All Chapters of Ah! Enak Mas Dokter: Chapter 281 - Chapter 290

Hongkong~ Setelah berhasil bebas dari penjara berkat bantuan sang anak, Marco memutuskan menetap di Hongkong untuk memulai kehidupan baru. Berkumpul bersama keluarga dan anak laki-lakinya, adalah impiannya sejak berada di dalam lapas selama bertahun-tahun. Namun, sejak pertama kedatangannya menemui Prams, ia menyadari sesuatu tentang putra semata wayangnya itu. "Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa Papa perhatikan kamu sering melamun?" Marco duduk bersama anaknya di ruang VVIP Bar mewah yang menjadi salah satu ladang uang Bandar Narkoba itu. Prams menggeleng pelan sambil menarik napas panjang. Wajahnya yang muram, menunjukkan keadaannya saat ini. "Papa tahu ada sesuatu yang kamu pikirkan," lanjut Marco. Satu tangannya merangkul pundak sang anak. "Katakan pada Papa. Jangan merahasiakan apapun dari Papa. Jangan sampai Papa mengetahui masalahmu dari orang lain!" Perlahan kepala Prams bergerak, menoleh sesaat dan menatap wajah senja ayahnya. Ada ketakutan di dalam hatinya u

Di dalam mobil yang dikendarai oleh salah satu bawahan Bramanto. Sisca terlihat keheranan saat mobil tersebut justru putar arah.Bukan hanya mobil yang ia tumpangi, tetapi mobil ambulance dan juga mobil calon mertuanya berbalik arah, menuju jalanan yang berbeda."Bah, kenapa kita ngga jadi ke Bandara?" tanya Sisca sambil meremas jaket yang dikenakan sang ayah. Matanya menyempit, dengan wajah cemas dan dada yang berdebar tak karuan.Suasana di dalam mobil mendadak menegangkan bagi Sisca, apalagi ayahnya juga terlihat seperti kebingungan."Mak." Sisca yang duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya, memutar tubuh menghadap Innaya yang juga diam mematung dengan raut kebingungan. "Kamu nanya sama Emak sama Abah, kami mana tahu Neng. Harusnya kamu tanya ke calon Ibu mertua kamu itu," sahut Innaya.Sisca menghela napas lirih. Ada keinginan untuk menghubungi calon mertuanya seperti usul sang ibu, tetapi ia ragu.Tak l

"Bos, kami sudah berada di Singapura. Kami sedang menunggu pesawat yang sebentar lagi mendarat. Kemungkinan jam sebelas lewat dua puluh menit pesawat dari Jakarta tiba di Bandara."Prams tersenyum kecil, hambar, saat mendengar laporan dari anak buahnya yang berada di Singapura.Semua rencana sudah disusun dengan matang. Ia yakin kali ini pembalasan dendamnya pada Barta dan Sisca benar-benar akan berjalan mulus.Setelah melenyapkan Barta dan Sisca, ia akan mengubur semua kenangan buruk di masa lalu dan memulai kehidupan baru bersama sang ayah. "Awasi terus Bandara, jangan sampai rencana kali ini gagal. Kalau rencana kali ini gagal lagi, kalian akan kehilangan kepala kalian! Paham!" desis Prams. Jemari tangannya yang bertato itu, meremas ponsel kuat-kuat hingga membuat kukunya memucat. "Paham Bos," jawab anak buahnya."Bagus." Prams melirik ke kiri, wanitanya sedang menyandarkan kepala di bahu dengan manja. "Setelah Dokter sialan

Pesan singkat dan video dari anak buah Prams, dilihat dan dibaca. Namun, sang Bandar tidak berniat membalasnya. Prams meletakkan benda pipih itu kembali ke atas meja setelah melihat video dari anak buahnya yang berada di Singapura. Tak lama ponselnya berdering, terlihat satu panggilan masuk. Nama yang tertera di layar 'Dio' anak buah Prams yang tadi mengirim chat. Dengan malas pria itu menerima telepon tersebut. "Bos, video sudah saya kirim. Bos bisa melihat sendiri mobil ambulance itu hangus terbakar." "Hmm, aku sudah melihat videonya. Kerja bagus." "Terima kasih, Bos. Tapi bagaimana dengan keselamatan kami Bos? Kami tidak ingin masuk penjara apalagi di negara orang." Prams hanya diam. Tidak berniat menolong anak buahnya, karena semua tugas sudah diselesaikan dengan baik. "Bos, bagaimana dengan kami? Kami butuh ban

"Barta kenapa Ma?" engah Bramanto, melangkah cepat bersama istrinya menuju ruang ICU. Wajahnya terlihat pucat. Matanya melirik sang istri yang diam saja. Ia mendengus, menahan kesal. "Ma! Jawab, Barta kenapa?" Suaranya meninggi.Inggrid berdecak, "Nanti juga kamu tahu Pa, ikut saja. Jangan banyak tanya. Sebentar lagi juga kita sampai ke ruangan itu."Setibanya mereka di ruang ICU, Bramanto diminta perawat untuk berganti pakaian, pun dengan Inggrid. Sementara Sisca sudah berada di dalam ruang steril itu sejak tadi. Selesai berganti pakaian, Bramanto dan Inggrid masuk ke kamar ICU.Betapa terkejutnya Bramanto saat melihat anaknya sudah membuka mata, dan tersenyum simpul ke arahnya."Barta." Tubuh Bramanto lemas seperti tidak bertulang. Ia melangkah gontai mendekati ranjang rumah sakit dengan kedua manik mata berkaca-kaca.Inggrid tersenyum. Sengaja merahasiakan keadaan Barta untuk memberi kejutan pada