“Radit.”Suara itu terdengar dari segala arah, tapi juga tak berasal dari mana pun. Seperti namaku dipanggil dari dalam sumur tanpa dasar.Aku berdiri di antara bayangan rerumputan yang kini mengering, berubah kecokelatan dan rapuh, seperti kulit waktu yang terbakar diam-diam. Langit, yang tadi biru, kini dipenuhi semburat merah gelap, seperti senja yang kesakitan.Intan—atau sosok yang kukira Intan—sudah tak terlihat. Yang tertinggal hanya jejak langkah menuju bukit kabut.Langkahku berat, tapi aku berjalan. Karena jika aku diam, suara-suara itu akan kembali: tawa kecil yang tak punya sumber, gema nama yang diulang-ulang, dan detakan jantung dari tanah.Lalu aku melihatnya—bangunan kecil di puncak bukit. Bukan rumah, bukan menara. Bentuknya seperti arkade perpustakaan kuno, tapi tidak selesai dibangun. Pilar-pilarnya terbuka, dan atapnya menggantung tanpa dukungan.Namun di tengah-tengahnya, berdiri satu pintu.Bukan pintu ke dalam bangunan—karena tak ada ruangan.Pintu itu hanya ber
Terakhir Diperbarui : 2025-06-19 Baca selengkapnya