All Chapters of Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan: Chapter 231 - Chapter 240

“Pagi-pagi sekali kamu datang ke sini, Minah?” tanya Ajeng pada wanita paruh baya yang sudah lama bekerja dengan keluarganya itu. “Kan Nyonya mau sarapan, nanti siang saya kirim makanan lagi dari rumah. Tapi saya gak janji buat dateng, saya akan titip ke ojek online, Nyonya,” balas Minah dengan nada lembut, sambil membuka kotak makanan yang dia bawa dan menyodorkannya ke hadapan Ajeng. Ajeng tersenyum kecil, meraih sendok dan mulai menikmati makanannya. “Saya tahu kesibukan kamu, Minah. Jadi gak masalah kalau kamu mau titip ke ojol, gak harus dateng ke sini.” Minah mengangguk paham, “Tapi ini sudah amanah dari Non Savana, Bu. Saya sebagai bawahan mah cuma manut aja sama majikan. Lagipula, ini sampe Non Savana kembali dari luar negeri kok.” “Berapa lama mereka ke sana?” tanyanya sambil mengunyah makanannya. “Katanya sih cuma dua minggu, Bu. Soalnya Non Savana kan harus masuk kulia

Dua minggu telah berlalu sejak Daryan dan Savana menginjakkan kaki kembali ke tanah air. Liburan mereka di Paris tinggal kenangan manis yang terekam dalam ratusan foto dan potongan-potongan momen kecil yang tak akan terlupakan. Namun begitu pesawat menyentuh landasan, realita menyambut dengan tangan terbuka—dan kepala penuh masalah. Pagi itu, Daryan berdiri di depan kaca jendela besar ruang kerja rumahnya. Setelan kantor sudah rapi menempel di tubuhnya, namun cangkir kopi di tangannya belum tersentuh. Sorot matanya menatap jauh ke arah taman depan, tapi pikirannya tak di sana. “Mas.” Savana muncul di balik punggung tegapnya, mengenakan dress rumah seksi berwarna hijau sage. Perutnya belum terlihat berbeda, tapi sejak di Paris, selera makannya memang meningkat tajam. Bahkan pagi tadi dia minta sarapan dua kali. Daryan menoleh pelan. “Hm?” Savana mengangguk pel

“Garis satu, Mas. Itu artinya aku belum hamil. Mas gak kecewa, kan?” ucap Savana lirih, matanya menatap sang suami yang masih memandangi testpack tersebut. Daryan cepat-cepat mengulas senyum, “Sayang. Aku Cuma penasaran aja kenapa kamu makannya banyak, dan aku Cuma curiga. Makanya aku minta kamu tes. Kalau masih belum hamil, ya gak masalah.” Savana mendekat dan memeluk suaminya erat, “Mas, banyak-banyak berdoa aja, ya?” Daryan mengangkat tangannya dan mengusap pelan punggung sang istri, “Iya, Sayang. Aku akan selalu berdoa.” Senyum Savana mengembang, semakin mengeratkan pelukannya di pinggang lebar sang suami. “Ya udah, kalau gitu aku mau balik kerja dulu, ya? Kamu kalau mau pulang biar dianter sama supir, kalau gak … kamu bisa tidur di sofa?” Savana melonggarkan pelukannya dan menatap sang suami, “Aku gak mau pulang, gak mau tidur. Aku maunya di sebelah kamu

“Non, lagi buat apa?” tanya Minah seraya menghampiri Savana yang sibuk di ruang tengah, menulis sesuatu di atas kertas berwarna. “Ngerjain tugas, ya?” lanjutnya penasaran. “Iya. Tapi tugasnya udah selesai kok, Bi. Ini aku lagi buat kata-kata buat challenge aja, buat kasih challenge ke Mas Daryan,” balasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas dan pulpen di tangannya. Minah berdiri di sebelahnya, mengintip sedikit sebelum izin pamit. “Saya sudah selesai bersih-bersih, Non. Kalau begitu saya mau pamit pulang, ya?” Savana menoleh, mengalihkan sejenak perhatiannya pada Minah—lalu tersenyum manis. “Iya, Bi, makasih ya. Hati-hati di jalan." Ucapnya ramah, "Besok, aku mau minta bantuan Bibi boleh?” Dahi Minah mengernyit, “Minta tolong apa, Non?” “Besok aja ya aku kasih tahunya. Intinya sekarang aku udah booking Bi Minah buat bantu aku besok. Sore ya, Bi? G

Daryan membeku. Tangannya masih memegang alat itu, tetapi tubuhnya terasa menegang seketika. Ia berkedip beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Minah yang berdiri di dekat pintu tersenyum lebar, lalu tertawa pelan. “Selamat, Tuan. Semoga kehamilan Non Savana yang sekarang sehat sampai lahiran.” Daryan masih tidak berkata apa-apa. Napasnya terasa berat, tapi bukan karena panik—melainkan karena perasaan yang sulit ia jelaskan. Dadanya menghangat, dan detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Setelah beberapa detik dalam keheningan, sudut bibirnya akhirnya terangkat, membentuk senyum yang perlahan melebar. Matanya berbinar, penuh dengan sesuatu yang jarang terlihat dalam ekspresinya yang biasanya dingin dan tegas. Istrinya hamil. Savana hamil. Dan itu adalah hadiah terbaik yang ia dapatkan untuk kedua kalinya setelah Arkana. Suara napasnya yang berat menggema di ruang kerja yang kini terasa sunyi, hanya menyisakan detak jantungnya yang menggila. Ia meng