Tiga hari terasa begitu lambat bagi William. Detik demi detik seolah berhenti di depan ruang ICU, tempat Miranda dan bayinya masih berjuang antara hidup dan mati. Cahaya putih dari lampu rumah sakit membuat wajah Miranda tampak pucat, seperti kehilangan seluruh warna kehidupan. Selang-selang menempel di tubuhnya, suara mesin monitor berdentang pelan, satu-satunya bukti bahwa jantungnya masih berdetak. William duduk di kursi besi di samping ranjang. Kedua tangannya menggenggam jari Miranda yang dingin. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. “Miran... jangan tinggalin aku, ya,” bisiknya dengan suara serak. Tangannya bergetar saat membelai rambut Miranda yang kusut. “Aku tahu, aku yang salah... Aku marah, aku bodoh, aku cuma mikirin dendamku. Tapi aku nggak siap kehilangan kamu, Mir…” Ia menunduk, mencium punggung tangan wanita itu. Rasa bersalah menghantam dadanya bertubi-tubi. Selama ini, William menganggap Miranda hanya alat. Wanita itu dengan patuh bisa ia kendalikan untu
Last Updated : 2025-10-10 Read more