Semua Bab Pay Me With Your Body: Bab 51 - Bab 60

Pria itu tidak berkata apa pun dan tetap melangkah dengan tegas, tapi lembut. Seolah ia tengah membawa sesuatu yang sangat rapuh atau seseorang yang sangat berharga. Dominic menundukkan tubuhnya, lalu meletakkan Aveline perlahan di atas tempat tidur besar berlapis linen halus seputih salju. Untuk sejenak, Dominic menatapnya. Aveline tampak begitu kecil di atas ranjang itu. Tapi bukan karena tubuhnya mungil, melainkan karena aura yang kini mengelilingi gadis itu, yaitu sebuah kesedihan lama yang akhirnya menemukan jawabannya. Sebuah kehilangan yang kini telah bertemu tempat pulangnya. Dominic lalu duduk di sisi ranjang. Ia menatap wajah gadis itu, menyesap setiap detailnya dalam diam. Jari-jarinya yang besar namun lembut mengusap pelipis Aveline, lalu rambutnya yang tersibak perlahan. Aveline mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir Dominic dengan lembut. Ciuman yang awalnya dimaksudkan untuk rasa terima kasih dan penghargaan, namun sebuah rasa yang berbeda pun tur

Suara ketikan cepat di atas keyboard mengisi ruangan, diselingi suara detak jam klasik yang berdetak lembut di dinding marmer krem. Dominic sedang duduk di kursi kulit hitamnya, terlihat serius membaca laporan merger yang baru saja dikirim dari kantornya di Chicago. Dan di sofa panjang dekat jendela, Aveline berbaring tengkurap sambil memainkan ponsel barunya. Namun pada akhirnya gadis itu pun merasa bosan. Lalu matanya yang biru melirik ke arah Dominic. Dengan kemeja putih sedikit tergulung di lengan, rambut sedikit berantakan tapi seksi, dan ekspresi super serius seperti pimpinan mafia yang baru saja menemukan pengkhianat di dalam organisasinya. Ia terlihat sangat fokus. Dan keren. Juga sepertinya... sangat menyenangkan untuk diganggu. Seketika senyum nakal pun merekah di wajah Aveline. “Uhm, Dominic...” “Hm?" Sahut Dominic yang masih sibuk membaca dokumen. “Kamu lebih memilih merger perusahaan atau merger bibir sama aku?” Cetus Aveline iseng. Tangan Dominic pun s

Langit Portofino sore itu memancarkan cahaya tembaga yang menyepuh dinding-dinding rumah pastel di sepanjang pelabuhan. Angin laut membawa aroma asin dan semilir hangat, menyelimuti kota kecil itu dengan ketenangan yang memikat. Di antara keramaian wisatawan yang tertawa, berfoto, dan menikmati nikmatnya gelato di sepanjang trotoar berbatu, sebuah pemandangan tak biasa telah mencuri perhatian semua orang. Bukan hanya karena pria tinggi dengan wajah luar biasa tampan yang tampak berasal dari dunia lain alias Dominic Wolfe, yang berjalan dengan langkah tegas dan aura mendominasinya yang kuat, tapi juga karena sosok gadis muda di sampingnya. Aveline mengenakan gaun musim panas berwarna peach muda, rambut pirangnya terurai panjang di punggung, dan wajahnya bersinar penuh keceriaan. Namun pemandangan yang membuat semua mata sontak lebar membelalak bukan hanya dua insan rupawan itu, melainkan bayangan besar hitam yang mengikuti di belakang mereka. Zeus, seekor black panther m

Sore di rumah kaca itu terasa seperti mimpi yang dirangkai dari kelembutan serta cahaya keemasan. Di antara ribuan bunga mawar kuning yang bermekaran, Aveline dan Dominic duduk berdua di atas sofa panjang yang disediakan di tengah ruangan. Suasananya hangat, teduh, dan harum. Aveline bersandar di dada Dominic, mendengarkan detak jantung pria itu seperti sebuah lagu klasik yang menenangkan. Manik birunya menyusuri perlahan setiap mawar yang terhampar di sekelilingnya. “Aku suka sekali warna kuning ini…” gumannya. “Tapi kenapa, Dominic? Kenapa kamu memilih mawar kuning dari semua warna bunga yang ada?” Dominic menundukkan wajahnya untuk mencium pucuk kepala Aveline sebelum menjawab pelan, “Karena warna kuning adalah simbol dari harapan.” Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan suara yang dalam dan tenang, “Ketika kamu jatuh di belakang panggung tujuh tahun lalu... aku berdiri di sana, tapi tidak bisa menolongmu. Maka aku ingin kamu tahu bahwa ada seseorang di dunia i

Setelah menutup telepon dari Edgar, Dominic segera menekan nomor pribadi lain yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya. “Samuel,” ucapnya cepat, saat panggilan itu telah diangkat. “Siap, Tuan Wolfe,” jawab suara berat dari seberang. “Aku butuh bantuanmu sekarang juga. Bawakan mobil ke rumah kaca, dan setelah itu kamu segera kembalilah lagi ke Mansion dengan membawa kudaku. Tambatan talinya masih ada di sisi timur rumah kaca.” “Baik. Dimengerti, Tuan.” Dominic menutup telepon dengan satu tarikan napas berat. Matanya kembali menatap pintu kaca bening tempat Aveline masih tertidur di dalam sana. Gadis itu tak tahu apa pun. Tentang Serena. Tentang transplantasi. Tentang Clarissa Blaine. Dan ia ingin menjaga semua itu sebaik mungkin, selama ia masih bisa. Dominic masuk kembali ke dalam rumah kaca, dan sejenak terdiam di depan sosok cantik yang tertidur lelap di atas sofa panjang, hanya diselimuti oleh kaus polo-nya yang terlalu besar untuk tubuh mungil Aveline. “