All Chapters of Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan: Chapter 321 - Chapter 330

“Ini ya bekalnya, sayang,” ujar Savana sambil memasukkan dua kotak bekal ke dalam tas khusus kotak bekal, masing-masing membawa satu. “Bilang apa sama Mama,” kata Daryan, suaranya lembut namun tetap tegas dan berwibawa. “Terima kasih, Mama,” ucap Elvano dan Elvara serempak. Savana tersenyum kecil. “Sama-sama, sayang. Bilang terima kasih juga dong sama Papa, Nak. Papa juga bantu Mama bikin bekal buat kalian.” Kedua anak kembar itu saling menatap satu sama lain, sama-sama memberikan tatapan terkejut. Lalu serempak menoleh pada sang ayah. “Bener, Pa?” Daryan justru menggeleng singkat. “Papa gak bantu, Papa cuma ganggu Mama aja.” Melihat perubahan raut wajah anaknya, Daryan terkekeh pelan. “Bercanda, Nak. Iya, Papa bantuin Mama buat bekal.” “Woaaah ... pasti enak kalau Papa juga ikut buatin bekal,” seru Elvara antusias. “Bisa aja kamu,” sahut Daryan tak

Savana terus mengekor langkah Sagara yang berjalan mendahuluinya, dengan perasaan jengkel. Begitu hampir tiba di kelasnya, Savana terkejut. Hari ini ternyata memang jadwal kuliahnya Sagara, dan pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Aulia, duduk di bangkunya, tersenyum miring penuh kemenangan. Savana menarik kursi di samping temannya, duduk dengan wajah menahan kesal. Pandangannya ia palingkan, enggan menoleh ke arah dosen yang kini berdiri di depan kelas. Sagara, dari meja dosen, melihat sekilas ekspresi Savana. Ia memperhatikan cara mahasiswinya itu duduk, bagaimana rahangnya mengeras. Namun, ia tidak berkata apa-apa. Lalu, dengan tenang, pria itu menutup buku catatan yang tadinya hendak ia gunakan untuk mengajar. “Hari ini kita tidak akan belajar seperti biasa,” ucapnya datar. “Kita akan bahas sesuatu yang lebih penting daripada materi.” Ruangan langsung menjadi hening. Semua mahasiswa

“Jadi lusa kita ke luar negeri buat perjalanan bisnis, jam sembilan malam jadwal keberangkatan. Kamu harus persiapin semuanya dari sekarang, Dar,” kata Revanza pada Daryan siang itu. Mereka berdua baru saja selesai rapat di kantor Bumi Raya Group bersama kolega bisnis Daryan dari perusahaan lain, dan akan membahas lanjutannya bersama kolega luar negeri minggu depan. Daryan menghela napas berat, karena kepikiran harus meninggalkan anak dan istrinya. Di mana Savana sibuk kuliah, kedua anaknya yang sudah bersekolah. “Kenapa?” tanya Revanza ketika menyadari perubahan raut wajah sahabatnya itu. “Kamu kepikiran mau ninggalin Savana sama twins kamu?” Daryan mengangguk pelan. “Iya, soalnya anak-anak udah sekolah sekarang. Jadi kalau gak ada aku, Savana urus mereka berdua sendirian.” “Apa?” seru Revanza kaget, matanya membesar. “Sejak kapan si kembar mulai sekolah?” “Baru semingguan,” jaw

Malam itu, usai makan malam bersama kedua anak kembarnya, Daryan sengaja mengajak Savana dan si kembar bermain di ruang keluarga. “Papa! Main ular tangga lagi!” seru Elvano sambil mengambil kotak permainan dari rak. “Papa pasti menang lagi,” goda Daryan sambil mencubit gemas pipi putranya. “Enggak! Hari ini harus Vara yang menang!” protes Elvara sambil tertawa renyah. Savana duduk santai di karpet, tertawa kecil melihat tingkah mereka. “Ya udah, kalau gitu Papa harus ngalah sama anak-anak.” Malam itu dipenuhi gelak tawa, suara dadu yang dilempar, dan protes konyol setiap kali salah satu kalah. Savana sesekali merekam mereka dengan ponselnya, merasa bahagia melihat Daryan benar-benar meluangkan waktu untuk anak-anak. Tapi Savana belum siap juga mengatakan pada kedua anaknya kalau ayahnya akan bepergian lusa ke luar negeri untuk perjalanan bisnis. “Mas,” panggil Sava

Sagara duduk diam beberapa detik, memandangi paper bag di hadapannya. Ia menarik napas, lalu meraih dan membuka perlahan. Di dalamnya, sehelai dasi berwarna biru tua dengan motif sederhana tampak terlipat rapi. Dari nama brandnya, Sagara tahu harganya. Jari-jarinya menyusuri kain itu, senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya—senyum yang hampir tak pernah muncul dan bermakna banyak. “Terima kasih, Savana,” bisiknya lirih, hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Ia kemudian menaruh dasi itu di meja, memandanginya sejenak. “Perempuan yang awalnya sangat keras kepala, ternyata bisa semanis ini.” Sagara menopang dagungnya dengan tangan, matanya tak lepas dari paper bag itu. Begitu pula dengan senyumnya yang tak pudar, seolah hadiah itu merupakan penghargaan yang sangat berharga selama hidupnya. “Ekhem,” dehem Sagara pelan, lalu kembali menegakan tubuhnya. “Sepertinya aku harus melakuka