Semua Bab Dipaksa Nikah, Malah Kecanduan: Bab 301 - Bab 310

Savana berdiri di depan pintu ruangan Sagara, jantungnya berdegup cepat setelah kejadian yang membuatnya tak nyaman tersebut. Jelas-jelas dosennya itu dengan sengaja menyentuh tangannya yang saat ini segera dia usap ke pakaiannya, ditambah tatapannya yang sedikit berbeda. “Aku remedial ke dia? Apa gak bisa ke dosen cewek aja?” gumamnya pelan, matanya melirik ke sekitar lorong yang sepi. Tangannya terulur mengusap dadanya yang masih berdetak, sebelum dia segera meninggalkan area tersebut dan kembali ke kelasnya. “Savana,” sapa temannya, Aulia. Savana menoleh kaget dan tersenyum kecil. “Iya?” “Kamu dari mana, perasaan tadi aku lihat kamu datang lebih awal. Tapi setelah aku masuk kelas, kamu nggak ada. Ke kantin, ya?” Savana menggeleng pelan dan duduk di samping Aulia. “Aku barusan dari ruangan Pak Sagara.” Aulia mengangguk paham. “Pak Sagara dosen killer itu, kan?” “Iya mungkin, soalnya aku gak t

Savana mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu mengangkat wajahnya menatap Sagara dengan sorot tak suka. “Di sini, Pak?” suaranya sedikit bergetar menahan kesal. “Kenapa harus di sini? Saya bisa kerjakan di rumah setelah semua urusan saya selesai.” Sagara tidak bergeming. Tatapannya dingin, suaranya datar tapi menusuk. “Saya mau memastikan kamu mengerjakannya sendiri. Tanpa bantuan orang lain atau suami kamu.” Kening Savana berkerut. “Saya kerjakan semua tugas saya sendiri, Pak. Suami saya bahkan terlalu sibuk kerja untuk ikut campur.” “Jadi kalau itu yang Bapak khawatirkan, seharusnya Bapak tidak perlu meragukan saya.” Lanjutnya dengan nada tegas. Sagara hanya menyandarkan punggungnya ke kursi, senyum tipis tapi sinis tersungging di bibirnya. “Saya tetap tidak percaya sampai saya lihat sendiri. Kerjakan di sini, di ruangan saya. Anggap saja saya sedang menguji kemampuan kamu.”

“Dari pada hanya minum obat, lebih baik Nyonya Savana langsung diinfus saja, Tuan,” ucap dokter pada Daryan setelah memeriksa keadaan Savana. Belum sempat Daryan bersuara, Savana sudah lebih dulu menyela. “Gak perlu, dok. Saya cuma demam biasa kok, habis minum obat pasti langsung sembuh.” Daryan menatap istrinya sekilas, lalu beralih menatap dokter di hadapannya. “Lakukan saja yang terbaik,” ujarnya dengan nada tegas. Dokter itu mengangguk cepat, kemudian segera menyiapkan semua obat yang dibutuhkan. Dan Savana, dia hanya menghela napas pendek—tahu sang suami tidak suka dibantah. “Infusnya satu aja, sayang. Biar kamu bisa sehat lebih cepat. Kamu gak mau kan sakitnya kelamaan, dan lebih parah lagi? Jadi jangan keras kepala,” ucapnya dingin. Savana hanya mengangguk kecil dan membiarkan dokter memasangkan infus di punggung tangannya. Sementara Daryan menunggu sambil berdiri di sisi ranjang. Setela

Aulia buru-buru merapikan rambutnya, wajahnya masih merah karena malu. “Saya ke toilet dulu, Mas. Sa, aku duluan ya? Hati-hati di jalan pulang,” ucapnya cepat, lalu bergegas meninggalkan mereka berdua. Daryan menatap punggung Aulia sebentar sebelum beralih ke Savana yang berdiri tak jauh dari sana. Wajah istrinya terlihat datar, tapi tatapannya menusuk. “Kamu udah nunggu lama?” tanya Daryan hati-hati. Savana hanya mengangguk singkat. “Ayo pulang.” suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. Perjalanan menuju mobil berlangsung hening. Bahkan ketika Daryan membukakan pintu untuknya, Savana hanya melangkah masuk tanpa banyak bicara. Begitu mobil melaju keluar dari kampus, suasana di dalam terasa mencekam. Daryan melirik istrinya sekilas. “Kamu marah?” tanyanya pelan. Savana menoleh, tatapannya tajam namun tak meledak-ledak. “Aku nggak marah sama kamu.” “Terus?

“Nenek,” panggil Elvano pada Hana. “Iya, Van. Ada apa?” tanya Hana, suaranya lembut dan penuh kehangatan. Wajah anak laki-laki itu tampak merengut, “Vano bosan di rumah kalau gak ada Mama,” ujarnya lirih, tatapannya sendu. “Sampai kapan Mama kuliah, Nek?” Hana tersenyum kecil mendengar keluhan cucu laki-lakinya itu, satu-satunya yang paling dekat dengan Savana ketimbang sang adik—Elvara yang lebih dekat dengan sang ayah. “Mama selesai kuliah kalau kamu udah usia lima tahun, kalau kamu sama Vara udah masuk TK,” balas Hana dengan lembut. “TK itu apa, Nek?” tanya Elvara penasaran. “TK itu taman kanak-kanak,” balas Hana singkat. “Nanti kalau kalian sekolah TK, punya banyak temen. Dan di sana banyak permainan, jadi nanti di waktu istirahat kalian akan diajak main sama Bu guru,” “Oh, wow ... Vara jadi gak sabar mau sekolah TK,” sahut anak gadis itu ceria.