"Buka jendela!" sentak laki-laki itu saat Tasya tak jua bergerak. "Buka atau kupecahkan kacanya!" Tasya tak peduli. Dia berusaha menyalakan mesin mobilnya lalu pergi begitu saja. Setelah agak menjauh, Tasya melihat ke spion. Dia panik saat laki-laki itu terus mengejar mobilnya. "Gawat! Kenapa pengkhianat itu muncul lagi setelah nyaris empat bulan tak menampakkan hidungnya? Apa dia sudah berpisah dengan pelacur itu?" Tasya terus menggumam. Sesekali melirik ke spion mobilnya. "Apa dia sengaja bertemu denganku terang-terangan? Dasar brengsek! Apa kurang banyak duit yang kutransfer untuknya selama ini?!" Lagi-lagi Tasya mengumpat. Dia mengemudi dengan gusar. Sering kali membunyikan klakson jika ada yang menghalangi laju mobilnya. Awalnya dia ingin pulang, tapi setelah melihat kehadiran mantan kekasihnya itu dia mengurungkan niatnya. "Lebih baik ke rumah ibu dulu. Aku nggak mau dia bertemu dengan Langit. Meski sekarang Langit nggak di rumah, bisa jadi dia tiba-tiba muncul kan? Apalag
Sampai depan rumah Senja, Bayu menghentikan laju motornya lalu membawa tas belanja Senja ke teras. Baru mau duduk sebentar, handphonenya kembali berdering. Tanpa membaca nama pemanggil pun dia sudah yakin jika itu bosnya. Langit berulang kali menelepon Bayu agar lekas ke lokasi setelah dia berhasil melacak keberadaan Senja lewat GPS handphonenya. "Gimana istriku, Bay?! Kamu berhasil menemukannya kan? Dia baik-baik saja?!" tanya Langit begitu panik. Kepanikannya bertambah saat berulang kali menelepon Senja, tapi belum diterimanya juga. "Saya balik sekarang dengan penerbangan terakhir." Langit begitu panik. Dia tergesa menuju bandara saat ini juga."Alhamdulillah kami sudah sampai rumah, Mas. Mbak Senja baik-baik saja. Apa Mas Langit tahu rahasia Mbak Senja yang lain?" tanya Bayu sedikit berbisik. Langit yang masih duduk dengan gusar di taksi online itu pun mengernyit seketika. "Rahasia apa?" Dia ikut setengah berbisik. "Apa Mbak Senja punya khodam? Punya ilmu kanuragan? Atau yang
"Sial!" umpat tukang ojek gadungan itu saat Senja berusaha mengikat tangan dan kakinya dengan tali tas. "Sudah kubilang jangan macam-macam, tapi anda tetap kurang ajar." Senja membalas kesal. Belum sempat terikat sempurna, handphone Senja kembali berdering. Benda pipih itu terlempar agak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Senja berusaha mengambilnya dengan kaki, tapi tak berhasil. Saat ini Senja membutuhkan tali untuk mengikat kedua tangan dan kaki lelaki itu, karena tali tasnya terlalu pendek dan tak bisa mengikat sempurna. Dia ingin sekali menelpon Bayu agar lekas datang ke tempatnya sekarang, hanya saja handphone itu cukup jauh dari jangkauan. "Lepas!" sentak lelaki itu. Tenaganya cukup kuat sekarang, mungkin karena nyeri di benda pusakanya mulai memudar dan tak lagi kesakitan. "Nggak! Anda harus kubawa ke kantor polisi!" balas Senja tak mau kalah. Mendengar kata kantor polisi, wajah lelaki itu mendadak pias bercampur panik. Saat Senja masih berusaha memperbaiki ikatannya,
"Kamu dimana, Sayang? Bayu bilang kamu tiba-tiba menghilang setelah shalat maghrib di masjid mall." Langit begitu panik setelah mendengar kabar buruk dari bodyguardnya. Bayu bilang dia kehilangan jejak istri bosnya itu setelah keluar dari toilet masjid. Senja melangkah pelan keluar mall menuju pangkalan ojek di seberang jalan. Hari ini Senja memang pamit ke mall karena ingin membeli kebutuhan dapur dan peralatan mandi yang sudah menipis. Selain itu, dia juga ingin membeli kado untuk memperingati hari lahir bapaknya esok. Awalnya Langit tak mengizinkan karena dia masih di Surabaya dan tak bisa mengantar istrinya. Namun, helaan napas panjang Senja yang sedikit kecewa itu membuat Langit membatalkan larangannya. Akhirnya dia mengizinkan Senja pergi asalkan lekas pulang dan tak melewati jam tujuh malam. "Kamu sudah pulang? Naik apa? Bayu kehilangan jejakmu, Sayang." Langit kembali bicara. Dari suaranya, terdengar jelas kegugupan di sana. "Hmm ... kamu sengaja minta Mas Bayu buat ngawas
"Kamu harus berhati-hati jika berurusan dengan Tasya, Sayang. Dia bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan," ujar Langit saat membantu istrinya menyiapkan makan siang. Senja tersenyum lalu mengangguk pelan. "Aku tahu kamu cukup pemberani dan tak gentar menghadapi dia, tapi Tasya itu licik. Dia bisa mencari kelemahan kamu untuk mewujudkan ambisinya itu." Lagi-lagi Langit mengingatkan. Tak membantah, Senja kembali mengangguk. "Dia bisa cari orang untuk melukaimu." "Ohya? Seburuk itukah mantan kekasihmu itu, Mas?" Langit mendongak lalu menghela napas panjang saat mendengar kata mantan kekasih. "Kenapa? Memang benar kalau dia mantan kekasihmu kan? Salahnya dimana coba." Senja mencibir kecil lalu duduk di samping suaminya setelah menyendokkan nasi dan lauk ke piring. "Salahnya kenapa kamu nggak datang lebih dulu dibandingkan dia. Tahu gitu kan nggak ada kata mantan kekasih." Langit menyahut pelan. "Belum tentu kamu menyukaiku jika kita bertemu lebih dulu
[Paman, aku ada sedikit masalah. Kalau paman berkenan, aku pinjam uang 250 juta. Nanti paman bawa saja sertifikat tanah warisan bapak itu, tapi paman harus janji jangan jual tanah itu karena aku akan balikin hutangku]Adi memijit kening. Dia berharap pamannya bisa membantu masalah ini. Jika lewat bank, mungkin akan banyak yang diurus. Khawatir akan membutuhkan waktu lebih lama, yang dia takutkan jika uangnya nggak cair dalam waktu sebulan. Belum mendapatkan balasan dari pamannya, Adi justru fokus dengan pesan-pesan dari ibu mertuanya. Adi shock saat membaca deretan pesan darinya. Tak menyangka jika ibu mertuanya itu ikut mencampuri urusan rumah tangganya sampai sejauh ini. Bahkan tega menuduhnya macam-macam. [Kamu sengaja memanfaatkan Abel untuk membantumu melunasi hutang-hutang itu, Di?! Kalau ibu tahu hutangmu banyak, nggak akan mungkin ibu merestui hubungan kalian berdua. Abel itu anak kesayangan ibu. Sejak dulu ibu berusaha selalu membuatnya bahagia dan kecukupan. Tapi kenapa s
"Wajahku jadi ada bekas lukanya gini, Bu. Nggak mulus lagi. Mana patah tulang pula. Gimana caranya kerja kalau begini aku malu." Abel tergugu setelah mengetahui keadaannya yang memang tak baik-baik saja. Dia masih bercermin, menatap wajahnya yang tak semulus sebelumnya karena lukanya pasca kecelakaan tiga hari lalu. "Nggak apa-apa, Bel. Nanti diobati juga sembuh lukanya." Susan berusaha menenangkan. "Tapi bekasnya susah hilang, Bu." Abel kembali berdecak kesal. "Susah hilang bukan berarti nggak bisa bilang kan? Nanti perawatan dokter lagi biar lekas hilang dan mulus seperti semula. Nggak apa-apa yang penting kamu sudah sembuh. Nyawa jauh lebih penting, Bel." Lagi-lagi Susan menasehati sembari mengusap lengan anak kesayangannya itu. "Benar-benar sial banget sih Bu nasibku. Sudah gagal resepsi eh malah dikasih tambahan patah tulang segala," rutuk Abel seolah tak terima dengan takdirNya. "Gagal resepsi, Bel? Maksudnya gimana? Adi membatalkan resepsi kalian sebelum kecelakaan itu te
"Ikut aku!" sentak Tasya ke arah Senja. Dia tak mau menjadi pusat perhatian banyak orang karena membuat keributan di lorong rumah sakit. Tak menolak, Senja mengikuti perintah perempuan itu meski Anwar sempat melarangnya. Langit pun meminta Senja tak perlu menanggapi Tasya karena dia memang seperti itu sejak dulu. "Nggak apa-apa, Mas. Kalau kita terus menghindar, dia akan semakin mengejar. Kalau kita diam, dia semakin menginjak-injak. Dia pikir aku perempuan kampung yang lemah. Akan kutunjukkan sisiku yang lain agar dia paham." Senja meyakinkan. Langit kembali tersenyum lebar dan kini mendukung istrinya. Laki-laki itu benar-benar tak menyangka jika Senja bisa sekuat dan sepintar itu menghadapi kelicikan Tasya. Tak perlu pakai tenaga, cukup dengan kata-kata tajamnya sudah membuat Tasya kelimpungan dan keringat dingin. Keberanian Senja kali ini justru membuat Langit semakin terpesona. Dia bisa kasar dengan orang yang tak tahu adab seperti Tasya, tapi dia juga bisa lembut pada suami,
"Mas, ngapain kamu di sini? Mau jenguk papa?" Seorang perempuan dengan kemeja linen putih dan celana jeans panjangnya melangkah pelan. High heels berwarna hitam menghiasi kaki jenjangnya. "Mas, dia ...." Senja menghentikan ucapannya saat perempuan itu tersenyum tipis menatapnya sembari mengulurkan tangan. Senja pun berdiri lalu membalas uluran tangannya. "Ini istri yang kamu ceritakan dan banggakan itu? Baru pertama ya kita ketemu," ujar perempuan itu sembari menatap Senja dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu tersenyum mengejek. Langit pun tahu jika perempuan itu masih membandingkan penampilannya dengan Senja. "Benar. Aku istri sahnya Mas Langit. Senja Prameswari. Hmm ... aku harus panggil anda siapa ya? Mbak atau Ma? Oh iya, anda istri papa mertuaku kan? Sudah seharusnya aku memanggil anda mama. Betul?" Senja mengedipkan sebelah matanya. Dia ternyata memiliki keberanian untuk mengejek balik. Wajah Tasya memerah. Jelas dia tak suka jika dipanggil dengan sebutan mama. Selama i