sengaja jemari mereka bersentuhan. Senja segera melepaskan benda pipih itu sampai nyaris terjatuh. Wajahnya memerah seketika. "Ma-- maaf, nggak sengaja," ujar Awan begitu gugup melihat ekspresi Senja yang tak biasa itu.