Nayaka mengangguk pelan, seperti menyanggupi sesuatu yang masih memberatkan hatinya. “Siap, nanti aku hubungi mereka,” katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh desir pendingin ruangan yang menderu lembut di ruangan itu.Nadira menyandarkan punggungnya ke kursi kerja, lalu menutup berkas yang sejak tadi ditekuni.Pandangannya beralih ke layar komputer sejenak, lalu kembali menatap Nayaka, kali ini lebih tajam namun tidak kehilangan kelembutan.“Nah, sekarang kamu boleh cerita. Aku yang akan memutuskan apakah kamu layak dibelain di depan Lukman.”Nayaka menggaruk hidungnya, gerakan kecil tapi penuh makna. Gugup, canggung, dan seperti ingin menghindar.“Sebenernya… ini nggak besar, kok,” ujarnya, mengelak dengan nada merendah.Namun Nadira hanya menatap diam, menunggu dengan sabar tapi tak memberi ruang untuk lolos. Di bawah tatapan itu, Nayaka akhirnya mengalah.Ceritanya mengalir ragu-ragu, seperti air yang menetes dari keran bocor, pel
Last Updated : 2025-08-30 Read more