Semua Bab Pernikahan Dadakan dengan Bos Arogan: Bab 231 - Bab 240

Reiner mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang berubah mengeras. Namun matanya menatap nanar pada hutan di bawah sana. Tebing ini cukup tinggi.'Jasmine ... dia pasti ketakutan dan sakit saat terjatuh dari sini,’ batin Reiner. Sudut hatinya kembali terasa nyeri saat membayangkan istrinya harus menderita sendirian.Apalagi semalam keadaan di sekitar pasti sangat gelap. Yang sangat ditakutkan oleh Reiner ialah phobia Jasmine kambuh, dan akan berakibat fatal jika tidak cepat-cepat ditolong.Meski selama tiga minggu terakhir Jasmine menjalani terapi dengan Bu Lala dan phobia-nya sudah mulai teratasi, tapi tetap saja Reiner khawatir phobia-nya tiba-tiba menyerang."Cepat cari Jasmine di bawah. Fokuskan pencarian di sana!" titah Reiner lengkap dengan suara dinginnya.Mereka menurut. Dan segera mengabari anggo

Reiner menutup pintu kamar mandi. Bibirnya mengulas senyum lembut sambil berjalan menghampiri ranjang.Wajahnya tampak segar. Bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambut yang masih dikeringkan menggunakan handuk.Reiner melihat dua anak bayinya sedang tengkurap sambil mengangkat dada, dan meluruskan lengan serta kakinya hingga punggungnya melengkung."Ya ... ya ...!" celoteh Jeanette yang tampak antusias melihat ayahnya datang."Ayah," ralat Leica. Di usia mereka yang sudah menginjak empat bulan, mereka baru bisa mengucapkan 'ya' untuk ayah, 'ma' untuk grandma, dan 'da' untuk bunda.Ya, saat ini sudah dua bulan berlalu sejak Jasmine hilang. Dan sampai sekarang perempuan itu belum ditemukan meski pencarian belum berhenti."Aa ... yaa." Kali ini Jeanice yang berseru sambil membuka mulutnya gemas, dia berguling sampai terlentang, lalu mengangkat kedua tangannya."Anak cantiknya Ayah mau digendong, hm? Sebentar ya." Reiner lebih dulu meletakkan handuk di standing hanger. Lalu mendekati a

Makan jadi salah satu hal yang tidak Reiner sukai. Setiap makanan yang terhidang di meja makan selalu mengingatkannya pada Jasmine, Jasmine dan Jasmine.Reiner rindu dengan masakan perempuan itu. Rindu berbincang di meja makan berdua walau hanya sekadar obrolan tidak bermakna. Reiner rindu pada apapun tentang Jasmine."Reiner, mau Mama buatkan makanan yang lain?" tanya Leica. Sejak tadi dia memperhatikan Reiner yang hanya memandangi nasi di atas piring dengan tatapan kosong. "Reiner ...," panggil Leica sekali lagi."Ya? Kenapa, Ma?" Reiner keluar dari lamunannya dan langsung menatap Leica yang duduk di seberang. Reiner juga baru sadar jika ayah dan adik-adiknya sempat menatapnya sesaat tanpa bicara apa-apa."Kamu tidak suka makanannya? Atau mau Mama buatkan makanan yang lain?" Leica mengulang pertanyaannya yang tadi.Reiner menggeleng dan menatap makanan yang terhidang di meja makan sekilas. "Tidak usah, Ma. Aku lagi mau makan sama ini," ucapnya sembari mengambil kari ayam.Dari semua

Setelah cukup lama mereka berciuman, Reiner melepaskan kembali tautan bibir mereka. Bibir Reiner lantas mengulas senyum lebar. Senyuman pertama yang tanpa beban di dalamnya setelah dua bulan terakhir."Reiner, banyak orang di sini. Kamu berani cium-cium aku di tempat seperti ini?" Jasmine merasa malu, rasanya dia tidak berani melihat ke sekitar."Kamu malu, hm? Tapi kenapa membalasku sampai bersemangat begitu?" tanya Reiner dengan senyum menggoda.Pipi Jasmine seketika terasa memanas usai mendengar ucapan Reiner. Malunya jadi dua kali lipat. Dia sangat merindukan pria ini, maka dari itu Jasmine jadi lupa diri saat membalas ciumannya."Ehemm!" Nicko berdehem keras sambil berjalan ke arah mereka. "Bung, bisa sabar sedikit? Kalau tidak bisa, mending masuk saja ke dalam mobil."Reiner mendecakkan lidahnya kesal. Sedangkan Jasmine malunya bertambah jadi tiga kali lipat. Ayah mertuanya pasti menyaksikan momen pertemuan mereka barusan. Jasmine lantas menghampiri Nicko, menyalaminya dengan so

"Errgh "Jasmine mengerang sembari menggeliatkan tubuhnya. Kelopak matanya perlahan-lahan terbuka saat aroma woody memenuhi indra penciumannya. Jasmine tersenyum, Pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur adalah Reiner yang tengah memeluknya sambil menatapnya dengan lekat"Selamat siang, Honey," bisik Reiner. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jasmine."Siang? Memangnya jam berapa sekarang?" Suara Jasmine terdengar serak, sambil mencari-cari letak jam dinding. Tapi ruang geraknya yang sempit-akibat pelukan Reiner yang erat, membuat Jasmine sulit melihat jam yang ada di belakangnya."Jam sepuluh.""Ha?!" Jasmine terperanjat dengan mata membelalak. "Jam sepuluh?"Reiner mengangguk sebelum mengecup bibir Jasmine. Tangan Reiner yang semula melingkari pinggang, kini menyibak rambut Jasmine yang jatuh ke dahi."Iya, Honey, sekarang sudah jam sepuluh.""Kok kamu tidak membangunkan aku?"protes Jasmine. Sebab dia tidak biasa bangun sesiang ini."Tubuh kamu butuh recovery, Jasmine