Semua Bab Nafkah Yang Salah: Bab 11 - Bab 20

Pov DaniAku tak menyangka bahwa Erllin berkata demikian. Gadis yang nyaris sempurna di mataku itu bersedia menjadi istriku. Tapi, wajar saja. Aku adalah seorang manager di sebuah perusahaan swasta. Tentu jabatan tersebut sangat disegani. Bahkan, aku yakin, Erlin bangga jika memiliki suami sepertiku."Kamu yakin?" tanyaku pada gadis berkulit putih bersih di hadapanku."Yakin, Mas. Tapi ... jujur saja aku tidak mau ada dua ratu di hatimu. Kamu udah punya Maira." Gadis yang sudah menarik perhatianku itu mengerucutkan bibirnya. Membuatku gemas ingin mengecupnya. Ah, dasar! Otak mesumku tak bialsa dikendalikan!"Kamu tenang saja. Maira hanya wanita lugu. Dia tak akan tau kalau kita menikah diam- diam," rayuku. Pesona Erlin telah membiusku. Hingga aku tak ingin lepas darinya. "Iya. Aku tau. Tapi, tetap saja aku mau jadi istrimu satu- satunya, Mas. Kalau kamu nggak bisa, maaf ... aku pun akan mundur." Wajah Ayu di hadapanku itu berubah lesu.Aku bimbang. Tidak mungkin jika aku menceraikan

Maria tengah menggongseng tempe dan tahu untuk lauk hari ini. Di aktivitas tersebut, air mata Maria terus mengalir. 'Apa salahku, Mas? Apa baktiku selama ini padamu tidak berarti? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Tapi, semua itu tak ada artinya. Kamu malah selingkuh dengan perempuan lain,' batinnya."Ma?"Maria gegas mengusap air matanya saat Bilqis memanggilnya. "Iya, Nak?""Ma, aku nggak sarapan, ya. Aku makan di sekolah saja biar nggak jajan," kata Bilqis seraya memeluk Maria yang masih memunggunginya."Sarapan saja, Nak. Nanti Mama juga akan bawakan bekal." Maria mencoba tenang. Ia tidak ingin anaknya melihatnya bersedih."Tidak usah, Ma. Aku masih belum lapar. Aku makan di sekolah saja. Mama siapin ya. Aku tunggu di luar." Bilqis berlalu meninggalkan Maria.Gadis kecil dengan wajah yang mirip dengan Dani itu duduk di teras rumah kontrakan seraya menatap lurus ke depan. Seragam putih merah yang Bilqis kenakan lengkap dengan sepatunya menunjukkan bahwa ia sudah siap untu

"Pak Hari kelamaan, Ma. Aku mau cepet pulang soalnya tadi dapat hadiah dari Bu Mita karena aku dapat nilai seratus lagi pas ulangan." Bilqis lantas menyodorkan amplop kecil berwarna putih. "Isinya uang, Bu. Bisa buat beli ayam sedikit," kekehnya.Air mata Maria kembali berderai. Rasa bersalah kembali menyergap hatinya. Seharusnya ia menjadi istri mandiri yang bisa mencari uang sendiri agar bisa membelikan Bilqis makanan kesukaannya. Gadis kecilnya itu telah membuatnya bangga."Bilqis, uangnya buat beli keperluan kamu saja. Mama insyaallah udah ada uang buat beli ayam." Maria tak bisa menerimanya. Karena uang itu hasil jerih payah putrinya."Tapi ...." Wajah Bilqis berubah sendu."Ehem!""Eh, maaf, Mas. Saya sampai lupa kalau ada Anda di sini." Maria mengusap wajahnya yang basah. Saking larutnya ia dengan kesedihan dalam hatinya."Iya, Bu. Tak apa. Saya malah jadi terharu melihat kalian," kata Arfan. "Apa ... Bilqis ini anak yatim, Bu? Maaf sebelumnya."Maria menggeleng. "Putriku masih

Dani mengemudikan mobil yang ia parkirkan jauh dari rumah kontrakannya menuju rumah ibunya. Andai Dina tidak memberitahu soal Maria yang membawa pria lain ke rumahnya, mungkin sampai kapan pun Dani tak pernah tau kelakuan Maria selama ini di belakangnya.Tadi, Dani hendak pulang menemui Maria dan mengutarakan niatnya untuk menikahi Erlina tanpa menceraikan Maria. Namun, ketika hampir sampai Kakaknya, Dina menelpon dan memberitahu di rumahnya ada pria lain. Sontak saja, Dani mengikuti arahan Dina untuk berjalan kaki saat pulang agar Maria tidak kelabakan untuk menyembunyikan pria itu. Dan benar saja, saat ia datang pria itu memberi sejumlah uang untuk Maria. "Sialan! Kukira Maria itu wanita lugu dan baik. Nyatanya dia sama saja!" Dani mengemudi dengan bersungut- sungut.Sesampainya di rumah sang Ibu, Dani bergegas masuk. Di ruang tengah, ibunya langsung berdiri dan menyambut kedatangannya."Dani ... ibu sudah mendengar semuanya dari Dina. Lalu, bagaimana hubunganmu dengan Maria sekara

Maria mendongak, gegas ia mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. "Iya, Anda siapa, ya?" jawabnya, heran. Sebab, ia tak merasa mengenal wanita paruh baya yang mengenalnya itu."Saya Laila. Kita pernah satu angkot. Kamu pasti lupa."Wajah Maria seketika berubah cerah setelah mengingat perempuan itu. "Ya Allah, maafkan saya. Saya tidak mengingat Anda, Bu. Bahkan saat itu saya juga tidak tau nama Anda.""Iya. Makanya, saya nanya namamu. Soalnya, saya punya firasat kalau kita bakalan ketemu lagi." Ibu Laila terkekeh pelan. "Kamu mau ke mana? Kenapa wajahmu sedih, Maria?"Mendung kembali menggelayut di kedua mata Maria. "Saya mau nyari kerja, Bu. Waktu itu saya diberi kartu nama ini sama Mas Arfan dan disuruh datang ke sini langsung bertemu dia kalau butuh kerja. Tapi, saya diusir sama sekuriti itu. Dikira saya bohong kalau saya beneran diundang langsung sama Mas Arfan," paparnya. Lantas, Maria terkekeh dan kembali berkata, "Wajar, sih, kalau saya diusir. Saya nggak pantas juga kerja di