All Chapters of MISTERI CINTA CEO TAMPAN : Chapter 41 - Chapter 50

Mikha mengangguk. "Iya, Bun. Dia mengalami kecelakaan serius. Makanya aku dan Samuel tadi menunggu di rumah sakit sampai agak larut."Bunda Nadia terlihat cemas. "Ya Tuhan. Bagaimana keadaannya sekarang?"Samuel meletakkan cangkir tehnya di meja dan menjawab, "Kondisinya masih belum sadar, Tante. Tapi asisten pribadinya, Hendro, yang berjaga di sana. Mikha tadi sulit sekali diajak pulang, dia masih khawatir sama Feivel."Nenek Jenar menatap Mikha dengan lembut. "Nak, Nenek tahu kamu peduli sama sahabatmu. Tapi kamu juga harus jaga kesehatanmu sendiri."Mikha tersenyum tipis. "Iya, Nek. Aku ngerti kok."Bunda Nadia meraih tangan Mikha dan menggenggamnya erat. "Bunda ngerti kamu khawatir, tapi jangan sampai kamu mengorbankan kesehatanmu sendiri. Kamu udah makan?"Samuel menyela sebelum Mikha bisa menjawab. "Sudah, Tante. Saya bawa Mikha makan dulu sebelum pulang."Bunda Nadia menghela napas lega. "Syukurlah. Terima kasih, Nak Samuel, sudah menjaga anak saya."Samuel tersenyum. "Sa

Restoran itu masih sama tenangnya seperti saat Samuel dan Feivel, kedua pengusaha muda sukses pertama kali datang. Hidangan di atas meja mulai berkurang, pertanda mereka menikmati makan sambil berbincang. Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika ponsel Samuel bergetar.Feivel, yang tengah menyesap jus jeruknya, secara tidak sengaja melihat sekilas layar ponsel Samuel. Sebuah pesan singkat muncul di sana, berasal dari Mikha.Hati Feivel mencelos. Mikha adalah sahabatnya, seseorang yang selalu ada dalam hidupnya selama ini. Namun, yang tidak pernah dirinya akui kepada siapa pun adalah perasaannya yang lebih dari sekadar sahabat.Feivel tak pernah berani mengungkapkan perasaannya, takut merusak persahabatan mereka. Tapi kini, melihat Samuel tersenyum bahagia saat ini, sebuah ekspresi wajah yang jelas penuh arti, sambil mengetik balasan di ponselnya, ada sesuatu yang menyesak dalam dadanya.“Kenapa senyum-senyum sendiri, Sam?” tanya Feivel berusaha terdengar santai, meskipun hatinya berde

Di dalam sebuah ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menghadap aktivitas Kota Jakarta yang sibuk, seorang pria paruh baya berdiri dengan tangan mengepal. Matanya menatap tajam ke arah layar komputer yang menampilkan dokumen bisnis yang baru saja ditolak. Rahangnya mengeras, wajahnya merah padam karena amarah yang menyesakkan dadanya."Kurang ajar!" bentaknya sambil mengebrak meja.Tuan Wiguna, seorang pengusaha besar yang dikenal karena ambisinya yang tak mengenal batas, tidak pernah menerima penolakan dengan baik. Selama ini, orang-orang selalu tunduk padanya. Tapi Samuel, pemuda itu berani menolaknya secara terang-terangan.Di sudut ruangan, seorang pria berjas hitam berdiri dengan kepala sedikit tertunduk, menunggu instruksi dari majikannya."Jarot!" suara Tuan Wiguna menggema, membuat pria berjas hitam itu langsung mendekat."Ya, Tuan.""Aku tidak akan membiarkan pria ingusan itu lolos begitu saja." Matanya menyipit penuh kebencian. "Samuel harus membayar mahal karena meno

Pagi itu, Samuel duduk dengan gelisah di sebuah ruang pertemuan di kantor kepolisian. Matanya tajam menatap meja, jemarinya saling menggenggam dengan erat. Di hadapannya, Detektif Morgan sedang menyiapkan beberapa berkas di atas meja."Kita akan segera bertemu dengan Fauzan," ujar Morgan, menatap Samuel dengan penuh arti.Samuel mengangguk. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika benar Tuan Wiguna dan Jarot terlibat dalam kematian Paula, aku tidak akan membiarkan mereka lolos."Tak lama kemudian, pintu ruang pertemuan terbuka. Seorang pria berusia sekitar dua puluh lima tahun masuk, mengenakan kemeja biru dengan wajah penuh keraguan. Itu adalah Fauzan, salah satu karyawan IT di SPAD Corp, perusahaan milik Samuel.Detektif Morgan memberi isyarat agar Fauzan duduk. "Fauzan, seperti yang sudah kamu ceritakan kepadaku, kamu memiliki informasi penting tentang Tuan Wiguna dan Jarot. Sekarang, sampaikan semuanya di hadapan Tuan Samuel."Fauzan menarik napas panjang, menatap Samuel

Ketika Samuel kembali mengangkat kepalanya, dia mengusap wajahnya dan mencoba menenangkan diri. Seorang pria itu harus kuat.Tapi luka itu terlalu dalam."Kalau saja aku bisa memutar waktu, Paula, seandainya aku bisa mencegah ini semua terjadi,"Namun, Samuel tahu itu mustahil. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah menerima kenyataan dan memastikan jika tidak ada lagi yang mengalami nasib yang sama seperti Paula.Samuel memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Dia membiarkan air hangat mengelus tubuhnya, seolah-olah memberi sedikit ketenangan di tengah kesedihan yang masih mencengkeram hatinya.Setelah beberapa saat, Samuel mengusap wajahnya lagi dan memutuskan untuk menyudahi sesi berendamnya. Dia tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam kesedihan. Paula pasti tidak ingin melihatnya seperti ini.Dengan perlahan, Samuel bangkit dari bathtub dan mengambil handuk yang tergantung di sampingnya. Dia pun mengeringkan tubuhnya, lalu mengenakan pakaian santai sebelum keluar dari kama